Ke - 45

50.7K 4.6K 607
                                    

Semoga suka yaa:)

*jangan ngikutin dapa!

🌱

- Daffa dan Devan -

Air matanya terus mengalir dengan deras, bersamaan dengan rasa takut dan khawatir menyelimuti perasaannya. Ingin menghubungi seseorang yang ia yakini sedang mengkhawatirkannya, tapi apalah daya? Ia tak bisa menghubunginya sebab ancaman yang lagi-lagi Devan berikan.

Khanza tidak bisa apa-apa tanpa Raffa, tapi meminta bantuan Raffa juga bukanlah solusi. Bisa-bisa Rey akan benar-benar habis di tangan Devan dan Khanza tidak mau hal itu terjadi. Belum lagi, kemungkinan besarnya Raffapun akan Devan habisi mengingat lelaki itu pasti menyimpan dendam karena insiden putus.

Khanza menarik nafasnya dalam lalu ia hembuskan perlahan. Terus seperti itu sampai ia merasa tenang, walau sejujurnya itu tidak membantu sama sekali.

Drrrrttttt.

Bunda

Ia memejamkan matanya, membuat air mata itu kembali mengalir. Bayangan sang bunda yang khawatir membuat hatinya nyeri, tapi ia juga bisa apa? Jika berkata dengan jujur dan bundanya malah meminta Raffa untuk menyusul, apa yang akan terjadi pada Rey nanti? Dan Khanza tidak mau sampai hal itu terjadi.

Panggilan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya tidak ia angkat. Terhitung selama perjalanan Nisa menelepon Khanza sebanyak lebih dari 50 kali. Tidak hanya Nisa, Nia—mama Raffa juga mulai meneleponnya.

Khanza kelimpungan sekarang, pasti bundanya dan mama Raffa sedang mencarinya di sana. Kilasan-kilasan bayangan khawatir keduanya terus berdatangan membuat Khanza mau tak mau menaruh handphone di atas pangkuannya.

Tangan mungilnya mulai menutupi wajah, isak tangis mulai terdengar.

"Hiks, ma--maafin Aca, bun--da, mama, hiks," gumamnya.

Supir taksi yang masih menyetir mengantar Khanza ke tempat tujuan pun sempat bingung kenapa penumpangnya itu menangis.

🌱

Kaki kecil yang dibalut sendal jepit kesayangannya menginjak tanah yang sedikit basah itu. Ia melihat sekeliling dengan takut.

Di sini sangat amat gelap, hanya ada pos ronda yang tak berpenghuni juga sebuah gang kecil. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya ada pohon-pohon besar dan rawa-rawa. Bisa Khanza yakini bahwa tempat ini adalah tempat yang sangat pas untuk seseorang yang ingin melakukan hal buruk.

Tapi ia berharap hari ini, malam ini ia baik-baik saja dan bisa membawa pulang Rey dengan selamat.

Khanza memeluk tubuh mungilnya yang kini masih terbalut hoodie besar Raffa. Aroma Raffa di hoodie itu tercium sangat jelas membuat Khanza merasa ia sedang bersama Raffa dan itu membuatnya sedikit lebih tenang.

Devan berkata jika sudah sampai di depan gang, Khanza bisa berjalan memasuki gang. Terus lurus hingga menemukan sebuah gudang kecil dan itulah tempatnya.

Khanza menarik nafasnya pelan, lalu ia hembuskan. Ia menggigit bibir bawahnya takut, matanya kembali berkaca-kaca saat melihat kanan dan kirinya benar-benar gelap.

"Raffa, aku takut. Ayah, bunda, kak Rey, Aca takut," batinnya menangis.

Kakinya mulai melangkah dibantu dengan senter yang ia nyalakan di handphone. Senter itu ia arahkan kesegala arah untuk melihat kondisi sekitar. Khanza tidak tahu ini ada di mana, ia tidak mengerti google maps yang membawanya ke sini. Yang ia tahu ini sangat amat jauh, sehingga ia juga harus membayar ongkos taksi sangat mahal.

RAFFA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang