BAB 42

59.7K 8.9K 1K
                                    

Sudah siap bertemu Uta dan Ata?
Sudah siap belum untuk menemani bab ini dengan vote dan komentar kalian

Aku ada challenge nih, coba kalian komen pake emot kucing sama tikus di part yang buat kalian gemes atau ketawa sendiri wkwkwk

Oke langsung aja!

___

^Selamat Membaca Tanta Readers!^

.

.

...

"Ini hasil PET scan dua tahun yang lalu," ujar dokter yang duduk di hadapan Utara sambil mengamati sebuah hasil scan di tangannya yang Utara pertanyakan.

Utara merasa ada ombak besar yang menerjangnya. Tangannya mencekal kuat ujung bajunya dengan napas yang memburu. "Dua tahun yang lalu?" tanyanya penuh ekspresi tidak percaya. Hatinya mencelos seketika. Dua irisnya kembali berkaca-kaca sampai air mata itu akhirnya meluruh mengalir di pipi.

Dokter yang menangani mama itu mengangguk.

Utara menggeleng lirih. Ia masih tidak percaya dengan apa yang sang dokter katakan. Digigitnya bibir bawah miliknya untuk menahan perihnya sebuah kenyataan. Dua tahun? Dua tahun mama menyembunyikan penyakitnya dari Utara? Untuk apa? Untuk apa mama menyembunyikan itu semua darinya? Oh, Tuhan, apa yang sedang mama lakukan? Utara memijat pelipisnya frustrasi.

"Ini hasil rontgennya terbarunya. Sel kankernya sudah menyebar luas dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil."

Lagi-lagi Utara merasa seperti diterjang ombak yang begitu besar. Dadanya terasa sesak dan berat. Rasanya tangan tak kuat untuk mengambil dan melihat scan tersebut. Ia seperti terjebak dalam mimpi buruk yang berontak menjadi nyata. Utara masih tidak percaya. Kanker otak, stadium akhir, sudah menyebar ke organ lain, dan Utara baru tahu kalau mama mengidap penyakit mematikan itu sekarang?

Utara mendongakkan kepala seraya mengembuskan napasnya perlahan. "Tapi masih ada kemungkinan sembuh, kan, dokter?" Dua iris mata Utara bertanya penuh harap.

Ekspresi kecut dokter itu membuat Utara terkekeh sumbang. Tanpa diucap pun Utara tahu apa yang tersirat melalui ekspresinya. "Pasti bisa, kan, dokter? Dokter dan tim medis akan melakukan yang terbaik. Iya, kan, dokter? Mama aku pasti bisa sembuh, kan? Orangtuaku satu-satunya pasti bisa sembuh, kan?"

"Saya dan tim medis akan melakukan yang terbaik. Terus berdoa. Semoga mama kamu bisa melawan kankernya."

"Dokter, aku mohon sembuhin mama. Aku cuma punya mama. Aku nggak tau gimana kalau nggak ada mama. Utara mohon dokter." Utara tidak bisa menahan gejolak emosi yang membuncah di dadanya. Ia membiarkan air mata itu mengalir. Yang Utara inginkan adalah mama sembuh, walaupun dokter mengatakan kemungkinannya sangat kecil, tapi Utara masih menaruh harapan.

"Kami akan memberikan yang terbaik. Termasuk melakukan pengobatan lebih lanjut di Leiden University Medical Center juga sudah kami lakukan."

"Leiden University Medical Center? Leiden?" Utara mengerutkan keningnya. Ia menatap bingung dokter di hadapannya.

Pria ber-sneli dengan stetoskop mengalung di lehernya itu mengangguk. "Iya. Kami sudah menyarankan beberapa rumah sakit terbaik untuk melanjutkan pengobatan, tapi Bu Lora lebih memilih untuk melanjutkan berobat di Leiden."

"Mama ke Leiden buat nemenin nenek aku yang sakit di sana."

Dokter menggeleng. "Bukan, tapi lebih tepatnya mama kamu melakukan perawatan lebih lanjut di sana. mama kamu pulang sebelum jadwal pengobatannya selesai dan memutuskan untuk melanjutkan pengobatannya di Indonesia secara sepihak dan mendapat izin dari pihak rumah sakit."

Utara & Selatan [#DS1 Selatan| END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang