Raffa mengangguk dengan senyum haru. Ia bahagia sangat bahagia, bahkan matanya berkaca-kaca melihat Khanza yang sudah membuka mata.

"Ca," panggil Raffa lagi dengan suara bergetar.

"Maaf harus saya periksa dulu," seorang dokter membuat Raffa mengangguk, lalu menyingkir.

Edo, Evan, Alvan dan Adiba tak kalah bahagianya dengan Raffa. Apalagi Edo dan Evan sampai bersujud syukur, karena mereka tidak akan pernah mau lagi melihat Raffa seperti mayat hidup. Ya, selama menunggu Khanza Raffa benar-benar seperti mayat hidup.

"Pasien dalam keadaan baik, hanya saja jangan terlalu diajak banyak bicara," ucap dokter itu lalu pamit keluar.

Raffa langsung mendekat dan memeluk Khanza yang masih berbaring. Sambil memeluk Khanza, Raffa menitikan air matanya. Ia sangat takut Khanza tidak akan pernah membuka matanya, maka dari itu ia sangat bersyukur sekarang.

"Jangan buat aku khawatir lagi," bisik Raffa di dalam pelukannya.

Khanza tertawa pelan, "Aku gapapa," ucapnya menenangkan Raffa.

"Hm ini Raf--."

"Raffa, aku Raffa. Maaf gara-gara aku kamu jadi gini," ucap Raffa penuh penyesalan.

"Its okay," bisik Khanza.

"Huaa Raf! Gue juga mau peluk Khanza!" pekik Adiba membuat Raffa mau tak mau kembali berdiri tegak.

"KHANZA! HUAA GUE SENENG BANGET LO BANGUN! LO TAU GAK SIH GUE SELAMA DUA HARI INI DI KELAS TERUS! GAK ADA TEMEN KE KANTIN! HUAAA!" pekik Adiba membuat Khanza terkekeh geli.

"Kan ada Alvan," balas Khanza.

"Tapikan rasanya beda gak ada lo di sisi gue," sahutnya.

"Boong Za boong dia mah! Orang kerjaannya ngebucin mulu sama si Alvan di kelas," celetuk Edo membuat Adiba menatapnya kesal.

"Apaan sih?! Gak ikut campur! Udah lo paling bener mah diem!" seru Adiba, lalu kembali memeluk Khanza.

"Gue kangen sama lo," ucap Adiba lebih manusiawi tidak seperti tadi yang teriak-teriak.

"Gue juga," balas Khanza.

Adiba melepas pelukannya, menatap tubuh Khanza dari atas hingga bawah.

"Masih pada sakit?" tanyanya khawatir.

Khanza mengangguk kecil, "Sedikit pusing, jari masih sedikit nyeri dan semua badan kaku," jelasnya.

"Siapa?" tanya Raffa membuat Khanza mengerutkan keningnya.

"Nah iya gue baru mau nanya Raf!" sahut Evan.

Adiba dan Khanza saling tatap. Khanza memberi kode pada Adiba untuk tidak memberitahu.

"Vio. Vio sama temen-temennya yang bully Khanza," ucap Adiba membuat Khanza melebarkan matanya.

"Kok lo tau?" tanya Edo.

"Ini bukan pertama kali Khanza dibully Vio. Tapi, gue rasa ini yang paling parah," jawab Adiba santai.

"KENAPA LO GAK BILANG?!" bentak Raffa emosi membuat Alvan langsung mendorong bahunya.

Alvan tidak terima Adiba dibentak begitu oleh Raffa, "Tahan emosi lo!"

"Khanza yang minta," balas Adiba tanpa takut.

Mata Raffa langsung turun ke Khanza, "Bener?" tanyanya.

Khanza mengangguk kecil, detik berikutnya Raffa pergi dari ruangan Khanza.

"RAFFA!"

🌱

Lelaki itu tahu kemana ia harus pergi. Ia sedikitnya tahu apa yang dilakukan oleh gadis-gadis famous di sekolahnya.

Maka kakinya melangkah lebar memasuki cafe itu. Matanya langsung menangkap 2 gadis yang sedang berfoto ria di pojokan sana, langsung saja ia melangkahkan kakinya ke pojok.

Dengan sekali gerakan, ia menarik satu dari 2 gadis itu dan membawanya keluar.

"Eh apa-apaan sih lo?! Lo siap--RAFFA?!" pekik Vio, saat Raffa mendorongnya untuk memasuki mobil.

Ia juga ikut masuk ke dalam mobilnya membuat Vio sedikit takut.

Apa Raffa sudah tahu bahwa ia orang yang membuat Khanza seperti itu? Pikirnya.

"Aku mau turun!" seru Vio, Raffa langsung mengunci mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Vio ketakutan saat Raffa mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Berkali-kali ia meneriaki Raffa namun Raffa tidak mendengar. Ia hanya bisa merapalkan doa dan berharap ini bukanlah akhir dari hidupnya.

Hingga mobil Raffa terhenti di sebuah bangunan kosong yang jaraknya sangat jauh dari kota. Vio bahkan tidak tahu dirinya di bawa ke daerah mana oleh Raffa. Yang jelas ini sangat amat jauh, namun terasa cepat karena Raffa mengendarai mobil dengan sangat kencang.

"Ini di mana Raf?" tanya Vio, Raffa tidak menjawab.

Langsung saja ia menarik Vio untuk memasuki bangunan itu.

Bau anyir mulai menyeruak ke indra penciuman Vio. Ia mulai bergetar takut sekarang, dilihatnya juga Raffa seperti bukan Raffa yang ia kenal.

Brak.

Raffa membanting Vio hingga gadis itu tersungkur.

"Call me Daffa," ucapnya dengan seringai mengerikan di wajah tampannya.

🌱

Gimanaaa?!!!

Jangan lupa vote dan comen.

30des20

Daffa sebenernya pacar aku..

Publish ulang, 14 april 2022

RAFFA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang