Vanila akhirnya menerima panggilan video tersebut setelah mendapatkan jalan keluar untuk masalahnya. "Apa?" Tanya nya tajam setelah mendapati wajah sang kakak.

"Kau sedang di kantor Sean?" Sambungnya.

Darren mengangguk, "ubah kamera mu."

"Apa?"

"Ku bilang ubah kamera mu menjadi kamera belakang Aleira. Edarkan pada seluruh penjuru cafe." Perintahnya.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

"Lakukan Le."

Vanila berdecak namun tetap menurut. Setelah memastikan bahwa layar ponselnya menampilkan hasil gambar dari kamera belakang, Vanila segera mengedarkan ponselnya ke seluruh penjuru cafe tanpa terlewat. Lalu setelahnya ia kembali menghidupkan mode selfie untuk bisa bertatap muka dengan kakaknya.

"Udah kan?" Darren mengangguk dengan wajah lemasnya.

"Mikir apa sih Kak? Ale disini sama Alice?" Sambung Vanila melihat kakaknya yang tak bersemangat.

"Kakak denger suara dia tadi," sahut Darren lemah.

"Kamu kangen Kak, makanya bisa berhalusinasi gitu."

Darren mengangguk pasrah, mungkin benar. Toh ini bukan pertama kalinya. "Iya kali. Yaudah kakak matiin cepet pulang, dah.."

"Yah kak ta—" Vanila mendelik saat panggilannya sudah dimatikan sepihak oleh Darren.

"Bagaimana?" Tanya Alicia yang sudah kembali duduk di posisinya. Vanila hanya mengangguk pelan.

"Syukurlah," sambungnya.

Vanila mengangguk dengan wajah tertekuk, "kenapa sih?" Tanya Alicia.

"Kak Al gila Lice, masa yang punya ponsel Sean tapi aku gak dikasih ngomong sedikitpun sama dia," rajuk Vanila membuat Alicia terkekeh.

"Ku kira."

Vanila mendongak lalu tersenyum tipis, meraih tangan Alicia yang berada di atas meja. "Maafkan aku."

Alicia mengernyit, "kenapa?"

"Ya.. harusnya jika bukan karena Daddy kalian saat ini tengah bahagia menyambut kelahiran bayi pertama kalian," ucapnya memandang ke arah perut Alicia yang membuncit.

Alicia tersenyum tipis lalu menepuk tangan Vanila yang menggenggamnya. "Seperti yang sering aku katakan, ini takdir Tuhan yang pilihkan untuk ku. Ini semua bukan salah Daddy, kau tau aku juga sangat menyanyanginya. Jangan berhentilah menyalahkannya Le. Lagipula kau tau bukan, aku juga membutuhkan ruang sendiri untuk mencari tau identitas ku."

Vanila mengangguk pasrah. Ia tau hal itu, alasan terkuat Alicia meninggalkan rumahnya selain karena janji nya pada Gandha adalah keinginannya untuk mencari tau identitas aslinya setelah apa yang Gandha ucapkan waktu itu.

"Katakan apapun yang kau butuhkan Lice," Alicia mengangguk dengan senyum tulusnya.

"Tentu saja, jika bukan kalian harus dengan siapa lagi aku meminta," godanya membuat kedua saudari itu tertawa.

- ☕️ -
Amsterdam, Belanda-

"Al?" Panggil Sean saat tak mendapati Darren yang hanya bungkam setelah mematikan sambungan telfon dengan adiknya.

"AL!" Pekik Sean yang sukses membuat Darren tergagap.

"Apa sih bang?" Sahut Darren sewot.

"Yah makanya kamu jangan bengong. Abang ngajak ngomong dari tadi." Darren hanya mendengus.

"Pulang sana, istirahat." Sambung Sean.

"Pulang kemana?"

"Ya kamu mau kemana? Ke mansion Daddy apa ke apartement abang?"

Darren mengendikkan bahunya acuh. "Harus banget pulang?"

Sean mengangguk, "muka kamu kusut. Pulang istirahat, nanti kita ketemu setelah pekerjaan abang beres. Vanila juga pulang sore ini."

Bukannya menurut Darren justru menelungkupkan wajahnya diantara liparan kedua tangannya diatas meja.

"Al kangen Alice, tadi itu suara dia," lirihnya yang masih dapat di dengar oleh Sean.

"Al.."

"Alen bersumpah bang, Alen cinta banget sama dia dan Alen gak bisa tanpa dia. Bantu Alen bang, Alen gak akan kuat kalo gini terus." Ucap Darren yang sudah bangkit dari posisinya dan membuat Sean terkejut karena melihat pria itu menatapnya memohon, dengan mata memerah dan air mata yang mengalir.

"Al kamu.."

"Tolong bang," pinta Darren frustasi membuat Sean tertegun di tempatnya.

• ☕️ •

RISTRETTOWhere stories live. Discover now