36

1.9K 92 2
                                    

Beberapa saat di jalanan, sesuatu terjadi menimpa Sia dan Elgi.

Sebelumnya Sia sudah berasumsi bahwa motor Elgi yang berhenti di pinggir jalan adalah karena faktor mesin mogok atau kehabisan bahan bakar. Namun, dengan segera Sia tepis asumsi tersebut. Elgi memang sengaja melakukan itu. Cowok itu kemudian melepaskan helm, memiringkan wajahnya ke belakang sembari memasang senyuman khasnya—lembut dan manis.

Sia belum menemukan titik kejelasan mengenai tindak tanduk Elgi. Kenapa cowok itu berhenti di sini. Sia hendak bertanya, namun egonya kali ini lebih besar. Ia juga masih canggung berhadapan dengan Elgi. Berpisah satu tahun rupanya sudah mengubah semuanya.

"Aku janji nggak bakal bawa kamu lebih dari jam sembilan malam. Ayo kita ke sini dulu."

Sorot mata Sia mengikuti pergerakan jari telunjuk Elgi yang mengarah pada taman kota di seberang jalan. Cukup ramai di kunjungi, apalagi pada waktu petang seperti ini. Entah dapat dorongan dari mana Sia mengangguk. Ia tidak membantah.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di sana. Perhatian Sia sedari tadi mengarah pada Elgi yang menggenggam tangannya begitu erat. Tangannya yang kekar dan terasa hangat ketika menyentuhnya, berhasil membuat Sia menelan ludah. Detak jantungnya bekerja dua kali lipat lebih keras. Ketika ia mendongakkan wajah untuk melihat wajah cowok itu, Sia dikejutkan dengan Elgi yang juga memandanginya.

Untuk beberapa saat tatapan mereka beradu.

"Kamu mau beli apa? Biar aku yang beliin. Mau es krim atau permen kapas?"

Sia mengerjapkan matanya, menatap bola mata Elgi membuatnya ia lupa akan segala hal, begitupun ucapan cowok disampingnya itu.

"Ha? Eh iya."

Senyuman Elgi terbit, ia paham dengan kekasihnya itu jika kegugupan sudah dirasakannya. Elgi mengulang ucapannya kembali, berharap agar Sia tidak terlalu merasa bersalah karena ucapan dirinya tadi sudah diabaikan. "Mau beli apa jadinya? Es krim atau permen kapas? Atau mungkin kamu kepengin yang lain? Biar aku yang beliin buat kamu."

Bingung, Sia memilih menggeleng. "Nggak usah deh," jawabnya singkat.

"Nggak usah sungkan sama aku. Kamu tinggal bilang aja. Es krim coklat kesukaan kamu aja gimana? Dulu kamu suka banget, apa sekarang udah nggak suka lagi?"

Sia menerbitkan senyuman tipis, sulit untuk diketahui lawan bicara karena berada di dalam keadaan remang seperti ini. Memang waktu sudah petang, mungkin beberapa menit lagi hari sudah menjelang malam.

"Nggak berubah kok, aku masih suka es krim rasa coklat. Kamu masih suka yang vanilla, kan?" tanya Sia.

Canggung yang semula Sia rasakan sedikit mulai melebur. Gadis itu tersenyum manis. Perasaan nyaman perlahan mulai hadir kembali. Walaupun masih belum seratus persen, lagipula butuh waktu untuk mengembalikan keadaan seperti semula.

"Es krim vanilla? Emang aku suka itu, ya?" Elgi mengangkat tangannya, mengetuk beberapa kali pelipisnya dengan jari telunjuk, pura-pura sedang berpikir kritis.

"Iya, dulu kamu suka banget. Masa sih udah lupa? Bahkan waktu itu es krim aku di makan kamu. Terpaksa aku beli rasa vanilla karena nggak ada yang cokelat."

"Perasaan aku nggak suka itu," ujar Elgi lagi, mencoba untuk membantah.

"Emang suka kok. Aku nggak mungkin lupa soal itu. Kamu nggak suka hujan. Kalo aku ngambek, dulu kamu juga rayu aku supaya nggak marah."

"Nggak suka, aku nggak pernah suka es krim vanilla."

Sia mengeluarkan napas panjang, bola matanya berputar kesal. "terus? Kamu sukanya apa? Coba biar aku denger."

If I Don't Hurt You (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu