62 - The World Was Ending

666 71 36
                                    

“Hati-hati,” ucap Zira menatap wanita yang berdiri di hadapannya dengan senyum simpul.

Azahra mengangguk singkat. “Jaga diri baik-baik.” Matanya menatap ke sosok yang berdiri di samping Zira. “Aku nitip Zira, ya, Ra.”

“Kamu beneran mau berangkat sekarang?” tanya Vera.

Azahra lagi-lagi mengangguk. Ini saatnya Zira menghabiskan waktu dengan ibu kandungnya, tanpa harus ia ikut campuri. Pulang ke kampung halaman adalah jalan yang dipilih Azahra untuk mewujudkan keinginannya itu.

Zira memeluk ibunya, terasa berat saat mendengar neneknya sedang sakit dan sangat menginginkan ibunya ada di sana. “Aku ikut ibu, ya?” pinta Zira untuk ke sekian kalinya.

Azahra melepaskan pelukan, ia menggeleng. “Kamu harus kuliah, terus magang. Biar ibu aja yang jenguk nenek, kalo libur kamu bisa jenguk nenek.”

Zira menghela napasnya. Semuanya pergi, tak ada yang mau menemani masa keterpurukannya sekarang.

“Semoga Gino sama Hendra cepat ketemu.” Azahra menyunggingkan senyum penuh harapan, tak lama suara speaker di stasiun terdengar. “Keretanya udah ada, ibu berangkat sekarang, ya.”

Sekali lagi Zira memeluk Azahra dengan erat. “Salam buat semuanya yang ada di sana. Semoga nenek cepat sembuh.”

Azahra menepuk-nepuk punggung Zira. “Nanti ibu sampaikan ke mereka. Jangan sedih terus, mereka pasti selamat, doain semoga Melvin bisa cepat-cepat nemuin mereka.”

Sudah hampir seminggu mereka yang dinanti-nanti oleh anggota keluarga, masih belum ditemukan. Berita-berita mengenai hilang kontak pesawat mereka sudah tak panas lagi. Keluarga korban kecelakaan pesawat banyak yang berharap tim pencari segera menemukan anggota keluarga mereka, meski sedikit harapan mereka masih hidup atau tidak.

“Nenek nunggu undangan pernikahan dari kamu sama Melvin.” Azahra menatap mata anaknya. “Wisuda kamu tinggal satu bulan lagi, Melvin bentar lagi juga pulang. Kalian jangan lupa persiapin buat pernikahan kalian, ya.”

Zira hanya bisa tersenyum kaku sambil mengingat perkataan Melvin seminggu yang lalu. Menikahi kamu atau pisah dengan kamu. Mengingat perkataan itu, membuat hati Zira terasa ngilu, bercampur penyesalan yang tak kering-kering.

“Dadah!” Azahra melambaikan tangannya sambil berjalan mendekati gerbong kereta api. Vera dan Zira memperhatikan wanita itu dengan tangan yang melambai.

Hingga kereta itu meninggalkan stasiun, dua wanita itu masih setia memijakkan kakinya di sana sambil menatap kereta yang membawa Azahra dari kejauhan.

“Ibu,” panggil Zira pelan yang langsung mendapatkan perhatian dari Vera.

“Mau pulang sekarang?” tanya Vera.

Tubuh Zira menghadap Vera, matanya yang terlihat lelah itu menatap manik mata ibu kandungnya. “Apa setiap perjodohan akan berakhir bahagia?” tanyanya yang semakin ragu dengan hubungannya dengan Melvin.

* * *

Overwhelmed

Zira memijit pelipisnya yang berdenyut-denyut. Akhir-akhir ini ia hanya tidur dua sampai tiga jam, itupun tak nyenyak. Ia dihantui banyak hal, mulai dari sidang skripsi yang sudah dilakukan kemarin—ia kurang sempurna mempresentasikannya kemarin, pekerjaan Hendra yang harus dihandle oleh Zira, serta rasa sesal yang masih terasa saat ia berpisah secara tak baik-baik dengan Melvin yang akan berangkat tugas hari itu.

“Rapatnya mau dimulai sekarang saja?” tanya seseorang yang sedari tadi memperhatikan Zira yang memejamkan mata sambil memijit pelipis.

Zira mengangguk, ia memaksakan senyum kepada orang-orang yang hadir di rapat kali ini. Selama rapat berlangsung, Zira sama sekali tak memperhatikan. Matanya menatap layar yang terkena pantulan proyektor, tapi pikirannya pergi jauh dari sana. 

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now