39

1.9K 92 0
                                    

Akibat insiden kemarin, hari ini Sia bertambah tidak banyak bicara. Setiap Elin mencoba mencari topik yang ia pikir akan membangkitkan semangat Sia, namun alih-alih seperti apa yang Elin pikirkan. Justru Sia semakin kusut saja, ia menenggelamkan wajahnya di balik lipatan tangannya di atas meja.

"Sia, ini udah istirahat loh. Mau ke kantin nggak?" tanya Elin masih berusaha menghibur sahabatnya yang tengah bad mood itu. Elin mengguncangkan lengan Sia cukup kencang.

"Lo pergi dulu aja Lin, gue lagi nggak pengin ngapa-ngapain," jawab Sia lemas, kepalanya masih terbenam di atas meja, suaranya yang keluar dari bibirnya pun terdengar agak sumbang ketika masuk ke telinga Elin.

"Kalo elo nggak pergi ya gue juga nggak mau ke kantin. Gue temenin lo di sini deh, gue juga nggak mau pergi sendirian."

Sia langsung mengangkat kepalanya, fokusnya kemudian langsung beralih ke arah Elin. Sia mengembuskan napas lelah, merapikan rambutnya yang sedikit awut-awutan. "Jangan lakuin karena gue Lin, lakuin apa yang lo mau."

Meskipun agak bingung dengan maksud Sia, tapi Elin berusaha mencerna dengan baik. Ia mendesah singkat, meletakkan tangannya di punggung tangan Sia. "Ini yang gue mau kok, gue mau di sini sama lo."

Sia tersenyum masam, "lo pergi ke kantin aja, gue nggak mau terlihat lemah seperti ini. Meskipun sebenarnya memang begitu." Pandangan Sia beralih menatap meja. Kemudian dapat ia rasakan sapuan jempol Elin di punggung tangannya.

"Apaan deh, ya kali gue pergi saat lo ada masalah gini. Gue nggak mau maksa lo buat cerita, gue cuma mau nunggu. Gue percaya, cepat atau lambat lo bakal cerita sama gue."

"Kalo sekarang gue kepengin sendiri gimana?" ujar Sia lirih seraya menatap sepasang mata Elin dengan dalam.

"Gue jadi harus pergi nih?" canda Elin, ia mengeluarkan kekehan kecil.

Sia menatap ke depan lurus-lurus, tidak ada gunanya juga mengusir Elin pergi dari sini. Bohong jika Sia menginginkan untuk menyendiri. Ia butuh seseorang untuk dijadikan sandaran, tempat berbagi cerita. Sia menelan ludah, lalu melirik ke samping. Elin sedang menatap Sia dengan sorot mata dalam. 

"Lin, kalo gue cerita ke elo, yakin nggak akan bikin lo repot?" tanya Sia, hanya untuk memastikan saja.

Elin menggeleng cepat, tentu saja ia tidak merasa direpotkan sama sekali. Itulah gunanya sahabat yang sesungguhnya, selalu diperlukan di saat ada masalah. Elin mengukir senyuman tipis, "cerita aja kalo elo percaya sama gue."

"Gue bingung Lin. Perasaan gue nggak tahu kayak gimana," ujar Sia parau. Dan sederet kalimat itu yang akan menjadi kalimat pembuka sebelum akhirnya semua isi hatinya tercurahkan.

Elin diam, membiarkan Sia melanjutkan ceritanya. Ia tahu jika sahabatnya itu sedang memendam masalahnya sendiri. Elin hanya bisa membantu semampu yang ia bisa.

Bahu Sia merosot turun, bersamaan dengan kepalanya yang ikut menunduk. "Sebelum itu, seharusnya kemarin lo nggak usah nolongin gue Lin."

Jika sudah menyangkut Sashi, Elin tidak bisa berhenti begitu saja, apalagi seniornya itu sudah mengganggu Sia. Elin tidak bisa tenang meskipun sudah di suruh sekalipun. "Lo apaan sih, mana bisa gue nggak nolongin lo!"

Sia mengisi paru-parunya dengan oksigen lebih banyak lagi. "Karena kak Sashi nggak salah, gue yang salah Lin. Seharusnya lo bela yang benar. Dia marah karena gue yang buat ulah, jadi wajar aja kalo gue emang pantas dapatin itu semua."

Sia tidak sadar jika air matanya sudah turun. Ia kemudian melanjutkan kalimatnya, sebelum Elin kembali menyahut, "gue salah Lin. Gue emang pantas digituin, gue udah bikin semuanya hancur."

"Sia, gue nggak paham lo ngomong apa, apa yang lo maksud ini?" tanya Elin jujur. Perkataan Sia belum bisa ia cerna baik-baik.

"Lo salah kalo bela gue Lin. Ini semuanya karena ulah gue, masalah ini datang ya karena gue ulahnya. Gue nggak sengaja dorong kak Elgo dari tangga." Sia langsung mengusap air matanya, tapi seharusnya tidak perlu, karena begitu ia menghilangkan jejak air matanya di pipi, cairan bening itu kembali turun dari pelupuk mata. Mungkin lebih deras dari sebelumnya.

Elin tentu saja terkesiap, ia memusatkan seluruh perhatiannya pada Sia lengkap dengan bola matanya yang semakin melebar. "Maksudnya?"

"Sebenarnya gue udah lama putus dari kak Elgo Lin. Tapi dia tiap hari nemuin gue terus sampai gue marah. Puncaknya itu, gue terlalu emosi sampai nggak sadar udah bertindak terlalu jauh, gue egois, gue udah bikin kak Elgo masuk rumah sakit, gue bodoh Lin. Gue emang nggak guna."

Sia menangis histeris setelah itu. Elin sampai bingung harus merespons seperti apa, karena ucapan Sia sungguh mengejutkan dirinya. Untung saja di kelas sepi, hanya mereka berdua yang berada di sini. Sampai pilihan Elin akhirnya terjatuh pada memilih mengusap punggung Sia dengan pelan dan prihatin. Ia berusaha menguatkan sahabatnya.

Sia menangis sesenggukan, tapi tidak menutup kemungkinan untuk ia berhenti cerita. Gadis itu berusaha meredam suaranya agar tangisnya tidak terdengar sampai keluar kelas. "Harusnya yang disiram air cucian piring itu gue Lin. Bukan kak Sashi, dia marah ke gue karena kak Elgo masuk rumah sakit. Dan gue maklumi, karena emang gue yang salah. Dan kak Sashi emang suka banget sama kak Elgo."

Kali ini Elin menimpali, "tapi cara dia negur lo tetap salah, kak Sashi seharusnya ngomong baik-baik. Nggak usah pakai cara kekerasan. Dia juga salah kok."

Sia menggeleng pelan, ia berusaha memberhentikan tangisnya. Ada jeda panjang setelah itu, sampai kemudian Sia kembali berkata. "Kak Elgo itu udah putus sama gue sejak Elgi datang Lin."

"Elgi pacar lo itu? Yang satu tahun ngilang nggak ada kabar sama sekali?" tanya Elin bingung sekaligus terkejut. Banyak sekali fakta yang ia tidak tahu dari Sia.

"Kak Elgo itu adiknya Elgi, mereka kakak adik, hanya beda satu tahun doang. Waktu itu gue putusin kak Elgo, dan kak Elgo mikirnya gue minta putus karena Elgi udah kembali. Dia marah, dan gue sebenarnya nggak ada niatan buat kak Elgo marah." Sia menarik napas panjang, ia tersenyum getir, lalu melanjutkan ceritanya. "Kak Elgo nggak rela gue deket sama Elgi. Dia ngikuti gue terus, ke mana gue pergi dia selalu ada, dan gue lama-lama jadi emosi juga, sampai puncaknya dia masuk rumah sakit gara-gara jatuh dari tangga, dan gue adalah penyebabnya."

"Tapi lo nggak sengaja berbuat itu Sia."

"Tetap gue merasa bersalah banget Lin."

"Menurut gue sih wajar kalo dia marah, soalnya gue lihat juga dia sayang banget kok sama lo. Apalagi lo mutusin kak Elgo buat balik sama kakaknya. Di sini posisi lo sendiri juga nggak sepenuhnya salah kalo elo tanya pendapat gue. Lo mungkin terlalu seneng karena Elgi udah muncul setelah sekian lama pergi dan nggak ada kabar yang bisa lo dapat. Jadi lo sampai nggak mikirin perasaan kak Elgo. Maaf nih kalo gue nyakitin perasaan lo, tapi jujur nih ya, lo memang egois, nggak mikirin perasaan kak Elgo itu kayak gimana."

Perasaan Sia bertambah hancur setelah mendengar penuturan Elin. Hatinnya tersentil, ia merasa bersalah besar. Sia menunduk lagi, entah kenapa semua ini membuat hatinya semakin runyam.

"Gue nggak tahu harus gimana lagi Lin. Nyokap kak Elgo marah banget sama gue, di rumah sakit gue dicaci maki, di tampar, bahkan gue ditendang. Tapi gue rela digituin Lin, gue nggak pa-pa asalkan gue dimaafin. Apalagi sekarang kak Elgo hilang ingatan."

"Ha?! Apa lo bilang?!" Satu fakta lagi yang muncul, Elin semakin membuka mulutnya lebar. Kejutan banyak sekali ia dapatkan dari cerita yang Sia paparkan. Hanya satu yang bikin Elin bingung, yaitu gimana caranya Sia bisa merangkul beban sebegitu banyak dihidupnya?

Dengan mulut yang menganga lebar, sorot mata Elin tidak berpindah dari Sia. Gadis disampingnya ini benar-benar sangat mengejutkan dirinya.

If I Don't Hurt You (END)Where stories live. Discover now