BAB 48

56.7K 8.1K 1K
                                    

^Selamat Membaca, Tanta Readers!^

.

.

...

Sudah hampir seminggu Bunda menemani Utara di rumahnya. Cewek itu benar-benar murung setelah kepergian Mama. Utara mengurung diri di kamar Mama sambil memeluk boneka dolphin-nya. Kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung jari, tatapannya kosong, dan wajahnya pucat.

Utara juga tidak mengindahkan ucapan belasungkawa yang terus masuk ke ponselnya. Meski Ribi, Fahri, dan Erina sempat datang dan membuat Utara sedikit terhibur. Tapi sekarang, gadis itu kembali berdiam diri di kamar mama. Ia sangat terpukul dengan kepergian Mama.

Karena nyatanya, kehilangan itu memang selalu menggoreskan dan menciptakan luka.

Selatan mengintip dari celah pintu kamar Mama. Ia menghela napas melihat Utara masih saja murung. Selatan merapatkan pintu kamar itu dan melanjutkan langkahnya menuju kamar Utara. Ia mengemas barang Utara untuk kembali pindah ke rumahnya entah sampai kapan atau mungkin juga selamanya.

Tanpa meminta bantuan Utara atau mengomel seperti biasanya, Selatan mengangkat barang-barang cewek itu ke rumahnya sendiri. Ia baru selesai mengangkat box buku, pakaian, dan barang lain milk Utara ke kamarnya, lalu menatanya sederhana. Selatan juga memindahkan semua barang miliknya sendiri ke kamar atas dan mengucapkan Selamat tinggal untuk kamar yang menemaninya selama tujuh belas tahun itu.

"Bunda, Uta-nya udah mau ke rumah?" tanya Selatan melihat Bunda yang baru masuk rumah.

Bunda menggeleng. "Belum. Bunda sudah bujuk, tapi dia nggak mau."

Selatan menghela napas. "Biar Ata yang coba bujuk," ujarnya lalu berlalri kecil ke rumah seberang.

Selatan langsung menuju ke kamar Mama. Diketuknya pintu itu, tapi Utara hanya menoleh. Cewek itu kembali pada posisi semulanya yang berbaring miring menatap jendela. Selatan masuk ke dalam dan duduk di tepian kasur. "Cieee... Peluk boneka dolphin yang gue kasih dulu." Hening.

"Uta, seharusnya lo berterima kasih ke gue karena barang-barang lo udah gue pindahin tanpa minta bantuan lo," ujar Selatan yang membuat Utara menoleh padanya dengan mata berkaca-kaca. Selatan langsung gelagapan melihatnya. "Gu-gue salah ngomong, ya?"

Selatan terjebak hening bersama Utara. Ia takut salah bicara. Perasaan Utara masih sangat sensitif untuk sekarang maka ia memilih diam. Selatan hanya duduk di tepian kasur sambil menatap punggung Utara yang sesekali terlihat bergetar karena menangis. Ia bingung harus berbuat apa.

"Ata pulang aja. Uta masih mau di sini," ujar Utara yang akhirnya buka suara.

Selatan menghela napas. "Uta nggak boleh gitu. Sedih lama-lama itu nggak baik. Mama juga pasti sedih kalau liat Uta kayak gini."

Utara duduk. Ia menatap Selatan dengan mata berkaca-kaca. "Siapa Ata yang larang-larang Uta buat bersedih?" suaranya bergetar.

Rasanya Selatan seperti disengat listrik bertegangan tinggi. Dua mata Utara yang berkaca-kaca dan hidungnya yang memerah itu jelas mengisyaratkan kalau ia sedang tidak baik-baik saja. Utara benar-benar hancur. "Bukan begitu Uta. Maksud Ata, Uta nggak boleh terus berlarut. Waktu terus berjalan. Perlahan Uta pasti bisa melewati ini semua."

"Tapi... Tapi sekarang Uta nggak bisa Ata. Mama... Mama pergi dan Uta sendiri. Uta nggak punya siapa-siapa." Utara menutup wajahnya sambil terisak.

Selatan paling tidak bisa jika sudah disuguhi hal yseperti ini. Ia perlahan mendekat dan mendekap Utara hangat. Tangannya bergerak mengelus puncak kepala Utara. Selatan menggeleng, Utara tidak sendiri. "Selama ini Ata apa? Hantu?"

Utara & Selatan [#DS1 Selatan| END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang