35

1.5K 35 0
                                    

Terkejut, itulah gurat ekspresi yang sekarang Sia paparkan. Orang yang menarik tangannya secara sarkas rupanya Elgo, yang sudah ia anggap sebagai mantan kekasihnya.

Sia mengerjap, kemudian berkata dengan nada sedikit gugup, "kak Elgo?"

Diam, Elgo tidak menyahut ucapan Sia. Cowok itu terus mematri tatapan pada manik mata Sia. Ekspresinya datar, tidak ada lengkungan senyum yang dipancarkan lewat bibirnya. Dan hal itu sukses membuat Sia kebingungan sendiri.

"Kamu nggak usah deket-deket sama dia lagi." Elgo berkata tegas bertepatan dengan ketika ia melepas tangannya yang membungkus lengan Sia yang ramping.

Kejadian kemarin malam membuat Sia kikuk, ia merasa tidak enak dengan Elgo, meskipun maksudnya tidak mau cowok itu kecewa, tapi tetap saja, rasanya sama. Sia sedikit malu memulai percakapan dengan cowok itu.

"Kamu dengerin aku ngomong nggak?" Suara dari Elgo menggelegar lagi, dan kali ini lebih kerasa dari sebelumnya, naik beberapa oktaf.

"Siapa yang kak Elgo maksud?" tanya Sia.

"Cowok itu," ucap Elgo singkat sembari mengacungkan jari telunjuk tepat mengarah ke gerbang sekolah. Dan Sia tidak bodoh untuk tahu ke mana arah telunjuk tangan Elgo pergi.

Setelah mengamati Elgi beberapa saat di gerbang depan sana, pandangan Sia kembali beralih pada Elgo. Alisnya yang lumayan tebal naik beberapa senti sebelum akhirnya ia melontarkan pertanyaan. "Itu Elgi, emang kenapa?"

"Kamu putusin aku hanya untuk cowok kayak dia?" tanya Elgo remeh.

Sia menghela napasnya panjang, matanya berputar malas, ucapan Elgo tadi membuat Sia sedikit muak, bagaimana tidak? Cowok itu seolah-olah mempunyai sesuatu yang lebih unggul dari Elgi dengan nada suara yang seperti itu.

"Apaan sih kak, aku mau pulang!"

"Pulang bareng aku!" sanggah Elgo cepat, ia kembali mencengkeram tangan Sia yang hendak pergi dari hadapannya menuju arah keluar sekolah.

Sia menoleh, kemudian mengeluarkan suaranya, "aku udah putus sama kak Elgo!"

"Perkara putus atau nggak, aku nggak peduli dengan itu. Aku cuma mau nganterin kamu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Gimana kalo aku nolak?" tantang Elgo, kini tangannya terlipat di depan dadanya.

Sia memberontak, lengkap dengan bola matanya yang terpancar sinis menatap Elgo, Sia mundur beberapa langkah, setelah itu mulutnya mencebik remeh, "kak Elgo nggak ada hak buat larang-larang aku. Mau aku mau ngapain, seharusnya kak Elgo nggak usah ikut campur!"

"Kamu pikir aku peduli dengan itu?"

"Udahlah kak, ini bukan kak Elgo yang aku kenal. Kak Elgo bukan kayak gini, kak Elgo yang aku kenal itu orangnya nggak pemaksa," balas Sia dengan nada suara lebih tinggi daripada sebelumnya. Ia menggeram kesal.

Entah apa yang membuat Elgo seperti itu, Sia tidak suka jika kehendaknya dikekang. Ini hidupnya, dan orang lain seharusnya tidak usah ikut campur. Sehabis puas mendelik dengan mata yang menyorot penuh amarah, Sia berlalu meninggalkan Elgo di tempat.

Sia tidak mendengar seruan dari cowok itu meskipun Elgo berteriak memanggil-manggil namanya. Perasaannya tengah diselimuti oleh amarah yang membumbung tinggi. Sekarang, ia menjadi lebih berani untuk bertemu Elgi di depan gerbang sana. Tidak peduli dengan dampak yang ia dapatkan nantinya.

Namun nyatanya, ketika jarak yang semakin terkikis dengan Elgi, dada Sia semakin larut untuk bergejolak tinggi. Ia menelan ludahnya dengan kasar, bersamaan dengan itu laju langkahnya juga semakin pelan. Pikirannya memang labil, dan Sia benci dengan itu mengapa dirinya selalu berubah-ubah untuk mengambil suatu tindakan. Ia ingin menghindari Elgo yang mencegah dirinya untuk pergi menemui Elgi di gerbang, tapi pilihan yang Sia ambil sekarang rupanya bukan salah satu pilihan yang tepat. Ia salah mengambil arah, hatinya masih bergemuruh sakit, bertemu Elgi entah kenapa sulit untuk ia lakukan.

Tapi mau berbuat apapun juga tidak ada gunanya, Sia sudah terlanjur dilihat oleh Elgi dan gadis itu sudah tidak memilki kesempatan untuk kabur. Satu-satunya cara yang harus ia lakukan adalah berjalan dan menemui Elgi.

Begitu canggung, itulah yang dapat Sia rasakan setelah tubuhnya sudah berdiri dihadapan Elgi. Cowok itu tidak berbeda, masih sama. Mungkin hanya  penampilannya yang sedikit berubah, dan kesan yang dapat Sia rasakan adalah Elgi semakin dewasa. Satu tahun menghilang rasanya begitu aneh, Elgi yang dulu memang masih sama, tapi aura yang Sia rasakan sudah tidak seperti dulu lagi, entah karena apa itu, Sia sendiri juga tidak bisa menjawabnya. Kesannya hanya aneh saja.

"Sia, kamu apa kabar?"

Bahkan, suara Elgi yang menusuk gendang telinganya juga tidak ada yang berubah. Ada jeda lama, Sia tidak langsung menjawab pertanyaan yang terlontar untuk dirinya jawab, ia kikuk sendiri dengan kepalanya yang menunduk, masih tidak berani menatap bola mata cowok dihadapannya ini.

"Kenapa diem aja? Kamu nggak kenal aku siapa?" tanya Elgi lagi, kali ini disertai sentuhan yang ia daratkan di bahu Sia. Tepat detik itu juga Sia menyempatkan diri untuk menahan napasnya, telapak tangan Elgi yang bertengger sungguh berdampak besar bagi Sia. Tubuhnya bagai tersetrum oleh listrik, bergetar kecil.

Secara perlahan, Sia mengangkat kepalanya, kemudian sorot matanya ia fokuskan untuk menatap manik mata Elgi. Ia masih bungkam, namun tidak lama setelah itu akhirnya dengan keberanian yang ia tancap secara penuh, ia mengeluarkan suara meskipun terdengar serak.

"Aku nggak mungkin lupa," ucap Sia pelan sembari menerbitkan senyuman kecil, tapi terkesan dipaksakan. Sebagain dirinya terasa lega karena ia bisa berkata seperti barusan.

Elgi ikutan tersenyum, "bagus kalo gitu, aku anterin kamu pulang gimana? Atau kita mau jalan-jalan dulu?"

Entah mendapatkan dorongan dari arah mana, Sia malah menganggukkan kepalanya bahwa secara teknis ia menyetujui ajakan Elgi. Sia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menyingkirkan rasa canggung yang semakin larut bergelantungan manja.

"Aku mau pulang aja," jawab Sia.

Elgi tidak bisa memaksa Sia begitu saja meskipun benaknya berkata bahwa ia ingin mengajak gadis itu, lebih tepatnya adalah pacarnya sendiri—untuk pergi jalan-jalan. Cowok tampan itu mengeluarkan napas pendek. Ia beringsut maju mendekati motornya, setelah memasang helm, ia menolehkan wajahnya.

"Aku cuma bawa helm satu, kamu nggak masalah kan kalo nggak pake helm?" tanya Elgi memastikan.

Sia mengangguk, dengan perasaan yang masih canggung, gadis itu naik ke atas jok motor Elgi. Setelah berhasil, Sia menjaga jarak dengan cowok itu. Dulu, ia tidak segan ataupun tidak merasa malu untuk memeluk punggung tegas nan lebar Elgi dari belakang. Namun sekarang sudah berbeda, satu tahun bukanlah waktu yang singkat.

Sia menggigit bibir bawahnya, gugup sudah ia rasakan sedari tadi.

"Peluk aku, nanti kamu jatuh. Aku nggak mau lihat kamu sakit," ujar Elgi lembut, meskipun suaranya berat, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kali ini Sia tertegun. Ada satu hal yang sama dari Elgi satu tahun sebelumnya sama Elgi yang sekarang, yaitu sikap perhatiannya tidak pernah luntur.

If I Don't Hurt You (END)Where stories live. Discover now