43 - Pamit

566 77 33
                                    

I cry

For the sons without fathers
And the pain that their mothers

| Usher - I Cry |

Zira meraih tangan Melvin, ia menaruh delapan kartu dengan berbagai warna, lebih dominan warna hitam di telapak tangan cowok itu. Tak lupa ia menyelipkan cincin di antara kartu-kartu itu.

"Aku minta maaf, Mel pernah ngambil kartu-kartu itu." Dengan hati yang sudah diteguhkan, Zira berkata sejujurnya apa saja yang sudah cewek itu lakukan selama ini. 

Banyak hipotesis yang terbentuk ketika niat ini di luruskan. Lebih condong ke dugaan negatif yang timbul. Zira tahu Melvin mungkin akan marah dan yang paling buruk membencinya karena munafik.

Tak apa, Zira sudah siap menanggung semua risiko itu daripada ia terus bersembunyi di zona nyaman tanpa memastikan semuanya akan aman.

Karena Zira tahu kesempatan hidup tak ada yang bisa menduga, kecuali Sang Pencipta. Zira diberi kesempatan hidup kembali untuk memperbaiki semuanya, bukan untuk memperkeruh.

"Kalo harta dan tahta buat lo bahagia, gue kasih itu semua ke lo." Melvin menatap Zira dengan datar. "Bahkan lo separuhnya udah dapat."

Dari gaya bahasanya saja Zira tahu cowok itu marah. Perkataan cowok itu berhasil membuat dirinya kelesah, terasa tertikam dalam diam.

"Aku tau, aku salah. Maafin aku, Mel." Ini kesalahan yang paling bobrok yang pernah Zira lakukan.

Melvin merongoh saku celananya dan mengeluarkan benda yang sejak tadi tersimpan di sakunya. Benda itu seperti buku kwintasi kecil.

"Gue kasih ratusan lembar cek yang udah gue tanda tangan. Lo bisa sepuasnya ngisi berapa nominal angka yang lo mau." Melvin berkata dengan tenang, tanpa beban. "Kalo masih kurang bilang aja."

Hati Zira semakin remuk, tersalurkan oleh air mata yang mengalir tanpa isakan. Ia tahu, Melvin bisa marah karena ulahnya yang selama ini tersembunyi. Zira memang pantas mendapatkan celaan seperti itu dari Melvin. Walaupun cowok itu berkata tanpa ekspresi, tetap saja berhasil membuat hatinya terhimpit oleh rasa sesak di dada.

"Aku gak butuh, Mel." Zira berdiri dan mengembalikan buku cek itu. "Money can't buy happiness."

Melvin menatap lawan bicaranya yang sedari menghindari kontak mata. "Bagus kalo lo tau itu."

Zira mengusap pipinya. "Aku pulang, semoga besok ujian nasionalnya lancar. Jangan lupa belajar." Zira terkekeh sumbang dalam hati, untuk apa ia berkata seperti itu. Melvin akan selalu sempurna ketika mencetak angka-angka dalam akademik.

"Sekali lagi aku minta maaf dan makasih." Sebelum Zira menutup pintu kamar, cewek itu sempat berkata dan menatap Melvin yang sedang menonton acara televisi.

"Bentar," cegah cowok itu.

Melvin meninggalkan sofa yang beberapa detik ia duduki dan berjalan mendekati Zira yang terdiam di ambang pintu dengan raut sendu.

"Bawa." Melvin menyerahkan cincin yang tadi Zira selipkan di antara kartu-kartu. "Gue gak yakin cincin itu asli, bisa jadi itu cuma imitasi."

Zira mematung di tempatnya, tak menyangka cowok itu berkata demikian. Semaruk-maruknya Zira, cewek itu tak pernah menukar barang asli dengan barang tiruan.

"Kenapa lo gak bawa semua harta ini?" Melvin kembali mengeluarkan suara. "Oh, atau lo butuhnya yang cash?"

Melvin merongoh saku celananya, ia mengeluarkan dompet tebalnya. Melvin mengeluarkan semua uang yang berwarna merah yang ada di dompetnya itu, lalu diserahkan kepada cewek di hadapannya.

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now