40

2K 85 0
                                    

Ketika suara pesan masuk dari ponselnya, Sia langsung mengeceknya. Ia membaca kalimat di layar benda canggih itu beberapa detik. Napasnya terhembus kasar, ia pun meletakkan ponselnya lagi di nakas samping kasurnya. Banyak sekali kejutan yang hadir di hidupnya ini, ada kalanya Sia merasa lelah dengan ini semua. Seolah takdir baik tidak bisa datang ke arahnya.

Pesan barusan tadi mengatakan jika sejumlah uang sudah ditransfer ke rekeningnya dari ibunya yang merantau di luar kota. Harapan Sia untuk bertemu dengan ibu kandungnya itu lagi dan lagi hanya sebatas angan semata. Seberapa keras pun Sia berdoa, meminta bantuan pada Tuhan agar ibunya segera pulang, setidaknya menjenguknya saja barang sejenak. Namun seolah alam semesta tidak mengijinkannya. Perlahan, keinginan itu berhasil Sia kubur, terlalu sakit untuk menunggu ibunya yang belum pasti akan datang atau tidak. Meskipun terkadang, keinginan itu kembali hadir menghantuinya.

Sejak insiden jatuhnya Elgo dari anak tangga, napsu makan Sia juga tidak stabil, pikirinnya kacau. Lebih-lebih lagi perasaan bersalah yang terus menghantamnya. Bahkan, tidurnya juga tidak bisa tenang dan nyenyak. Semuanya terlalu kacau.

Sia kemudian terhenyak, ia menegakkan tubuhnya. Arah pandangan matanya beralih menatap jam dinding. Senyuman Sia terbit. Masih ada waktu tiga jam dari sekarang sebelum jam besuk di rumah sakit tutup.

Sia berniat untuk menjenguk Elgo. Akan tidak tahu diri jika Sia tidak pergi ke sana. Sebelum itu ia ingin pergi ke toko buah terlebih dahulu. Tidak mungkin Sia membesuk Elgo tanpa membawa buah tangan.

Satu jam kemudian, Sia akhirnya sampai di rumah sakit pada pukul delapan malam. Ia tersenyum lebar ketika menginjak lantai rumah sakit. Namun, ketika ia pergi ke ruangan di mana terakhir kali melihat Elgo, di sana sudah tidak ada orang. Sia bingung, ia mengembuskan napas kecewa. Elgo pasti sudah di pindah ke ruangan inap satu dari sekian banyak ruangan di rumah sakit. Sangat tidak mungkin jika Sia mengeceknya satu persatu.

Terpaksa, dengan berat hati Sia membalikkan tubuhnya, fokus matanya beralih pada buah yang sudah ia beli sebelum akhirnya ia berjalan pelan hendak pulang. Ia tidak tahu ruangan Elgo di mana, percuma saja jika sudah begini.

"Sia?"

Langkah Sia berhenti, kembali ia memutar tubuhnya, dan saat itu juga bola matanya membelalak lebar. Sudut bibirnya pun terangkat. Ia berjalan mendekati orang yang sudah memanggil namannya barusan.

"Elgi? Kamu mau ke mana?" tanya Sia.

"Aku mau pulang, kamu ngapain di sini?" Elgi menatap Sia dan plastik kresek yang berada di tangan gadis dihadapannya ini.

"Aku mau jenguk kak Elgo. Kemarin terakhir aku ke sini kak Elgo masih berada di ruangan itu." Sia menunjuk ruangan tempat di seberang dengan jari telunjuknya. "Tapi sekarang kayaknya udah pindah, kamu tahu di mana ruangan kak Elgo sekarang di rawat?"

Sia berharap Elgi bisa membantu dalam situasi seperti ini. Cowok itu pasti tahu keberadaan adiknya di rawat di ruangan mana dan nomor berapa. Keberadaan Elgi di sini pasti juga mengunjungi orang yang sama dengan Sia. Ya, Sia tidak mungkin salah.

"Aku tahu, barusan juga aku ke sana. Dan ini aku mau balik, kamu mau aku anterin ke sana?" tawar Elgi.

Sia menggeleng tanda menolak. "Nggak usah kok, aku bisa ke sana sendiri. Kalo aku boleh tahu, cukup sebutkan saja ruangannya. Biar aku sendirian aja."

Elgi mengangguk mengerti, ia pun lekas menjawab. "Di lantai empat, ruangan Delima kamar nomor tiga."

Sia tidak bisa menyembunyikan senyumannya, ia terlalu senang saat ini. Akhirnya tidak sia-sia juga ia pergi ke sini. "Makasih ya, kalo gitu aku pergi dulu."

Sia kemudian berlalu dari hadapan Elgi, meskipun mereka belum menyatakan putus atau mengembalikan hubungan agar seperti dulu lagi, tapi Sia agak canggung. Semuanya sudah berubah, cinta dan kasih sayangnya kepada Elgi tidak seratus persen seperti dulu. Kini, hatinya juga terpusat kepada Elgo. Namun, Sia tidak boleh egois, memilih satu diantara kedua cowok itu yang harus ia lakukan.

Tapi, Sia bingung harus memilih siapa. Apakah keputusan yang akan ia ambil benar. Sia memilih mengenyahkan pikiran itu dari otaknya, masalah itu bisa ia pikirkan lain kali. Sekarang ia harus pergi menemui Elgo sebelum jam besuk sudah habis.

Sebelum Sia bergerak lebih jauh lagi, Elgi kemudian mencengkram pergelangan tangan Sia yang membuat Sia otomatis berhenti. Gadis itu menoleh, satu alisnya naik seakan ia meminta penjelasan.

"Ada apa?" tanya Sia bingung.

"Yakin mau ke sana sendiri, aku temenin aja, ya? Takut kamu malah tersesat," ujar Elgi menawarkan diri. Sosok itu masih sama seperti dulu, perhatian dalam situasi apapun.

"Nggak usah, bisa aku cari sendiri. Kamu pulang aja, makasih udah kasih tahu aku ruangan kak Elgo di rawat." Lagi-lagi kepala Sia menggeleng.

Tidak ada alasan lagi bagi Elgi untuk mencegah maupun mengantarkan Sia pergi menemui Elgo. Dilepaskannya tangan Sia, lalu ia pun tersenyum.

"Ya udah, hati-hati kalo gitu. Aku balik dulu, ya?"

Sia mengangguk seraya melambaikan tangannya. Ia kemudian melanjutkan perjalanan menuju lift untuk naik ke lantai empat. Setelah sampai, ia terus mencari ruangan Elgo. Sangat membingungkan, tapi akhirnya ketemu juga sehingga dada Sia terasa menghangat.

"Assalamu'alaikum."

Tubuh mungil Sia masuk ke dalam ruangan. Dan benar saja, ia tidak salah memasuki ruangan. Ia bisa melihat Elgo yang terbaring di ranjang rumah sakit. Sia bergerak melangkah maju, namun tiba-tiba ia menghentikan tubuhnya ketika suara yang ia kenali mengalun ditelinganya.

"Oh masih ada nyali rupanya buat ke sini? Bagus banget, ya? Bukannya kemarin kamu udah janji kalo kamu nggak akan ketemu anak saya lagi? Mau ngapain ha?!"

Sia menelan ludahnya, rupanya kehadirannya di sini sangat tidak diharapkan. Ia menelan ludah takut, tapi ia tidak berniat untuk pergi begitu saja, tanggung sudah sampai di sini.

"Maaf Tante, saya cuma mau jenguk kak Elgo," jawab Sia sambil menunduk. Ia meremas plastik kresek di tangannya. Tubuhnya bahkan sudah bergetar karena rasa takut sudah mulai menyusup.

"Saya nggak sudi terima kamu. Udah sana pergi, saya hitung satu sampai tiga kalo kamu nggak pergi juga, saya akan panggilin satpam!" ancam wanita itu yang sudah memupuk kemarahan dan kebencian terhadap Sia.

"Jangan Tante, aku cuma sebentar aja kok di sini," ujar Sis memohon.

"Nggak ada kesempatan buat kamu lagi! saya tekankan sekali lagi, KE-LU-AR!" sorot mata bengis sudah berkobar, wanita paruh baya itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah pintu.

"Mama jangan kayak gitu, masa mama usir gitu aja? Dia niatnya baik loh mau jenguk Elgo," ujar Elgo tiba-tiba. Wanita itu menatap anaknya dengan bola mata melotot.

Ingatan Elgo memang sudah kembali, tapi tidak sepenuhnya. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, namun perlahan cowok itu bisa. Dan ini butuh waktu untuk memulihkan semua ingatannya. Untung saja, Elgo tidak sampai hilang ingatan total.

Wanita tersebut hanya bisa menghela napas panjang, anaknya sudah berkata demikian, alhasil tidak ada celah untuk mengusir Sia.

"Terserah kamu aja, mama jadi pusing. Ya udah mama tinggal dulu, mama mau ke minimarket." Wanita itu berkata sembari mengambil tas yang tergeletak di tas meja.

"Mama pergi dulu," ujarnya. Dan setelah mencium kening Elgo, wanita cantik itu berjalan ke arah pintu, tepat di mana Sia sedang berdiri sambil menahan napas.

"Awas aja kalo kamu buat macam-macam sama anak saya!" tudingnya tajam, memancarkan sorot matanya yang setajam silet.

Bahkan, kini Sia sudah menelan ludahnya dengan kasar.

If I Don't Hurt You (END)Where stories live. Discover now