38 - Memilih

663 73 54
                                    

Play | Dua Lipa - Don't Start Now |

I didn't leave you at all

* * *

Mobil silver itu perlahan pergi setelah Ghea turun dari sana, pupil hitamnya melirik sekilas ke arah parkiran sekolah. Hari ini ia sengaja datang siang karena ada sesuatu yang selalu mengganjal di pikirannya akhir-akhir ini.

Dari luar sekolah saja Ghea tahu siapa pemilik punggung yang sedang melapaskan helm hitam dari atas motor gedenya. Tangan cowok itu bergerak merapikan rambut cokelat gelapnya sambil berkaca di spion motor.

Jantung Ghea berdetak lebih cepat saat cowok yang sedari tadi ia perhatikan membalikkan tubuhnya dan menatap dirinya. Sergi tersenyum, cowok itu berjalan mendekati Ghea yang masih diam tak berkutik.

Tangan sergi melambai-lambai tepat di depan wajah Ghea. "Ngelamunin gue, ya?"

Ghea tersentak kaget, ia langsung memalingkan mukanya yang terasa terbakar. Tangannya melemparkan hoodie zipper hitam ke cowok itu, jaket yang tempo hari itu ia pakai di Madera House.

"Sama-sama," sahut Sergi saat Ghea berlalu begitu saja setelah mengembalikan jaket kesayangannya.

Ghea berbalik dan menatap cowok itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Apa ia harus berterima kasih? Padahalkan waktu itu ia tak membutuhkan jaket itu, tapi ya ...

"Thanks." Ghea tersenyum tipis, buru-buru ia berbalik dan menghilang di belokan koridor.

Ghea menyenderkan tubuhnya tepat di dinding belokan koridor. Hembusan napas lega dikeluar dengan penuh tenaga dari hidung dan mulutnya, ia memegang dada kirinya. Ada yang berdetak di dalam sana, tapi tak terkendali. Ghea mengipas-ngipaskan tangannya di depan muka, entah sejak kapan wajahnya menjadi panas sekali.

Ghea memejamkan matanya, baru kali ini reaksi tubuhnya seperti ini. "Gue kenapa sih?" gumamnya pelan.

Sergi tersenyum geli, ia memperhatikan Ghea yang sedang mengipas-ngipaskan tangannya ke depan wajah dengan mata yang terpejam. Cewek itu belum menyadari keberadaannya.

Sergi menyelempangkan hoodie hitamnya di bahu cewek itu. "Gue titip hoodie kesayangan gue di cewek yang gue sayang."

* * *

"Melvin Ganteng, jangan ngambek ih." Zira mencubit-cubit lengan cowok yang sedang fokus mengerjakan latihan soal try out tahun kemarin.

Zira menghela napasnya, berkali-kali ia mengajak ngobrol rekan ambyarnya itu. Tapi tak pernah direspon. Melvin mendiamkannya, seolah dirinya tak ada di sisi cowok itu.

"Mending lo ngamuk-ngamuk gak jelas deh, daripada diemin gue kek gini terus." Zira menopang dagunya di atas meja belajar depan Melvin.

Mata benetra biru gelap itu memperhatikan setiap inci wajah tampan Melvin. Bisa diakui Melvin lebih tampan dari Gino. Mata elangnya yang bermanik abu, alis tebal yang membuat dirinya terkesan galak, bulu matanya yang tak terlalu panjang, tapi mampu menjadi pelengkap untuk mata bermanik abu, hidungnya yang mancung, dan bibir yang bagian bawah tebal. Perfect, nyaris. Zira tersenyum, cewek mana yang tak jatuh hati dengan cowok dengan kadar tampan di atas rata-rata seperti Melvin.

Diamnya Zira membuat Melvin terheran-heran sendiri, ia tahu cewek di depannya sedang memperhatikan dirinya lekat-lekat. Hanya saja ia merasa aneh ketika cewek banyak bacot itu tiba-tiba diam di ruang waktu yang cukup lama.

"Mel, masih sakit ga itu?" Zira menunjuk pipi kiri Melvin yang lebam. "Sayang banget, ganteng-ganteng bonyok."

Melvin melirik sekilas cewek itu, ia melihat Zira yang sedang tersenyum seperti orang gila. Melvin tahu, cewek itu lagi ada maunya kalo muji-muji dirinya.

CLASSIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang