19

3.1K 141 0
                                    

Tidak ada yang sangat spesial pada hari ini, pikiran Sia semenjak jam pertama di mulai masih saja kosong, tatapannya yang begitu sendu terus terarah ke arah mejanya, Elin yang sudah menyadari akan hal itu tampak merasa cemas sendiri.

Berbagai macam cara sudah ia coba, seperti membujuk Sia untuk pergi ke kantin, memberi lelucon yang lucu agar Sia tertarik, ataupun bercerita tentang cowok-cowok ganteng di sekolah ini. Semua itu tidak ada yang manjur, Sia terlihat sangat lemas.

"Sia, lo kenapa sih? Dari tadi pagi diem mulu, nggak gatel tuh bibir lo? Ayolah lo cerita kalo ada masalah, jangan pendem sendiri, bagi rasa sakit lo, mungkin akan lebih baik setelah gue dengerin," cicit Elin begitu resah, ia tidak suka Sia seperti sekarang ini, kemudian tangannya terulur dan jatuh dipunggung Sia, menciptakan gerakan naik turun yang lembut dan menangkan, Elin berharap, hal itu dapat mengurangi penderitaan yang masih bergelut ditubuh sahabatnya itu.

Elin kembali mendesah berat, Sia masih saja memilih membungkamkan mulutnya, sekadar membalas tatapan dirinya saja tidak ia lakukan. Kali ini, kesabaran Elin benar-benar sedang diuji dengan hebat.

"Lo kenapa? Kak Sashi gangguin lo, ya?"

Bertanya seperti itu, memang bukan tanpa alasan, Elin hanya memastikan kalau kemarin Sashi tidak benar-benar menghajar Sia. Dilihatnya wajah Sia sekali lagi, dan masih sama. Ekspresi yang tertunjuk sama sekali tidak ada perubahan, datar-datar saja.

Sampai pada akhirnya, Sia pun angkat suara. "Gue mau cabut ke perpus dulu ya Lin," ujarnya.

"Gue ikut lo."

"Nggak Lin, gue sendiri aja."

Elin, cewek itu mendengkus berat, ia sebetulnya tidak mau mengijinkan Sia untuk pergi sendiri, namun dengan alasan gadis itu ingin pergi tanpa siapapun yang mengikutinya membuat Elin menurut. Elin membiarkan Sia untuk pergi ke perpustakaan, Elin tahu, sahabatnya itu masih ada pikiran yang bergentayangan di otaknya. Ekspresi yang ditunjukkan sudah sangat jelas, dan Elin tidak mungkin salah mendeskripsikan tentang itu.

Di antara langkah kakinya yang lemah, tanpa sengaja ekor mata Sia menunjukkan sesuatu. Karena penasaran, ia menghentikan gerakan langkah kakinya, menatap dua orang remaja yang berjarak lima meter dari dirinya berdiri. Sia masih memandangi dua remaja itu, suaranya yang keras dapat Sia tangkap dengan mudah.

"Elgo, gue ikut lo, jangan cepet-cepet dong jalannya," raung Sashi semakin menampilkan mimik cemberut, sebisa mungkin ia menyeimbangi langkah kakinya dengan langkah kaki milik Elgo yang terkesan sangat cepat. Berulang kali Sashi menyentuh lengan kekar Elgo, namun secara mentah-mentah ditepis oleh cowok itu dengan kasar.

Namun ketika mendapati perlakuan kasar seperti tadi, hal itu tidak menyurutkan niat Sashi untuk gencar mengejar Elgo. Baginya, Elgo merupakan cowok satu-satunya di sekolah ini yang paling cocok dengannya, yang paling menonjol diantara kalangan siswa, dan yang paling utama dan pasti, Elgo sangat tampan dengan raut muka yang sangat rupawan.

"Gue mau nikahin Bu gendut, lo nggak usah ikut, gue mau bikin semua orang cemburu, sana lo pergi!"

Elgo mengusir, menghempaskan tangan Sashi yang lagi-lagi bergelantung dengan manja dilengannya yang terisi otot-otot keras.

"Ih Elgo, jangan becanda mulu dong."

"Gue nggak becanda, gue emang mau nikahin Bu gendut kok," sanggah Elgo secepat kilat.

Sedikit informasi, Bu gendut adalah ibu-ibu penjual gorengan di kantin, sudah mengabdi sebagai penjual kantin sejak sekolah pertama dididirikan. Tak ayal, semua warga sekolah tahu siapa gerangan wanita berbadan gempal tersebut, gorengan yang dijualnya juga terbilang enak, dan yang paling penting dan lebih utama, harganya sangat miring, sesuai isi dompet para remaja.

If I Don't Hurt You (END)Where stories live. Discover now