Ristretto (04)

1.6K 120 9
                                    

Darren mendengus untuk kesekian kalinya. Mungkin bagi sebagian orang saat ini ia nampak seperti orang gila terlebih lagi dengan apa yang ia kenakan saat ini. Dirinya sudah terlalu sering menjadi tak waras hanya karena adik angkatnya. Lihat saja, ia bahkan tak mengindahkan meeting penting dengan salah satu investor besar dari China hanya untuk duduk di sudut cafe yang dipenuhi remaja di mabuk cinta. Dan jangan lupakan dirinya yang harus merogoh kocek lumayan untuk beberapa helai pakaian yang dikenakannya. Wig kribo, kemeja licin bermotif bunga-bungan, celana koboi oversize, gigi palsu yang menonjol, serta sebuah tanda hitam di bawah matanya yang di lengkapi kacamata bundar. Lengkap sudah tampilan nyentrik nya itu.

Darren tak bisa melakukan apapun selain mendengus kesal melihat kedekatan Alicia dan Zidan, pria yang memicu keributan pagi tadi di rumahnya. Tadi saat di kantor, salah seorang sopir keluarganya menelfon dan mengabari kedatangan Zidan untuk menjemput adiknya. Jadilah, dengan segala keterbatasan waktu Darren mengubah penampilannya sedemikian rupa dan meninggalkan jadwal rapat begitu saja untuk membuntuti adik angkatnya itu. Sudah nyaris satu jam ia duduk disini, dan tak bisa melakukan apapun selain menyabarkan dirinya sendiri agar tak lepas kendali hingga menyeret adiknya pulang saat ini juga. Sungguh, Darren tidak ingin.

Ponsel nya yang tiba-tiba berdering membuat fokusnya pada sepasang sejoli yang berada 3 meja di depannya itu buyar begitu saja. Darren berdecak sebelum akhirnya ia meraih ponselnya dan mendelik saat mendapati nama sang Ayah dilayar.

"Assalamualaikum Dad," ucapnya tepat setelah mengangkat panggilan dari Gandha.

"Waalaikumsalam, AL KAMU DIMANA?!" Darren hanya bisa mengernyit sembari menjauhkan ponsel kesayangannya itu dari telinga saat mendengar pekikan tegas khas seorang Muhammad Argandha Putra.

Tak lama, ia kembali mendekatkan ponsel itu pada telingany dan menyahuti pekikan Gandha. "Daddy pelan-pelan. Al bisa denger."

Darren bisa memastikan jika saat ini Gandha pasti tengah mendelik sebal, khas Ayahnya sekali.

"Kalo kamu mau Daddy pelan dan kamu bisa denger harusnya kamu sadar sama sikap gila kamu Al. Kamu nyaris buat perusahaan Daddy rugi miliaran rupiah. Untung aja Mr. Zhang gak bermasalah dengan sikap seenaknya kamu ini dan bersedia mengatur ulang pertemuan kita kalo gak–— Daddy bersumpah Daddy akan bunuh kamu Al." Omel Gandha membuat Darren mencebik.

"Daddy bunuh Al, Daddy mati di tangan Mommy." Sahut Darren santai.

"Lagian cuma nyaris Dad, belum rugi. Kita juga gak akan gulung tikar cuma karena Mr. Zhang gak jadi naruh saham. Jangan kaya orang susah deh." Sambungnya.

Darren yakin, diujung sana Gandha pasti tengah memijit pangkal hidungnya pelan atau menggelengkan kepala mendengar ucapannya. Sebab kali ini, ia tidak berurusan dengan perusahaannya sendiri melainkan perusahaan milik Ayahnya–— RG Enterprise.

Sudah dari beberapa waktu lalu Darren menyetujui permintaan Gandha untuk menghandle proyek ini, namun Darren sendiri hanya bisa terkikik geli jika mengingat ulahnya hari ini.

"Udah Dad, Al sibuk. Nanti kita sambung lagi. Wassalamualaikum Pak Ustadz, love you." Darren mematikan panggilannya sepihak lalu terkikik perlahan. Pak Ustadz adalah panggilan khusus darinya untuk Gandha jika pria paruh baya itu mulai mengomel padanya.

Darrren yang baru saja meletakkan ponselnya dibuat mendelik saat tak mendapati Alicia dan Zidan di mejanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe dan semakin kesal saat tak mendapati satupun diantara mereka.

"Permisi," panggil Darren pada salah seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya. Pelayan itu memasang senyum nya lalu menanyakan dengan lembut tujuan Darren memanggilnya.

RISTRETTOWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu