Raffa membuka tenda kelompok Khanza, terlihatlah gadis mungil yang terlelap di balik selimut bergambar unicorn. Itu selimut milik Khanza yang semalam gadis itu masukan ke dalam tasnya.

Raffa duduk di samping Khanza, tangannya terulur untuk mengusap kening Khanza yang tampak berkeringat. Ia mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa Khanza tidur dengan gelisah. Kepalanya terus bergerak ke kanan dan ke kiri, nafasnya pun naik turun.

"Hey?" panggil Raffa.

Khanza masih memejamkan mata, perlahan air mengalir dari matanya. Melihat itu Raffa panik juga bingung.

"Ca?" panggilnya lembut.

Raffa terus mengusap rambut Khanza lembut.

Air mata Khanza masih terus mengalir. Khanza semakin tidak tenang dalam tidurnya.

"Ca bangun."

"Ca?"

"DAFFA JANGAN!" teriak Khanza langsung terbangun.

"Hey, hey tenang," ucap Raffa mengusap bahu Khanza lembut.

"Raffa?" tanyanya.

"Iya aku Raffa," jawabnya.

Raffa langsung menarik Khanza ke dalam pelukannya, saat itulah Khanza menangis sejadi-jadinya.

"Raf--fa, Daf--Daffa kem--bali," tangis Khanza pecah, ia sungguh takut sekarang.

"Ngga Ca, Daffa gak ada. Dia udah gak pernah datang," balas Raffa dengan tangan mengusap punggung Khanza lembut.

"Daf--fa, dia lu--lukain kak Dev--van," ucap Khanza disela-sela tangisnya.

"Ngga Ca, itu cuma mimpi. Daffa gak ada, dia gak akan pernah kembali, aku yakin," balas Raffa dengan lirihan diakhir ucapannya.

"Aku takut," lirih Khanza yang benar-benar ketakutan.

Raffa menghembuskan nafasnya, kenapa Daffa harus hadir dimimpi Khanza? Kenapa Daffa harus melukai Devan? Bukankah Devan lelaki baik? Kenapa Daffa kembali setelah sekian lama tidak hadir?

Banyak pertanyaan di benak Raffa, segera mungkin ia menjernihkan kembali pikirannya. Di saat seperti ini, tidak baik jika ia terlalu banyak pikiran. Ia harus menjaga Khanza, ia harus selalu ada di dekat Khanza. Keselamatan Khanza selama camping berlangsung adalah tanggung jawabnya.

🌱

Selepas dari mimpi Khanza tentang Daffa. Kini Khanza sudah kembali seperti semula. Ia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini ia sedang duduk di salah satu kursi plastik dengan tangan memegang sepiring makan.

Iya, Khanza baru saja mengambil makan. Sekarang ia bingung bagaimana cara makannya, tidak ada meja di sini.

"Sini aku suapin," ucap Raffa lalu menarik piring Khanza.

"Raffa gak makan emang?" tanya Khanza setelah menelan makan yang sudah Raffa suapi.

"Abis kamu, baru aku makan," balasnya membuat Khanza mangut-mangut.

Selagi Raffa menyendokan nasi, tangan Khanza dengan santai mengambil paha ayam yang ada di piringnya. Melihat itu Raffa menggeleng pelan.

Kebiasaan Khanza memang tidak berubah dari kecil. Selalu menyukai paha ayam.

Raffa memperhatikan Khanza yang sedang menggigit paha ayam itu.

"Bocah banget anjir makannya," celetuk seseorang yang baru saja duduk di samping Khanza.

Merasa disindir, ia menoleh lalu menatap tajam Edo.

"Sirik aja dih," balas Khanza.

"Makan sendiri napa Za? Kasian si Raffa belum makan daritadi siang," ucap Edo membuat Raffa menatapnya tidak suka.

Khanza langsung menatap Raffa tidak enak, raut wajahnya pun langsung berubah.

"Raffa makan aja sana," ucap Khanza pelan lalu mengambil alih piringnya.

"Lo Do, ganggu aja sih!" seru Evan saat melihat raut wajah Khanza.

"Ya gue cuma ngomong jir," balas Edo.

"Sana Raffa makan, nanti sakit," ucap Khanza pada Raffa lagi.

"Ngga Ca, abis kamu makan baru aku makan. Gapapa aku suapin kamu dulu," balasnya dengan lembut lalu menatap Edo yang tersenyum lebar itu dengan kesal.

"Jangan dengerin Edo. Udah makan lagi nih aaa," mau tak mau Khanza membuka kembali mulutnya dan itu membuat Raffa tersenyum.

Tak lama, Vio pun datang dengan tangan membawa sepiring makanan miliknya. Lalu ia mendudukan dirinya di samping Raffa yang sama sekali tidak menoleh.

"Hai kak Vio," sapa Khanza, Vio hanya tersenyum kecut.

Bohong jika ia berkata selama ini tidak cemburu dengan Khanza. Bohong jika ia selama ini percaya dengan persahabatan Khanza dan kekasihnya. Ia tahu entah itu Khanza atau malah Raffa yang pasti mempunyai perasaan lebih.

Vio tidak bodoh, ia tahu bagaimana istimewa Khanza di mata Raffa. Ia juga tahu bagaimana Raffa selalu memprioritaskan Khanza di atas segalanya. Vio juga tidak bodoh saat Khanza begitu tergantung pada Raffa, saat Khanza begitu manja pada Raffa. Ia sejak awal sudah menyadari itu, ia sadar bahwa ada tali transparan yang mengikat keduanya, jauh lebih kencang dari tali persahabatan. Hanya saja keduanya masih tidak menyadari itu.

🌱

Gimana bagian ini?

Dikomen boleh kali wkwk

29nov20

RAFFA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang