Ristretto (10)

1.2K 113 4
                                    

Pria itu baru saja meneguk gelas kopi keduanya bersamaan dengan sebuah suara tarikan kursi yang nyaring dan sapaan sarkas dari seseorang. "Kopi lagi heh?"

Darren mendongakkan wajahnya menatap adik bungsunya, Vanila yang sudah duduk manis di hadapannya. "Kayak kamu gak aja." Sahutnya.

Vanila mengendikkan bahu acuh sembari meletakkan ponselnya cukup kasar ke atas meja coffee shop. "Jadi ngapain tiba-tiba nyuruh Ale kesini? Bukannya Ale udah bilang bakal pulang lusa, gak sabar banget." Ucap Vanila kesal.

Pasalnya, 2 jam yang lalu Darren tiba-tiba menghubunginya mengatakan bahwa saat ini pria itu sudah mendarat di Amsterdam dan ingin menemuinya saat itu juga. Hal yang bagi Vanila terdengar sangat gila. Selain itu, kakak lelaki satu-satunya itu juga tak menerima permintaannya untuk bertemu petang nanti lantaran dirinya tadi tengah di sibukkan dengan tugas kelompok dari salah satu dosen terkillernya. Pria 23 tahun itu terus saja merengek dan meminta Vanila segera datang menemuinya di salah satu coffee shop milik temannya di Amsterdam.

"Kapan kamu pulang?" Ucap Darren bersamaan dengan sampainya secangkir Vanilla Latte pesanan Vanila tadi. Sesuai namanya, gadis itu juga sangat menggemari berbagai jenis kopi terutama Vanilla Latte. Bedanya, dirinya masih terlalu waras untuk tidak meminum kopi hitam pekat sejenis Ristretto kegemaran Kakak nya itu.

"Kan tadi Ale bilang, lusa Ale udah pulang. Ngapain hari ini segala nyusul kesini sih?" Sahut Vanila sebal.

Darren menggelengkan kepalanya beberapa kali, "bukan itu maksud Kakak. Maksudnya itu kamu pulang, tinggal di Indonesia bareng Kakak sama yang lainnya."

Vanila mengernyit mendengarnya. Hal ini cukup aneh mengingat sudah berlalu 8 tahun lamanya sejak pertama kali ia kembali bertemu dengan keluarga kandungnya dan tetap memilih tinggal di Amsterdam bersama Max dan Sean, baru sekali ini Darren yang notabenenya selalu mendukung segala keputusannya bertanya kapan gadis itu akan pulang sepenuhnya ke Indonesia. Tidak seperti selama ini, dimana dirinya hanya akan datang beberapa kali dalam setahun untuk menemui keluarganya di Jakarta atau sebaliknya—– mereka yang akan datang ke Amsterdam untuk bertemu sekaligus menghabiskan waktu berlibur bersama.

"Kenapa tiba-tiba? Ada masalah ya?" Tanya Vanila yang kali ini sedikit berhati-hati. Darren tak menjawab, ia hanya menghembuskan nafas beratnya sebelum akhirnya memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa itu. Menutupi matanya dengan sebelah tangan yang tertekuk enggan menjawab pertanyaan adiknya.

"Kak.." tegur Vanila lagi.

Darren masih enggan menjawab, ia bahkan sampai tak menyadari kehadiran orang lain yang baru saja datang dan memilih untuk ikut duduk di hadapannya— tepat di samping adiknya.

"Kenapa?" Bisik Sean pelan mengernyitkan kening setelah mencium puncak kepala Vanila sekilas. Vanila mengendikkan bahunya acuh sembari tetap memfokuskan pandangannya pada lelaki hebat keduanya itu. Jika diteliti secara seksama, sebenarnya ada yang berbeda dengan penampilan Darren kali ini. Jika selama ini pria itu akan selalu tampil rapi dengan setelan jas mahal serta rambuh dan jenggot yang tercukur rapi. Kali ini tidak. Vanila bahkan bisa melihat dengan jelas kumis tipis yang mulai tumbuh bersamaan dengan dagu yang mulai lebat dengan jenggot dan rambut yang acak-acakan tak tertata rapi. Sedikit menguatkan instingnya bahwa Darren sedang tidak baik-baik saja.

"Gak tau, tiba-tiba Kak Al minta aku balik tinggal di Indonesia." Balas Vanila berbisik membuat Sean sukses membulatkan matanya. Enak saja. Sudah dengan susah payah dan berusaha keras Sean menahan Vanila agar tetap tinggal di Amsterdam sejak 8 tahun yang lalu bersama dengannya ini seenaknya mau dibawa pulang meski oleh kakaknya. Tidak, Sean tidak bisa terima. Ia saja harus bersusah payah mendapatkan hati gadisnya kembali, sekarang saat ia baru memulainya Darren berniat membuat semuanya kembali terkendala.

"Menurut kamu cinta itu apa Le?"

Baik Vanila maupun Sean hanya bisa menoleh saling pandang dengan kernyitan yang kentara sesaat sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensi mereka pada pria kacau yang nampak putus asa di depannya ini.

"Maksud Kak Al? Cinta ya cinta. Gak ada apa, dimana dan gimana. Dalam cinta itu cuma ada siapa tanpa kata tanya lainnya. Gak bisa dijabarin karena sifatnya yang abstrak tapi nyata." Sahut Vanila masih dengan menatap intens pada pria di depannya.

"Kakak butuh penjabaran yang jelas Le." Sahut Darren terdengar frustasi.

Vanila semakin mengernyitkan kening mendengarnya. "Kamu di tolak?" Itu bukan Vanila, tapi Sean yang akhirnya membuka suara. Pria itu cukup geram melihat penampilan dan pemikiran pria yang ada di hadapannya itu. Sosok yang sudah tumbuh dan dianggap menjadi adik bagi nya meski saat ini tak bisa dipungkiri, bahwa pria itulah calon kakak iparnya kelak.

Darren menurunkan tangannya dan membuka matanya, menegakkan tubuhnya dari sandaran sofa menatap Sean penuh tanya. "Sejak kapan Abang disitu?"

"Dari tadi sampe capek ngeliatin kamu galau." Sahut Sean acuh.

"Jadi bener kamu habis di tolak?" Sambungnya penuh tanya. Vanila semakin menajamkan matanya menatap Darren intens menunggu jawaban dari kakak kandungnya itu. Yang sialnya, Vanila harus membulatkan matanya tak percaya saat melihat Darren menganggukkan kepalanya pasrah setelah menghembuskan nafas beratnya.

"Seriously? Wah gila.. Kak Al gak laku dipasaran Indonesia apa gimana? Siapa orang nya kasih tau Ale, gila aja kali dia nolak cowok kaya Kakak." Sahut Vanila cepat masih tak percaya dengan apa yang didapatnya.

Darren adalah wujud nyata dari pria tampan dan mapan selain Daddy dan kekasihnya, Sean. Pemilik Drd.Corp itu bahkan bisa menghasilkan jutaan dolar dalam sehari dari pendapatan perusahaan yang dirintisnya sejak duduk di bangku SMA. Belum lagi wujud fisik nya yang nyaris tak memiliki celah, sudah tentu menjadi incaran oleh banyak mata perempuan diluar sana.

Bukannya menjawab, Darren justru menatap Vanila tajam mendengar penuturan adiknya. "Enak aja gila. Dia sehat ya." Sahutnya sewot membuat Vanila mendelik tak percaya.

"Jangan liat Vanila gitu," sahut Sean tak terima melihat pandangan tajam Darren yang seolah menusuk Vanila.

"Vanila ini adik ku Bang."

"Lagian kamu kok bucin sih? Udah di tolak masih aja bela tuh cewe." Sahut Sean lagi yang kali ini diangguki Vanila dengan wajah polosnya.

"Ya menurut Abang— aku harus gimana? Gimana pun aku kan cinta sama dia." Balas Darren tak kalah sewot.

Sean memejamkan matanya sejenak memijit pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa ngilu akibat sikap Darren. Dan kembali membuka mata setelah mendengar pertanyaan Vanila. "Ya terus hubungannya sama aku pulang apa?"

"Ya jelas ada." Sahut Darren cepat membuat sepasang kekasih di hadapannya itu mengernyit.

"Ya gak ada lah. Siapa sih orangnya?" Sahut Vanila yang kembali ke mode sebalnya. Emosinya semakin bertambah saat melihat tak ada tanda-tanda Darren akan membuka mulutnya.

"Bang!" Serunya lagi.

"Pokoknya kamu balik Indonesia gak mau tau." Ujar Darren pada akhirnya.

"Ya gak bisa gitu dong." Sahut Sean.

"Ya bisa, terus aku harus gimana kalo gak bisa Bang?" Kesal Darren menatap Sean tajam.

"Ya kamu harus hadepin. Masa cuma ditolak cewek kamu minta Vanila balik? Kan ada Alice di sana, kenapa gak minta tolong atau rewel ke Alice aja sih?" Balas Sean tajam.

"MASALAHNYA GIMANA AKU BISA NGOMONG KALO CEWE YANG NOLAK AKU ITU ALICE!!" Sentak Darren berhasil membungkam mulut sepasang kekasih yang ada di hadapannya.

• ☕️ •

RISTRETTOWhere stories live. Discover now