|Epilog|

1.4K 94 122
                                    

Hancur
Gagal
Menyerah
Tak ada harapan untuk hidup

Dulu saya pernah merasakan itu semua. Tak hanya saya saja, mungkin setiap orang pernah mengalaminya.

Tak ada rasa menyenangkan saat ditinggalkan orang terkasih. Melakukan apa yang dipesankannya adalah bentuk menembus kata maaf yang tak sempat didengarnya.

Kisah saya terlalu klasik, tapi saya melaluinya dengan asik. Saya percaya di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, semuanya sudah menjadi ketentuan sang pencipta.

Namun, bertemu Zira adalah ketentuan sang pencipta yang paling indah.

Terima kasih bunda. Melvin gak pernah menyangka jodoh yang bunda pilih adalah teman sekelas Melvin yang diam-diam Melvin kagumi.

Terima kasih papah. Tanpa papah, Zira dan Melvin tak akan pernah dipertemukan dengan ikatan sakral ini. Semoga kalian tenang di sana dan menyaksikan kehidupan kami yang belum usai.

Dan untuk Zira, jutaan terima kasih dan maaf tak akan pernah cukup untuk membalas apa yang udah terjadi selama ini.

Terima kasih Zira sudah mau menjadi tunangan palsu saya juga tunangan asli saya. Terima kasih atas semua drama yang pernah kita perankan bersama hanya untuk terlihat real di mata papah. Terima kasih sudah menerima saya untuk menjadi bagian hidup terpenting kamu. Terima kasih sudah menepati janji dan setia menunggu saya hingga kita sukses seperti sekarang.

- Melvin Lazuard Nathaniel.

* * *

Di hari yang berbahagia bagi Zira dan Melvin, masih ada hati yang harus memikul lara. Gino menatap pasangan pengantin yang ada di hadapannya. Senyum di bibir Gino dipaksakan untuk hadir, terutama untuk Zira.

Thanks udah datang,” ujar Melvin sambil menahan bahu Gino yang hendak memeluk Zira.

Namun, sekarang malah Zira sendiri yang memeluk Gino sambil berkata, “Makasih, No. Cepat nyusul kayak gue sama Melvin, ya.”

Gino hanya mengangguk singkat, lalu pergi meninggalkan mereka. Ia terlalu enggan untuk mengatakan selamat kepada mereka, karena hatinya memang tak pernah ikhlas. Zira memang menikah dengan Melvin, tapi belum tentu mereka jodoh, bukan?

“Wah wah wah ini nih yang gak pernah gue sangka!” Suara Vincent yang berseru itu mengalihkan perhatian Zira dan Melvin.

“Tuh kan apa gue bilang, si Zira tuh emang licik orangnya,” ujar Ghea sambil geleng-geleng kepala.

“Umurnya paling muda di kelas, tapi merriednya paling pertama, gak adil!” imbuh Mauren dengan cengirannya.

“Iri bilang bos,” sahut Devan yang sibuk memakan es krim cup mini.

Reno menoleh ke arah cowok itu. “Emangnya lo ga sirik? Jomblo mulu dari lahir.”

“Liat aja nanti, seudah Zira, yang bakal married pasti gue,” ujar Devan.

Vincent tertawa. “Emang lo udah ada calon bini?”

“Gak ada yang mau lah sama si Devan. Akhlak aja kagak punya, apalagi calon bini,” sahut Mauren.

“Sebelas dua belas kek lo dong, Mau!” seru Ghea.

“Gue rasa calon bini lo ada di sini, Dev,” ujar Vincent.

Devan langsung menoleh ke arah cowok itu. “Siapa?”

“Si Maur-aw!“ perkataan Vincent terpotong karena jari kakinya ada yang  menginjak. Vincent memutar bola matanya dengan malas kepada Reno, si pelaku penginjak kaki. “Ya lo kapan sih nembak si Mauren?! Dari zaman SMA lo gantungin terus si Mauren.”

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now