34 - Karam

751 90 43
                                    

Play | Senja - Perih |

Kecewa, tapi cuma bisa ketawa ... ketawa miris maksudnya.

* * *

Hari ini cuaca sedang mendukung untuk orang-orang beraktivitas, matahari sedang berada di puncaknya. Mampu membakar kulit siapapun yang berani berdiam diri di bawah terik matahari hari ini.

Seperti sekarang, kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung di setiap kelas, kecuali bagi kelas-kelas yang ditinggalkan guru karena berbagai macam alasan.

Namun, bagi cowok itu masuk tidak masuknya guru ke kelasnya, bukan urusannya. Ia selalu bolos ketika keinginan belajarnya sedang melayang.

Cowok itu lebih memilih tidur di rooftop ketika membolos kelas. Beberapa meja usang yang dirapatkan ke dinding menjadi kasur dadakan baginya.

Sudah cukup lama ia terlelap di sini, sampai-sampai kulitnya terasa terbakar. Ingin bangun, tetapi rasa kantuknya masih menyerangnya. Gimana pun keadaannya, ia masih saja bisa tidur.

"Lo pake pelet, kan? Oh atau mungkin pake tubuh lo sendiri?"

"Lo sirik? Lo bisa liat sendiri, kan. Selama ini cowok itu yang ngejar gue duluan."

"Itu karena lo yang narik perhatian cowok gue!"

"Bagus lah gue bisa narik perhatian Gino. Lo sendiri bisa gak narik perhatian cowok itu? Harusnya lo sadar, selama ini lo itu cuma dijadiin pelampiasan Gino buat gue! Cowok itu gue tolak berkali-kali, makanya lari dulu ke lo atau Gino cuma manfaatin lo buat cari tau tentang gue!"

Gino langsung membuka matanya, jelas-jelas namanya tadi terbawa-bawa dalam argumen dua cewek yang suaranya masuk ke dalam mimpi cowok itu.

Plaak..

Alangkah terkejutnya Gino ketika ia mendegar suara tamparan. Ia langsung bangun dari posisinya, lalu mengintip dari belakang dinding. Matanya terbelalak, ia mendapati Zira yang sedang memegang pipinya yang sepertinya habis ditampar Nidya.

Sorot mata Gino menajam, emosinya tersulut. Sebisa mungkin ia menahan dirinya untuk tak mendekati Zira, lalu memeluk cewek yang selama ini ia rindukan.

Gino memang menjauhi Zira untuk sementara, ia memerlukan waktu untuk bisa menerima bahwa cewek itu adalah sahabat kecilnya.

Malam itu, ia pulang dengan kepala yang penuh dengan Zira. Sekelebat bayangan memenuhi pikirannya bagaimana cara Zira memakan popmie, Zira yang tak menyukai soda, ponsel Zira yang berbunyi bersamaan ketika dirinya mengirim pesan dan menelpon Coco.

Hal kecil namun, mengungkapkan semuanya.

Bahkan ketika dirinya sampai di rumah, Gino langsung menelpon Arden dan bertanya semua tentang Zira. Memang agak susah, karena Arden dan Arsen disuruh Zira untuk tak membocorkan segala infomasi tentang cewek itu kepada Gino.

Tapi, setelah mengetahui itu semua ... perasaan Gino seperti dibulak-balikan secara acak. Bahagia iya, sedih iya, bingung iya, kesal iya, dan rasa bersalah yang tak terbendung.

Gino kembali tertarik ke dunia nyata, ia sekarang hanya mampu memperhatikan pertikaian dua cewek yang sedang memperdebatkan dirinya sendiri.

Bukannya ia tak mau memisahkan mereka, tapi cukup berisiko jika ia mendekati mereka berdua. Jelas, nanti ia akan membawa Zira yang menjadi korban, bukan Nidya.

Gino hanya tak mau mantannya itu kembali berulah gila seperti waktu itu. Lagipula ia tahu, Zira bukan tipikal cewek lemah. Cewek itu pasti bisa bersilat lidah dengan baik dan membalas apa yang perlu dibalas.

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now