47 - Semoga Bahagia

589 69 26
                                    

Untuk ke sekian kalinya Zira turun dari mobil hitam mewah yang memiliki ciri khas pada plat nomornya.

Kilatan flash dari berbagai penjuru sudah menjadi hal yang biasa Zira alami ketika berada di tempat para bisnis sukses berkumpul. Zira menghela napas perlahan, berusaha lebih rileks. Gemuruh kencang menyerangnya saat suara-suara terdengar, membicarakannya secara terang-terangan.

Jika dulu ia akan merasa senang berada di tempat seperti ini karena kemarukannya dulu masih meraja rela. Harta dan tahta yang cewek itu pernah incar, sekarang tak berarti sama sekali. Definisi bahagia tak ditentukan dari banyaknya materi dan jabatan yang telah kita raup.

Sekarang, acara yang seperti ini sangat Zira ingin hindari. Setiap kilatan blitz yang tertangkap Zira, menjadi sebuah beban yang masuk ke dalam batinnya. Setiap suara yang terdengar menjadi sebuah kalimat yang menggundahkan hatinya.

Tangan hangat yang menggenggamnya menjadi bentuk penyalur semangat dari pria tampan dengan balutan jas berwarna abu, senada dengan warna manik matanya yang tajam.

Zira menatap Melvin dari samping. Ia mengatur waktu agar berjalan lambat, ia masih sangat sayang cowok tampan itu. Setiap detik yang berlalu, hatinya terasa semakin terhimpit melihat cowok yang sedang tersenyum bahagia.

Ini terakhir kalinya ia menjadi fake fiance Melvin. Ini adalah akhir dari drama yang mereka perankan, ini juga akhir dari semua yang pernah terjadi di antara mereka.

Melvin adalah pelengkap karma dan luka yang akan tahan lama di relung hati Zira.

Karpet merah yang terbentang panjang dari luar gedung hingga ke dalam gedung menjadi rintangan terberat bagi Zira. Di setiap sisi karpet merah berbondong-bondong wartawan yang mengarahkan mic mereka kepada Zira dan Melvin yang sedang berjalan di atas hamparan karpet merah.

Melvin tersenyum, ia menjawab singkat pertanyaan yang dilempar dari wartawan. Selalu Melvin yang membuka suara. Berbanding terbalik dengan wanita yang sedang ia genggam di sampingnya. Zira hanya diam dan tersenyum tipis menanggapi pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya.

"Mengapa Anda hanya diam, Nona? Apakah hubungan Anda dengan ahli waris Mahesa Corp masih berlanjut?" suara wartawan mengikuti Zira dari samping, tidak melewati batas garis penghalang yang sejajar lurus dengan karpet merah.

Ditanya seperti itu pun Zira hanya diam, bukannya ia tak bisa menjawab. Ia hanya tak mau membuat sensasi lagi hanya karena jawabannya tak akan sesuai ekspetasi mereka. Biar nanti ia sendiri yang menjelaskan secara gamblang kepada semua orang.

Zira menghela napas saat mereka telah masuk ke dalam gedung, hatinya sedikit membaik karena tak ada suara bising dari wartawan yang membuat dirinya gelisah. Mata biru Zira berkilau cantik, takjub dekorasi gedung yang membuatnya terkagum-kagum.

Langkah Melvin menuntunnya menuju pintu kayu besar yang dijaga ketat oleh dua pria berbalut jas hitam. Tanpa berkata-kata apapun, dua pria itu dengan sigap membuka lebar pintu saat sepasang remaja itu mendekat.

Mulut Zira terbuka dengan sendirinya, terkagum dengan aula yang sedang ia tempati. Lampu hias yang tertempel di setiap dinding membuat intensitas cahaya di gedung itu terlihat semakin mewah. Meja-meja bundar yang dibungkus kain sutra cokelat muda dengan vas bunga sebagai pelengkap keestetikan.

Mata Zira menangkap Hendra, Irwan, dan seorang wanita cantik yang Zira kenal sebagai Bibi Gino. Mereka sedang berdiskusi di bawah panggung yang telah didekor minimalis untuk peresmian produk baru. Dua pria itu tampak gagah walau umur mereka tak lagi muda.

Mata Zira bertubrukan dengan manik mata biru milik Vera -Bibi Gino- yang sedang berdiskusi dengan Hendra dan Irwan. Cukup lama mereka saling tatap dengan emosi yang bercampur aduk. Sebelum akhirnya Zira lah yang memutuskan kontak mata tersebut. Air mata telah mengumpul.

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now