57 - Retrouvailles

428 65 37
                                    

2 tahun kemudian ...

“Ganteng banget!”

“Gagah!”

“Keren parah calon imam gue!”

“Pasti mereka punya roti sobek di perutnya.”

“Kok gue deg-degan, ya? Apa ini pertanda dia jodoh gue?”

“Halu! mana mau mereka sama lo!”

“Ye, siapa tau lah, sirik lo!”

“Eh mereka kayak tentara lho!”

“Ngawur lo! Tentara dari mana? Emang mereka pake seragam loreng?”

“Emang tentara harus pake seragam loreng aja gitu? Liat lencana di dada kirinya ada apaan! Topinya juga anti maintream gitu.”

“Diem-diem! Mereka nyebrang jalan! Mereka ke sini!”

Zira menghela napasnya, salah besar ia mengambil keputusan untuk revisi skripsi di cafe. Bukan maksud ia datang ke sini untuk bergaya estetik ala-ala anak zaman sekarang yang mengerjakan tugas di cafe-cafe. Tapi, hari ini ia ada janji dengan dosen pembimbing di sini.

Di belakang bangku Zira terdapat siswi-siswi SMA yang entah sejak kapan bisa hadir di cafe ini— setahunya tadi cafe masih adem ayem sebelum kedatangan mereka.

Tanpa mau repot menegur anak-anak itu, Zira lebih baik mengalah dan mengangkut barang-barangnya menjauhi meja mereka. Zira tak tahu apa penyebab kehebohan siswi-siswi itu, ia tak peduli.

Suara lonceng pintu terdengar disertai suara pekikan tertahan dari siswi-siswi itu terdengar.

Zira kembali menyumpal telinganya dengan headset, alunan lagu menemaninya merevisi file skripsi sebelum dosen pembimbing datang.

Sorry bangku depan gue udah ada yang boking, lo bisa pindah ke tempat lain.” Zira berujar saat bangku di seberangnya terisi. Lagi-lagi Zira tak mau repot melihat siapa orang itu karena matanya sangat fokus membaca setiap kata di laptopnya dengan jari yang bergerak lincah di keyboard.

Orang di hadapan Zira melepaskan topi hitam yang ia kenakan, lalu menyimpannya di meja. Lencana seekor burung garuda emas kecil dan lencana bendera merah putih terpasang di permukaan depan topi hitam itu menarik perhatian Zira.

Ini orang cinta banget sama negara sampai topi sendiri dipasang kek gituan, gumam Zira.

“Bangku yang lain pada penuh, gue di sini aja, ya?” ujar sosok yang menempati bangku depan Zira.

Zira langsung terbelalak karena mengenal suara berat itu, ia mendongakkan kepalanya dengan cepat. “Kenny?!” Dengan kecepatan seribu kilat Zira langsung memeluk laki-laki itu.

“Lo kemana aja, anjir?!” tanya Zira tanpa bisa mengontrol rasa bahagianya bertemu dengan teman lama SMA.

Belum sempat Kenny menjawab pertanyaan, Zira kembali berteriak dengan nyaring bak orang yang gila.

“Aji! Raihan!” teriak Zira saat dua sosok pria dengan badan tegap baru memasuki cafe. Satu persatu cowok-cowok itu Zira peluk, retrouvailles¹ bermekaran di hati Zira.

“Sehat, Ra?” tanya Aji dengan lesung pipi yang telihat akibat senyum manisnya yang tak pernah berubah.

Zira mengangguk dengan semangat. “Sehat-sehat!”

“Bahagia bener lo liat kita, Ra,” kekeh Raihan sembari duduk di tempat Zira. “Lo lagi ngapain? Skripsian? Masih musim emang?”

“Maklum anak kuliahan, kuno.” Kenny menimpali ucapan Raihan.

Zira duduk di samping Raihan, lalu mencibir pelan. “Sok mentang-mentang lo pada anak-anak Taruna gue Mahasiswa sendiri. Mau pecah rasanya kepala gue revisian terus, belum juga gue sidang.”

Ketiga cowok itu tertawa. Zira yang mendengarnya merinding sendiri! Suara mereka berat sekali, tak seperti ketika mereka masih zaman SMA yang masih ada cempreng-cemprengnya.

“Ketawa anak Taruna nyeremin juga,” gumam cewek itu.

Keheningan terjadi, Zira sibuk memperhatikan teman-teman sekelasnya dulu. Tak menyangka mereka akan menjadi pengabdi negara. Tubuh mereka juga telah terbentuk, Zira membenarkan ucapan salah satu siswi tadi, mereka pasti punya roti sobek di perutnya.

“Ih kok awkward gini, sih!” kekeh Zira. Tangannya bergerak mengambil topi yang berlencana burung gadura dan bendera merah putih milik Kenny, lalu memasangnya di kepala. “Bentar deh gue pesenin minum. Mau minum apa?”

“Gue jus jambu ajalah,” jawab Kenny.

“Gue jus mangga,” timpal Raihan.

Zira manggut-manggut. “Jaga kesehatan banget. Eh kalo lo, Ji? Lo masih suka caramel macchiato, kan?”

Aji mengangguk dengan senyum tipis. “Masih, pesenin itu aja.”

“Oke, deh, gue pesenin dulu.” Gadis dengan balutan tunik panjang pink itu melenggang pergi.

Sepeninggal Zira, ketiga pria itu saling tatap. Ketiga pasang netra itu seperti sedang berkomunikasi. Hingga waktu cukup lama berlalu, akhirnya mata Kenny dan Raihan menatap lekat ke arah Aji.

Helaan napas keluar dari mulut Aji dan bergumam pelan, “Nanti gue jelasin soal itu ke Zira.”

Tak lama Zira kembali dengan dua gelas jus dan satu cup minuman kopi. “Nih datang.”

Kenny langsung menyerobot gelas berisikan jus jambu dan menyedotnya dengan tak santai. “Lo lagi janjian sama siapa?” tanyanya.

“Dosen pembimbing,” balas Zira. “Tapi dia gak tau datang gak tau enggak, soalnya ini udah lima belas menit lebih dari waktu janjian.”

“Di jalan kali, macet.”

“Bener juga, sih kalo dia lagi di luar kampus. Padahal gue milih cafe ini biar dia bisa langsung dari kampus ke sini.”

Raihan mengoprek ponselnya. “Gue langsung cabut sekarang, gak bisa lama, ada acara keluarga.” Raihan meminum jusnya hingga setengah gelas hampir habis.

“Gue juga, mau foto studio sama keluarga,” tandas Kenny.

“Lah kok cepet baget, sih? Gak kangen gue apa?” Zira mengerucutkan bibirnya. “Lo pada gak berubah, ya. Satu pulang, satunya lagi ikut pulang. Kalo lo, Ji? Lo juga mau balik?”

Aji menggeleng. “Enggak, gue di sini mau agak lamaan. Sekalian nunggu lo beres.”

“Makasih lho, ya.” Zira berujar dengan senyum yang mengembang.

“Ya udah kalo gitu, gue sama Raihan balik duluan,” pamit Kenny.

Zira mengangguk. “Eh ini topi lo masih di kepala gue. Buat gue aja gitu?” kelakar Zira.

“Iya buat lo aja.”

Zira melongo. “Seriusan?”

Kenny mengangguk sambil kakinya mulai melangkah meninggalkan meja yang diikuti Raihan.

“Eh bentar.” Zira berdiri menyusul kedua cowok itu. Tangan kanannya terulur di hadapan kedua cowok itu. “Congrats, sorry gue gak ada pas lulusan lo jadi Taruna, lo pada gak pernah ngabarin sih jadi gue kagak tau.” Zira menjabat tangan milik Kenny, lalu Raihan.

Setelahnya, Zira kembali ke meja. Mata biru Zira tak sengaja melirik siswi-siswi rempong yang saat ini sedang bergosip ria tentang dirinya. Zira hanya menyunggingkan senyum simpul, sudah menjadi hal biasa hidupnya yang disiriki banyak orang.

“Ji lo tau gak?” seloroh Zira sambil menutup laptopnya. Ada banyak cerita yang harus ia ceritakan kepada cowok itu.

“Apaan?” tanya Aji.

“Jadi dua tahun belakangan ini gue sering teleponan sama Melvin, lho!”

Aji nyaris tersedak dengan minumannya sendiri, senormal mungkin ia mengatur ekspresinya. “Kata lo dia gak bawa apa-apa pas pergi.”

Zira menggeserkan bokongnya, mencari tempat nyaman untuk bercerita. “Iya, awalnya gitu. Tapi, dua tahun yang lalu Om Hendra ngasih gue nomor kedua Melvin yang sampai sekarang masih aktif.”

“Oh ya?” respon Aji.

“Iya! Tapi, gue cuma bisa nelepon dia seminggu sekali selama 15 detik.”

Oke. Itu bukan hal yang baru apalagi aneh bagi Aji. Cowok itu kembali pasang telinga mendengar cerita epik yang sedang cewek itu bicarakan.

“Jadi selama dua tahun ini gue sering denger suara dia walaupun lewat telpon. Satu tahun pertama sih gue yang banyak bacot, padahal gue udah nargetin buat Melvin 10 detik, buat gue 5 detik. Tapi, gue gak bisa sumpah! Jadi sering keceplosan ngomong terus sampai sambungan telponnya putus sendiri.”

Aji manggut-maggut saja sambil menyeruput caramel macchiatonya. “Kabar Melvin gimana? Dia sekolah dimana katanya?” tanya Aji.

Entah Aji yang salah liat atau tidak, ia tak lagi melihat lengkungan di bibir cewek itu dan aura kehangatan Zira sekarang terasa mendingin.

“Gue rasa kabar Melvin baik, Ji. Cuma, ya, gue sampai sekarang gak tau dia sekolah dimana. Dia gak pernah jawab kalo gue tanya itu.” Zira menatap biji mata milik Aji. “Di sekolah akmil juga gak ada dia, kan, Ji?” tanya Zira.

Aji menengakkan posisi tubuhnya. “Ya, masih sesuai sama kayak itu, Ra, waktu lo teleponan sama pihak sekolah akmil.”

Zira menghembuskan napas kecewa, tapi tak apalah mau jadi apapun Melvin nanti ia akan tetap loyal, sesuai dengan janjinya kepada cowok itu.

“Dia makin ke sini makin beda, Ji,” curhat Zira lagi.

“Beda gimana?” Alis Aji bergerak tak tentu.

“Satu tahun terakhir ini, Melvin yang banyak ngomong di telepon.”

“Ya bagus lah.”

Zira menggeleng. “Nggak, Ji. Dia satu tahun terakhir ini kayak gimana, ya ... kayak selalu ngingetin gue terus ... apa ya, pokoknya dia tuh kek ngenasihatin gue gitu lah. Gue potong ucapannya dia tetep aja ngomong. Dia tuh kayak gak mau denger omongan gue.”

Aji terdiam, ia sadar jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

“Itu cuma perasaan lo aja kali, Ra.” Aji berusaha netral dan tak ingin mendukung blok manapun. “Dosen pembimbing lo gak jadi datang, nih?” tanya Aji membelokkan topik.

Zira mengerjap. “Lah iya juga, kemana, ya dosen gue?” kepala Zira menengok sana-sini mencari batang hidung dosennya.

CLASSIC [END]Where stories live. Discover now