41

1.9K 80 2
                                    

Sia mengelus dadanya lega, bersamaan dengan itu ia memejamkan matanya seraya menetralisir napasnya yang beberapa menit lalu berjalan tidak normal. Pandangannya kini terpusat ke arah Elgo yang juga tengah menatapnya.

Sia perlahan berjalan mendekat meskipun perasaannya sedang kacau. Ia bingung harus berbuat apa, rasanya canggung, tatapan Elgo seolah membunuhnya. Yang Sia rasakan saat itu adalah Elgo menatap dirinya bukan dengan sorot mata hangat.

Sia menggigit bibirnya, ia bergerak gelisah sebelum akhirnya meyakinkan dirinya. Inilah kesempatannya, tidak ada waktu lebih sebelum wanita itu datang ke mari.

Sia tersenyum canggung, "ini aku bawahin buah buat kak Elgo, semoga kak Elgo suka," ujarnya pelan seraya menyerahkan plastik kresek berwarna putih.

Elgo awalnya tidak bergerak, cowok itu terus mematri tatapan kepada Sia, namun ketika mengerjapkan matanya, barulah tangannya merespons dan menerima pemberian Sia tersebut.

"Hmm, makasih ya," kata Elgo singkat.

"Kak Elgo ingat aku?" tanya Sia sambil menatap bola mata Elgo lurus-lurus. Entah kenapa saat mata mereka bertubrukan, Sia tidak melihat pantulan memuja di mata Elgo. Tatapan Elgo kepadanya entah kenapa tidak seperti dulu, ini berbeda, hanya pandangan biasa yang Sia dapat. Dan karena hal itu, perasaan Sia menjadi tidak enak.

Elgo berdehem untuk menguasai dirinya, "maaf, kamu mungkin sakit hati denger ini. Tapi aku nggak ingat siapa kamu. Kalo boleh tahu, nama kamu siapa?"

Jleb!

Tenggorakan Sia mendadak saja kering, sekarang ia sudah tahu jawabannya mengapa tatapan Elgo begitu lain, cowok itu masih belum mengingat Sia, padahal Sia yang selalu berada di dekat cowok itu, padahal sebelum masuk ke rumah sakit seperti sekarang ini, Sia adalah orang yang terakhir kali Elgo temui, bahkan Sia yang menyebabkan Elgo dalam keadaan seperti ini. Tapi kenapa cowok itu tidak mengingat Sia sama sekali? Dan kenapa Sia sangat sakit mendengar itu?

Sia tersenyum getir, ia menelan ludahnya. Sungguh, ia merasa sangat bersalah. "Kak Elgo beneran nggak ingat aku? Yakin kak?" tanya Sia memastikan. Sebelum Elgo mengatakan sesuatu, Sia berkata kembali berbarengan ia duduk di kursi samping ranjang Elgo. "Kak, coba ingat-ingat lagi, tatap wajah aku. Nggak mungkin kak Elgo nggak ingat siapa aku, kan?"

Pandangan mereka setelah itu beradu lagi, bahkan lebih dalam dan lebih lama dari biasanya. Sia berharap, ucapan Elgo beberapa menit yang lalu adalah sebuah kesalahan. Ini belum Sia terima, Elgo harus ingat akan dirinya, bagaimanpun juga itu. Sia tidak mau kehilangan cowok itu, sungguh! Itu yang ia inginkan sekarang. Biarlah dikata munafik, tapi memang itulah kenyataannya sekarang. Dilupakan Elgo rasanya begitu sakit.

Ketika Elgo menggelengkan kepalanya, detik itu juga mata Sia mendadak memanas. Kenapa rasanya ia tidak tega merelakan Elgo seperti ini? Seharusnya ia senang, memang sebelum Elgo masuk ke ruangan sini, Sia ingin jauh-jauh dari Elgo. Air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya, satu kerjapan mata saja, pasti cairan bening itu akan luruh juga.

"Kak, plis coba diingat lagi, nggak mungkin kak Elgo lupa siapa aku." Sia mengguncangkan tangan Elgo, hampir bersamaan dengan itu pula air matanya sudah tidak bisa di bendung lagi, cebol sudah bertahan Sia.

"Maaf, tapi aku beneran nggak ingat siapa kamu. Kalo boleh tahu, kamu itu siapa?" tanya Elgo.

Sia menangis, bahkan ia kini sudah sesenggukan. Ia menatap Elgo yang juga tengah masih menatapnya. Dulu, cowok itu pandai membuat lelucon, perilakunya seringkali membuat orang lain geleng-geleng kepala. Tapi sifat itu sekarang tidak menempel, yang ada sekarang hanya Elgo yang kosong, hampa, dan jauh.

"Apa yang kak Elgo ingat setelah siuman? Kak Elgo beneran nggak ingat apa-apa? Kak Elgo beneran nggak ingat aku?" tanya Sia cepat, seolah Elgo mempunyai banyak mulut untuk menjawab sederet pertanyaan dari bibir Sia yang sudah bergetar hebat.

Elgo mendesah berat, "entah siapa itu kamu. Tapi kamu kayaknya orang baik. Pertama aku sadar, aku nggak ingat apa-apa. Saat aku lihat orang lain yang duduk di kursi yang sekarang kamu duduki. Orang itu ngakunya mama aku, aku juga nggak ingat mama aku. Tapi pelan-pelan aku separuh ingat. Aku juga punya abang, namanya Elgi. Meskipun mereka masih samar diingatan aku, tapi aku percaya, bahwa disekeliling aku adalah orang baik semua. Termasuk kamu," ujar Elgo, diakhir kata ia bahkan menambahkan senyuman hangat yang membuat Sia semakin terguncang.

Ini tidak mungkin! Sia tidak menerima ini. Entah mendapat keberanian dari mana, Sia kemudian menggenggam tangan Elgo. Cowok itu juga tidak kaget, hanya melirik sebentar. Sorot matanya lebih dikata bingung menanggapi situasi.

"Kak Elgo, maafin aku kak. Aku nggak bermaksud buat kak Elgo kayak gini," kata Sia menyesal. Sebenarnya, jika mau, Sia tidak usah meminta maaf, Elgo sekarang tidak mengingat hal-hal sebelum di rumah sakit. Otomatis cowok itu tidak tahu jika Sia adalah pelaku dibalik ini semua. Namun, Sia merasa sangat bersalah, mengucapkan kata yang sesuai faktanya harus segera ia lakukan.

"Maaf? Kamu maaf kenapa?" Raut wajah bingung sudah tergambar jelas. Elgo memendarkan bola matanya.

"Aku kak, aku yang udah bikin kak Elgo masuk ke sini. Aku orang yang dorong kak Elgo dari tangga. Maafin aku kak, aku nggak sengaja." Sia berkata dengan nada yang sarat akan penyesalan. Ia menggenggam tangan Elgo dengan erat.

"Oh jadi kamu orangnya? Bagus deh," ucap Elgo.

"Kak Elgo udah ingat?"

Elgo menggeleng lagi. "Mama aku bilang aku jatuh dari tangga karena didorong orang, dan kamu tadi ngaku kalo kamu orangnya. Bagus, sekarang aku udah ngerti. Makasih ya udah mau jenguk," ujar Elgo sembari tersenyum kecil, ia juga membalas genggaman tangan Sia.

Bahkan, Elgo tidak marah soal itu. Seharusnya ia mempunyai hak untuk membuat Sia menderita atau sebagainya. Namun yang Sia dapatkan justru sebaliknya. Elgo yang ramah seperti ini membuat Sia rasanya tidak bisa berhenti untuk menangis keras. Perasaan bersalah sannst menyesaki hatinya.

"Kenapa kak Elgo nggak marah sama aku?" tanya Sia parau.

"Kenapa aku harus marah sama kamu? Aku seneng kalo kamu jenguk aku, berarti kamu ngaku salah dan meminta maaf. Biasanya, kebanyakan orang nggak kayak gitu. Apalagi kalo udah tahu korbannya nggak ingat apapun sama sekali, kamu beda, kamu tetap minta maaf meskipun aku lupa kejadiannya kapan dan di mana. Sekarang aku boleh tahu nama kamu itu siapa nggak?"

"Jessia kak," ujar Sia.

Elgo mengangguk, "makasih Jes," ujarnya kemudian. Sekarang panggilan Elgo untuk Sia juga sudah berubah, cowok itu memang benar-benar tidak mengingat gadis disampingnya ini. Sia sudah dilupakan.

Sia mengusap air matanya yang sedang membanjiri pipinya. Ia memaksa untuk tersenyum lebar. "Aku yang harusnya makasih kak. Makasih udah maafin aku."

"Nggak pa-pa, santai aja mah sama aku. Jangan dipikirin lagi, percuma saja kalo aku nggak ingat."

Sia mengangguk dan tersenyum sangat lebar. Ia mendadak merasa kembali hangat walaupun Elgo tidak ingat Sia adalah siapa. Sadar jika tangannya sudah menggenggam Elgo sangat lama, Sia pun melepaskannya. Rasanya tidak enak melakukan hal itu.

"Aku boleh minta tolong sama kamu nggak?" tanya Elgo dan dijawab Sia anggukan kepala antusias. Gadis itu dengan senang hati membantu Elgo. Semata-mata untuk menebus kesalahannya. Walaupun ia tahu kalau itu tidak cukup, masih terlalu kurang.

"Iya kak, mau minta tolong apa?"

"Seragam yang kamu pakai sekarang kayaknya aku ingat. Kamu satu sekolah sama Sashi, kan? Aku minta tolong kamu ngomong sama dia buat jenguk aku. Aku kangen karena nggak ketemu Sashi udah lama," ujar Elgo.

Sia menelan ludahnya, ia bersikap pura-pura biasa saja meskipun hatinya tiba-tiba saja sudah nyeri. "Kalo boleh tahu kak Elgo nggak lupa sama kak Sashi?"

"Nggak kok, entah kenapa aku nggak lupa siapa Sashi. Untung saja, ada orang yang masih aku ingat. Sashi itu pacar aku, aku sayang banget sama dia. Boleh kan kalo aku minta tolong sama kamu?"

If I Don't Hurt You (END)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz