Raffa menatap mata Sarah dalam, "Kak, nenek udah tenang di sana. Nenek bakal baik-baik aja dan tenang di sisi-Nya. Kalo kakak sedih, nenek juga sedih kak," ucap Raffa dengan lembut.

Sarah menatap mata Raffa dengan berkaca-kaca, "Nenek de, nenek," gumam Sarah.

"Nenek sama kakek di sana kak," ucap Raffa lagi, masih terus menyakinkan Sarah.

"Gue sama siapa kalo gak ada ne--."

"Gue dan mama ada buat lo," ucap Raffa memotong perkataan Sarah.

Sarah terdiam hal itu membuat Raffa kembali menarik Sarah ke dalam pelukannya. Bagaimanapun juga Sarah pasti merasa sangat terpuruk hari ini.

🌱

Sarah sedang istirahat di dalam kamarnya setelah menangis tadi. Nia sudah kembali sadar dan kini sedang di bawah, bersama dengan para tetangga juga teman-temannya yang melayat.

Berkali-kali Raffa menghubungi Khanza, tapi tidak ada respon dari gadis itu. Beberapa pesannya masih tak kunjung Khanza buka, panggilan pertama hingga ketiganya tidak diangkat dan panggilan keempat dan seterusnya handphone Khanza tidak aktif.

Raffa mengacak rambutnya kasar. Sebisa mungkin ia mengendalikan emosinya. Perasaannya kini diselimuti oleh rasa kecewanya pada Khanza dan rasa sedih karena Mia sudah tidak bersamanya lagi. Benar apa yang Raffa pikirkan tadi, jika Khanza saja memilih untuk menjauh dan Mia tidak lagi bersamanya pada siapa Raffa mencurahkan isi hatinya saat ini?

Tidak mungkin Raffa menangis dipelukan sang mama atau Sarah, karena bagaimanapun juga mereka yang membutuhkan kekuatan dirinya. Jika Raffa saja terpuruk dan bersedih, bagaimana Sarah dan mamanya?

Bohong jika Raffa berkata dirinya baik-baik saja. Ia juga sama terpukulnya seperti Sarah dan Nia, atau mungkin lebih. Tanpa sepengetahuan keduanya, Raffa lebih sering menghabiskan waktunya bersama sang nenek. Tak jarang Raffa mengajak neneknya pergi ke mall atau ke taman, yang di mana Sarah selalu melarangnya karena Mia sangat rentan sakit.

Kenangan manis bersama Mia terus hinggap di pikirannya. Mata yang awalnya menatap lurus ke depan perlahan mengabur. Matanya terasa panas ditambah dadanya yang begitu sesak. Ia butuh Khanza sekarang, butuh pelukan Khanza dan butuh ucapan menenangkan Khanza.

"Hiks."

Hancur sudah pertahanan Raffa, ia tidak bisa lagi menahannya. Air matanya mengalir dengan deras.

"Nek."

Raffa terus mengusap matanya, berharap air matanya itu segera berhenti. Namun, kegiatannya itu malah membuatnya semakin merasa sakit.

"Nek, Raf--fa harus apa? Raffa ngga se--kuat itu nek," gumam Raffa.

Kini kedua tangannya menutup wajah, air matanya mengalir semakin deras.

Sekuat-kuatnya Raffa, ia juga manusia. Raffa juga mempunyai perasaan. Walau ia sudah terbiasa akan hal-hal buruk sejak kecil, Raffa tetap anak manja yang selalu mengadu pada sang nenek. Kini anak manja itu tidak tahu harus mengadu pada siapa, 2 orang yang ia anggap rumah satu persatu pergi.

🌱

Perasaan Khanza tidak karuan, pikiran dan hatinya terus mengarah pada Raffa. Lelaki yang puluhan kali mengirimnya pesan dan beberapa kali meneleponnya.

Mungkin ia akan lebih tenang jika lelaki itu ada di sekitarnya. Namun, nyatanya ia tadi melihat Raffa berlari bak orang kesetanan dan sialnya ia tidak tahu apa yang membuat lelaki itu berlari begitu kencang.

Tadinya ia ingin mengangat telepon Raffa barang sekali dan bertanya ada apa sebenarnya. Tapi Devan, lelaki itu langsung mematikan handphonenya membuat Khanza hanya bisa diam.

Kini ia berjalan dari toilet menuju kelasnya. Ia memilih untuk mencari koridor yang jauh agar ia tak cepat sampai di dalam kelas. Ia masih ingin memikirkan ada apa sebenarnya pada Raffa. Ingin coba menghubungi Raffa pun ia dengan bodoh meninggalkan handphonenya di kelas. Jadi, ia hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi.

"Innalillahi, serius bu?" tanya seorang guru membuat Khanza mengerutkan keningnya.

Ia diam sejenak di dekat ruang guru, penasaran.

"Iya bu, saya dapat kabar dari ibu Nia."

Deg.

Jantungnya berdetak cepat, ada apa ini?

"Pulang sekolah kita langsung ke rumah duka saja."

Deg.

"Rumah duka? Siapa yang meninggal? Ibu Nia? Mama?" batin Khanza.

Dengan berani ia melangkahkan kakinya untuk memasuki ruang guru, membuat guru-guru itu menatap Khanza bingung.

"Ada apa Khanza?" tanyanya.

"Hm, itu, anu bu. Tadi saya gak sengaja denger, rumah duka? Maksudnya siapa yang meninggal bu?" tanya Khanza langsung.

Guru-guru itu saling tatap, lalu satu diantaranya mengangguk seolah menyuruhnya memberitahu Khanza.

"Kamu tidak tahu? Nenek Raffa, pemilik sekolah ini meninggal satu jam yang lalu," jelasnya.

Khanza melebarkan matanya terkejut, ia menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca.

"Se--serius bu?" tanyanya dan guru itu mengangguk.

"Tadi Raffa langsung pulang, bahkan mamanya yang mengabari ibu kalo Raffa pulang lebih dulu dan Sarah tidak masuk sekolah," jelasnya lagi.

Khanza sudah menitikan air matanya, jadi ini alasan kenapa Raffa terus meneleponnya? Rasa bersalah tiba-tiba menyelimuti perasaannya.

"Bu, saya boleh izin ke sana? Raffa pasti butuh saya, dia daritadi nelpon tapi gak keangkat," ucap Khanza dengan nada memohon.

Melihat Khanza yang sudah menangis membuat guru itu mengangguk.

"Baiklah, kamu boleh izin. Sampaikan salam saya pada bu Nia, Raffa dan Sarah, turut berduka cita," pesannya.

Khanza mengangguk, "Makasih bu."

🌱

Gimana woi ini? Satu kata lagi buat khanza?

Jangan lupa vote dan comen.

6jan21

Publish ulang, 28 april 2022

RAFFA (END) Where stories live. Discover now