"Nggak apa-apa. Paling cuman kecapekan." Selatan mendekati Utara. Ia berusaha menenangkan cewek itu agar tidak cemas.

"Gue takut ... takut ... dulu papa ...."

"Sssttt, nggak boleh mikir gitu. Mending sekarang kita doa bareng-bareng, semoga mama baik-baik aja." Selatan merangkul punggung Utara. Ia menuntunnya untuk duduk di bangku rumah sakit yang terasa dingin karena hawa AC.

Utara mengusap wajahnya setelah berdoa, lalu menoleh pada Selatan. "Kalau mama kenapa-napa gimana?"

"Insyaallah nggak apa-apa, kok. Lo jangan mikir gitu."

"Uta."

Utara menoleh ke kanan. Bunda dan ayah tampak tergesa-gesa menghampiri. "Bunda!" Utara langsung berhambur ke pelukan Maudy. "Bunda, Uta takut.

Mama ...."

"Ssttt, nggak apa-apa. Jangan takut. Ada bunda, ada ayah, ada Ata juga," ujar bunda menenangkan sambil mengusap punggung Utara.

Tak lama kemudian suster dari ruang periksa mama keluar. Utara langsung menghampirinya. "Gimana mama? Baik-baik aja, kan?" "Sedang ditangani dan akan dilakukan rawat inap." Rawat inap? Separah apa mama sampai harus rawat inap?

"Rawat inap? Mama kenapa? Mama sakit apa?" tanya Utara cemas bukan main.

"Maaf. Tapi, saya harus buru-buru. Pasien sedang ditangani dokter." Suster itu pergi begitu saja meninggalkan Utara dengan perasaan yang berkecamuk.

"Nggak apa-apa." Bunda kembali memeluknya. "Mending Uta pulang dulu. Makan dan mandi dulu. Terus ke sini lagi bawa baju buat mama."

Utara menggeleng lirih. "Nggak. Uta mau di sini sampai dokternya keluar. Uta mau mastiin Mama baik-baik aja."

"Sayang, nanti kalau mama liat Uta kayak gini, mama bisa sedih. Uta pulang dulu, ya, makan dulu. Mandi biar seger, terus ke sini lagi. Oke? Mana Utara yang kuat? Nggak boleh cengeng," ujar Bunda yang membuat Utara terkekeh di sela rasa sedih dan cemas cewek itu. "Uta pulang dulu, ya, nanti ke sini lagi." "Ata, temenin Uta, ya," ucap bunda pada Selatan.

Selatan mengangguk dan berjalan mendahului Utara.

"Anak karate ayah yang garang, nggak boleh cengeng. Harus kuat. Mama nggak apa-apa, kok. Kita doain sama-sama." Ayah mengusap puncak kepala Utara.

Setelah memastikan Utara dan Selatan benar-benar pergi, Maudy langsung menjatuhkan dirinya di bangku rumah sakit. Wanita itu terlihat cemas, tetapi berusaha menahannya mati-matian di hadapan Utara dan Selatan. Ia tidak mau dua anaknya juga ikut merasa khawatir. Ia tahu kalau Lora di dalam sana sedang tidak baik-baik saja.

"Bismillah." Hasan mengusap punggung tangan Maudy.

"Gimana? Kasian Uta kalau tau yang sebenarnya." Maudy menyeka air matanya yang langsung mengalir membasahi pipi. "Uta udah nggak punya Papa dan kondisi Lora yang sekarang ... Tuhan ...." Maudy mendongakan kepala untuk menahan genangan air mata yang mulai berkumpul untuk turun.

Pintu kamar Tulip A itu dibuka dari dalam. Maudy langsung bangkit dan bergegas menghampiri pria berkacamata dengan sneli putih yang menangani sahabatnya.

"Bagaimana?" tanya Maudy penuh harap.

"Lora melewatkan check up di tiga minggu terakhir. Kanker otaknya sudah memasuki metastasis, stadium empat. Hasil rontgennya juga memperlihatkan kalau sel kankernya sudah menyebar ke organ-organ lain, sulit untuk diangkat dan kemungkinan sembuh sangat kecil."

Maudy menutup mulutnya terkejut. Dua irisnya kembali berkaca-kaca. Hasan mengusap punggung istrinya dan membawa Maudy untuk kembali duduk ke bangku.

"Sahabat macam apa aku? Lora melewatkan check up, sel kankernya menyebar." Maudy menggeleng lirih. "Kasian Uta."

"Jangan nyalahin diri atas apa yang terjadi, cepat atau lambat Uta juga bakal tau. Nggak selamanya yang hitam itu pahit, Mau. Dan nggak selamanya rahasia itu bisa terus ditutupi," kata Hasan berusaha menenangkan, dan memberi dorongan. "Aku percaya doaku pada Tuhan. Insya Allah, Uta anak yang kuat, dia pasti bisa melewati ini."

***

Sepanjang perjalanan hanya diisi hening. Baik Utara dan Selatan sama-sama bungkam. Jalanan kota Jakarta dituruni hujan seolah mengikuti perasaan Utara saat ini. Selatan menoleh sekilas pada Utara yang melamun. Ada rasa iba di hatinya, tapi ia sendiri tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana.

Hujan turun semakin deras, mobil Selatan memasuki pekarangan rumah Utara. Perjalanan terlegendaris bagi Selatan karena tidak berbicara barang satu patah kata pun bersama Utara dalam perjalanan. Tiba-tiba saja setelah Utara membuka rumahnya, hatinya menjadi merasa sepi. Mama adalah orangtua satusatunya dan mama tidak pernah sakit sampai seperti ini.

"Nanti gue jemput habis Isya," ucap Selatan yang hanya Utara balas dengan anggukan. Selatan menghela napas, lalu berlari kecil menembus hujan untuk ke rumahnya.

Utara tidak nafsu makan. Ia memilih mandi dan ibadah Magrib, mendoakan mama. Setelahnya ia langsung menuju kamar mama. Mengemasi pakaian dan kebutuhan mama ke dalam tas. "Mama sakit apa? Akhir-akhir ini udah Utara perhatiin, tapi mama bilangnya baik-baik aja." Utara memeluk baju mama dengan erat. Iris cokelat terangnya kembali berkaca-kaca.

Utara mengambil satu baju di bagian paling atas lemari, tempat pakaian favorit Mama. "Ini apa?" Utara berjongkok memungut sebuah map coklat yang

jatuh bersamaan ketika dia berusaha menarik sebuah baju. Positron Emission Tomography (PET) Scan.

Kening Utara berkerut. Kalimat itu terlihat asing di matanya. Ia juga tidak tahu gambar itu hasil scan apa. Ia lantas duduk di tepi kasur mama sambil mengamati hasil scan tersebut. Tidak hanya satu, Utara mengamati satu persatu hasil tiga scan tersebut dan tetap sama sekali tidak mengerti.

CT scan dan MRI. Benar-benar asing bagi Utara. Ia mencoba mencari tahunya lewat browser di ponselnya.

"Nggak! Nggak mungkin!" Utara menggeleng keras. Tangannya tiba-tiba gemetar setelah membuka satu laman web. "Ini bukan punya mama!"

Utara menutup kasar resleting tas pakaian dan perlengkapan mama, lalu bergegas untuk memastikan kalau hasil scan itu bukanlah milik mama. Utara berhenti di ruang tamu. Ia mengamati kunci mobil mama yang Selatan letakan tadi. Cowok itu bilang selepas Isya akan berangkat bersama, tapi Utara tidak bisa lagi menunggu.

Trauma satu tahun silam saat pertama kalinya Utara membawa mobil dan mengalami kecelakaan sampai harus dirawat satu minggu di rumah sakit masih melekat sampai sekarang. Tapi, rasa trauma itu dikalahkan oleh rasa penasaran Utara. Tangannya berkeringat dingin dan gemetar, Ia mengambil kunci mobil tersebut tanpa pikir panjang.

Di kursi kemudi, Utara menatap lurus ke dapan. Ingatan tentang kecelakaan dulu masih menghantuinya. "Gue harus berani." Utara membulatkan tekatnya. Ia mulai menyalakan mesin mobil.

Selatan yang baru keluar rumah bertepatan dengan melesatnya mobil Mama lantas dibuat syok. Selatan berlari ke jalanan depan. "UTA!!! LO MAU KE MANA?!" Mobil sedan hitam itu melesat begitu saja. Selatan mengusap wajahnya frustrasi. Sifat tidak pikir panjang Utara dan gegabahnya itu tanpa dia sadari dapat membuat orang disekitarnya merasa cemas, termasuk Selatan saat ini.

.

.

To be contiune

Semoga bisa up malam ini

Utara & Selatan [#DS1 Selatan| END]Where stories live. Discover now