Ristretto (43)

1.4K 133 28
                                    

Lisse, Belanda~

"Selamat pagi," sapa Naka penuh semangat pada ketiga anaknya yang berada di ruang rawat Alicia.

Pagi ini ruang rawat VVIP itu terasa penuh, oh tidak.. memang sangat penuh. Lihat saja, bagaimana diambang pintu masuk berdiri tiga wanita paruh baya yang masih nampak cantik dan juga seorang pria tampan berbalut kaos hitam dan jacket baseball berdiri dibelakangnya.

"Mama.." gumam Alicia memandang wanita yang berdiri di tengah itu berbinar.

Naura tersenyum lebar kearahnya sebagai balasan. Pagi tadi memang dirinya memutuskan untuk menyusul putranya ke Lisse setelah mendapati kabar bahwa Alicia kecelakaan beberapa hari lalu. Harusnya sudah sedari awal wanita itu ingin menyusul kemari, namun seperti biasa.. Max, suaminya itu tidak mengijinkan Naura untuk pergi seorang diri tanpanya.

Namun saat kemarin ia mendengar dari mulut Naka sendiri bahwa dirinya tengah berada di Lisse, Naura pun tak menerima semua tingkah Max yang sulit memberikannya ijin bepergian. Ayolah.. jarak antara Amsterdam dan Lisse tidak sejauh itu, bahkan jika pagi ia berangkat dan pulang pada sore harinya masih sangat memungkinkan jadi sebenarnya Max tidak perlu bersikap berlebihan dengan menahannya untuk pergi bersama pria tua itu. Jadilah, Max yang tak kuasa menghadapi sikap Naura jika merajuk memilih mengalah dan membatalkan semua jadwalnya hari ini demi menemani istrinya itu ke Lisse menyusul anak-anaknya. Awalnya Naura menolak karena bisa bepergian seorang diri, lagipula ia bersama salah seorang supir dan dua mobil berisi pengawalan ketat dari suaminya. Jadi apa yang perlu ditakutkan?

Sayangnya Max tetaplah pria yang keras kepala, ia tetap memutuskan untuk turut pergi menemani istrinya itu dan merelakan beberapa jadwal rapat penting dan acara makan siang bersama investor dari China. Max tidak pernah mempedulikan lagi berapa kerugian yang harus ditanggungnya, yang terpenting baginya tetaplah istri dan anak-anaknya.

"Apa kabar? Semua sudah baik-baik saja?" Tanya Naura mengusap lengan Alicia yang masih berbaring diatas brankar rumah sakit.

Alicia tersenyum lebar dan mengangguk, "aku baik-baik saja Ma. Apa Mama sendiri kesini?"

Naura menggeleng, "Daddy Max sedang beristirahat di rumah. Ia kelelahan menyetir setelah semalaman begadang menyelesaikan beberapa berkas."

Alicia mengangguk faham. Ia tak terkejut mendengarnya karena selama ini selain Gandha— ayahnya, Alicia juga mengagumi Max yang begitu mencintai dan merelakan apapun demi keluarganya. Apalagi dengan kondisi Naura yang tengah mengandung dengan usia 32 minggu, tentu saja Max akan bersikap lebih protektif pada istrinya itu.

"Mama duduk saja, nanti Mama lelah." Sahut Vanila menuntun calon ibu mertuanya itu untuk duduk di sofa yang tadi sempat ditempatinya. Dimana disana juga sudah duduk Naka dan Amanda yang sedari bungkam tak membuka suara.

Sean mendesah masih bertahan menyandar pada sisi tembok dekat pintu, "oh aku tidak bisa berfikir lagi."

Darren mengernyit, "kau kehilangan otak mu Bang?"

Sean mendelik, "hei! Apa maksud mu?!"

"Tadi kau bilang bahwa diri mu sudah tak bisa berfikir."

Sean semakin menatap Darren tajem. "Bukan itu maksud ku. Aku tak pernah menyangka, bahwa adik ku akan berusia tak jauh berbeda dengan keponakan ku. Oh tidak.. bahkan mereka hanya akan berbeda beberapa bulan nantinya."

Semua yang mendengarnya terkekeh. "Kau tidak senang Sean?"

Sean menegapkan tubuhnya mendengar nada kesal dari sang ibu, wanita hamil dan hormonnya yang menyebalkan. "Bukan seperti itu Mam, hanya saja.. ah, aku tidak bisa menjelaskannya. Kalian tau kan bahwa aku berniat menikahi Vanila secepatnya. Lalu lihat sekarang, aku baru mendapatkan adik ku saat aku akan segera menikah itupun bersamaan dengan calon keponakan ku. Oh.. aku merasa akan memiliki banyak anak tanpa perlu Vanila lahirkan nanti."

"Hei!" Sahut Vanila kesal. Ia sudah bersusah payah menahan malu sejak Sean berujar mengenai pernikahan mereka, sekarang lihat.. pria itu bahkan sudah membayangkan sampai pada tahap memiliki anak.

Alicia terkekeh mendengarnya, berbeda dengan lainnya yang hanya bisa menggelengkan kepala.

"Kau menyesal Sean melihat Mama mu mengandung sekarang?" Sean menggeleng cepat, dengan langkah lebarnya ia mendekati Naura dan berjongkok di hadapannya. Tanpa melepas kaitan tangannya pada sang ibu Sean menatap Naura menyesal.

"Sean gak pernah menyesal Mam, Sean tentu seneng mau punya adik. Sean bercanda," Naka menggelengkan kepalanya.

Hamil diusia yang tak lagi muda membuat kadar rasa sensitif Naura ternyata meningkat tajam. Yah setidaknya ia faham, sebab ini adalah kehamilan pertama Naura yang mampu bertahan sejauh ini. Selama 10 tahun pernikahannya dengan Max, terhitung sudah 4 kalo Naura mengalami keguguran pada trimester awal. Jadi Naka sedikit memaklumi jika Naura akan bersikap sedikit berlebihan jika mendengar kata-kata yang mengusiknya.

Naura menghembuskan senyum lega, punggung tangannya bahkan tergerak untuk menghapus jejak air mata yang entah sejak kapan sudah menetes dengan mulusnya di pipi berisi wanita 40 tahun itu. "Mama kira kamu gak suka.."

Sean menggeleng pelan seraya menggumamkan maaf berulang pada ibunya. Ia memang terkejut namun ia sadar tidak sepantasnya ia berujar demikian.

"Alice sudah makan?" Suara lembut Amanda berhasil menarik perhatian semua orang. Terbukti, saat ini semuanya tengah memandang Amanda yang nampak tersenyum hangat di tempatnya.

"Kau memasakkan ku bubur Mandy?" Tanya Alicia penuh harap yang diangguki Amanda.

Alicia mengangguk semangat. "Aku mau, bisa kau menyuapi ku?"

Amanda tersenyum lebar dan beranjak dari posisinya tanpa banyak kata. Setelah semalam ia mengetahui fakta bahwa Alicia adalah putrinya, ia bersumpah takkan menyia-nyiakan kesempatan yang ada dihadapannya saat ini.

Darren menggeser tubuhnya ikut duduk menggantikan Amanda yang semula berada di samping Naka.

"Kamu tau," bisik Naka pelan tanpa melepas pandangannya dari Amanda yang nampak mulai menyuapi Alicia dengan telaten.

Darren mengernyit, "maksud Mommy?"

Naka menoleh dengan senyum tipisnya, "bukannya istri mu sedang disuapi oleh ibunya?"

- ☕️ -

Jakarta, Indonesia~

Ayasha mencengkram map di tangannya erat. Firasatnya tak baik saat ini. Meski sudah terlampau sering duduk berdua dengan Gandha dalam satu ruangan, namun untuk pertama kalinya ia merasa tak nyaman. Jika selama ini Ayasha akan merasa biasa saja bahkan terlampau tenang saat duduk dalam satu ruangan dengan Gandha yang hangat dan kebapakan, kali ini ia tak merasakan itu semua. Rasa was-was tiba-tiba mendominasi perasaannya.

"P– pak, biar saya buka pintunya," tawar Ayasha tergagap.

Gandha mendongak menatap gadis berjilbab abu itu tajam, "kenapa? Ada masalah?"

Ayasha menggeleng cepat. "Bukan, ta—"

Ayasha tak dapat melanjutkan ucapannya saat merasakan hembusan nafas tepat di belakangnya yang sukses membuat tubuhnya meremang.

"Kamu tidak senang bersama saya," Ayasha bangkit seketika setelah mendapati bisikan seduktif dari balik punggungnya.

Tubuhnya yang bergetar bergerak semakin mundur saat dilihatnya Gandha bergerak semakin merapat padanya. "P– pak.."

"Kamu cantik, sayang sekali jika saya abaikan.." Ayasha menepis kasar tangan Gandha yang mencoba mengusap pipinya.

"Ja– jangan pak," cicit Ayasha semakin bergerak mundur. Sayangnya, tubuhnya justru terantuk kaki sofa dan membuatnya terjatuh diatas sofa.

Gandha tersenyum miring, dengan cepat tubuh besarnya bergerak mengukung Ayasha yang terlentang diatas sofa miliknya.

"P– pak, TOL—" suara Ayasha tertahan begitu saja saat Gandha membungkam bibir mungil gadis itu dengan bibirnya. Memaksa memagut bibir mungil gadis itu tanpa mempedulikan Ayasha yang terus meronta dan menangis.

• ☕️ •

RISTRETTOWhere stories live. Discover now