53 - Lara

465 58 19
                                    

Menghapus tinta yang pernah kau lukis di kanvas hatiku
Merobek semua bayangan yang tampak di relung sukmaku
Ego telah menghasutku 'tuk kembali padamu
Namun logika berkata baiknya ku menjauh

Play | Lara - Dialog Senja |

* * *

Matanya bergerak gelisah, ke berbagai arah ia menaruh atensi dalam sekejap kedipan mata. Orang-orang berseliweran melewati gadis yang sedang diambang kebingungan.

Dari kejauhan, Zira menatap orang berseragam khas petugas kereta api mengacungkan edblek hijau ke arah petugas lain yang berdiri lebih dekat dengan kepala kereta. Petugas berseragam gelap itu tak lama kemudian membunyikan peluit yang terdengar nyaring di telinga.

Kepala Zira terasa pening saat suara peluit itu menyerbu indra pendengarannya yang disahut oleh klakson lokomotif kereta, tak lupa suara bernada yang keluar dari speaker yang berada di setiap penjuru stasiun.

Satu tangan Zira memegang kepalanya yang terasa berputar-putar, tanpa ia sadari cairan bening sudah menyeruak dari pelupuk mata.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas loket dari balik kaca.

“Mbak saya pesen tiket ke Yogyakarta.” Zira memejamkan matanya, pusingnya semakin menjadi-jadi.

“Untuk kapan mbak?”

“Sekarang.”

Dari cafe tadi ia langsung menuju Stasiun Gambir, tanpa memedulikan apa-apa, termasuk Aji yang ia tinggalkan di cafe. Tanpa persiapan sama sekali, ia benar-benar nekat hanya menyampirkan sling bag di pundak yang berisi ponsel dan dompet.

“Maaf mbak, tiket Jakarta-Yogyakarta yang berangkat sekarang sudah habis.” Petugas loket itu kembali berujar.

Suara dari speaker kembali terdengar. Kali ini suara wanita yang berkata bahwa kereta tujuan Jakarta-Yogyakarta akan datang beberapa menit lagi dan diharapkan kepada penumpang tujuan itu agar bersiap-siap.

“Mbak, saya mohon, coba dicek sekali lagi. Siapa tau ada yang dicancel.” Jantung Zira berpacu dengan cepat, panik sedang melanda.

Mata Zira menatap pergerakan petugas loket yang sedang menatap layar monitor dengan intens. Zira harap keberuntungan memihak kepadanya agar ia bisa mendapatkan tiket untuk menyusul Melvin.

“Maaf mbak, tidak ada penumpang yang mengcancel perjalan kali ini.”

“Mbak saya mohon. Saya harus ke Yogyakarta sekarang.” Zira mengusap pelipisnya, keringat tak kalah deras mengalir di tubuhnya.

“Semua kursinya sudah penuh, mbak. Tapi, untuk keberangkatan Jakarta-Yogyakarta untuk nanti sore masih ada, tinggal 16 kursi eksekutif.”

“Oke saya—“

"Zira!”

Suara Zira terpotong saat seseorang memanggil namanya dari belakang. Zira berbalik, menatap cowok itu, sempat terpaku dengan apa yang dilihatnya, sebelum akhirnya kakinya bergerak cepat mendekati cowok itu.

"Melvin." Kedua tangan Zira terbentang, lalu memeluk cowok itu. Kesal, marah, dan takut berpadu menjadi satu dalam emosi Zira.

"Ra."

"Lo kemana sih?! Lo buat gue takut tau gak?! Jangan ngeprank gue lagi bisa gak sih?!" Zira memaki-maki cowok itu dengan kepala yang masih tersembunyi di dada bidang cowok itu.

Kekehan kecil terdengar dari cowok itu, tangannya hanya menepuk-nepuk punggung Zira. "Gue bukan Melvin."

Keheningan seketika menjamu keadaan, isakan yang sudah ada di ujung tenggorokan tertahan. Dengan kaku Zira melonggarkan tangannya yang melingkar di perut cowok itu.

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now