32

2.2K 107 0
                                    

Ini adalah hari pertama setelah Sia meminta memutuskan hubungan dengan Elgo. Jelas saja, tidak perlu merasa aneh lagi bahwa Elgo merasa sakit mendengarkan itu. Hatinya meremang, dan perasaan bersalah terus saja mendesak untuk keluar, sampai pada akhirnya muncul ke permukaan.

"Buset, lo kenapa dah Go? Nggak terima kalo gue jadian sama Dina?" Raja, yang duduk tepat di samping Elgo, sejak beberapa menit belakangan sudah mengerti bahwa Elgo tengah banyak pikiran.

Terlihat dari sorot mata Elgo yang terus terpusat ke arah depan. Tatapannya datar, sama sekali tidak menoleh jika Raja memanggil namanya. Itu sudah menjadi bukti yang cukup kuat untuk alasan itu.

Memang, dua hari yang lalu Raja sudah jadian dengan Dina, teman kelasnya. Cewek yang waktu itu sempat Elgo kerjain. Elgo tidak menjawab pertanyaan Raja. Sebagai gantinya, ia pun menggeleng pelan. Ekor matanya ia alihkan ke sembarang arah.

"Gue kan emang baik dari sebelum gue lahir. Nah, karena itu lo harus cerita sama gue apa masalah yang sedang lo hadapi sekarang ini. Gue bukan cowok yang suka umbar dan nggak bisa jaga rahasia. Tapi nggak semua cowok kayak gitu sih, tapi banyak lah yang suka gosip."

Elgo menatap sinis pada Raja. Ia memutar bola matanya. Ucapan raja barusan masih terekam sangat jelas di otaknya, Elgo sempat menimbangnya sebentar. Ada benarnya juga ucapan Raja, tetapi Elgo masih ragu untuk menceritakan masalahnya. Elgo tidak mau merusak mood Raja, ia tahu kalo Raja tengah diselimuti perasaan kasmaran. Tidak salah jika Elgo ragu kalau dirinya bercerita.

"Go lo jangan diem-diem kayak gini lah. Biasanya lo juga usil. Mana Elgo yang gue kenal? Masa mlempeng gini kayak kerupuk yang direndem di air. Gue sahabat lo Go, nggak perlu sungkan kalo lo mau berbagi masalah sama gue."

Embusan napas keluar, Elgo menyentakkan punggung lebarnya ke sandaran kursi. Ia bingung, tetapi ia juga tahu kalo dirinya bercerita masalahnya, semua itu akan menguap karena Elgo sudah membagi cerita, pikirnya.

"Gue putus sama Sia." Akhirnya, Elgo memutuskan untuk bercerita, walaupun awalnya ragu.

Raja manggut-manggut sebentar, lalu tak lama ekspresi wajahnya kian berbeda dari sebelumnya, ia menoleh ke samping, lengkap dengan bola mata melotot, bahkan punggungnya sudah sangat tegap. "What?!"

"Nggak usah lebay!"

"Tunggu dulu, gue lagi nggak lebay. Lo seriusan?" Raja jelas saja terkejut, sesuatu yang Elgo katakan sangat mendadak. Ia memangkas jarak, lebih dekat duduk dengan Elgo.

"Kalo gue lagi nggak bohong, terus ngapain gue galau kayak gini?"

Raja diam, hanya tatapan datar yang ia perlihatkan untuk Elgo. Raja mengembuskan napas, lalu sedetik setelah itu ia bertanya kembali.

"Ini beneran atau lo mau ngeprank gue sih Go?"

"Terserah lo aja nyimpulinnya kayak gimana. Intinya gue cerita apa yang sedang gue alami. Soal lo percaya atau enggaknya, itu urusan lo."

"Iya iya gue percaya sama lo. Tapi masalahnya apa Go? Gue kayaknya sering lihatin kalo lo sama Sia baik-baik aja tuh kayaknya."

"Itu cuma kelihatannya Ja. Nggak sepenuhnya apa yang terlihat dari luar itu memang baik-baik saja, mungkin banyak tersimpan rahasia di dalamnya. Dan gue ngerasain hal semacam itu. Sakit."

Sementara itu, di tempat lain, Sia tengah duduk di taman seorang diri, ditemani udara kosong yang menerpa kulit, Sia merenung panjang. Tatapannya banyak menyiratkan luka didalamnya. Ia butuh tempat tenang seperti ini. Awalnya Elin ingin menemani, tetapi Sia melarangnya dengan alasan bahwa ia ingin sendiri. Perihal putusnya Elgo dan Sia, masih belum diketahui publik. Semua siswa dan siswi masih belum mengetahuinya. Sia juga belum menceritakan masalah kepada Elin.

Pergerakan Sia untuk bangkit dari duduknya karena ia merasa sudah cukup untuk menenangkan dirinya di tempat ini, seketika saja tidak terlaksana seutuhnya seperti yang Sia mau, sebab suara panggilan dari seseorang yang memanggil namanya terdengar begitu jelas.

Sia menoleh, ke arah sumber suara, hampir bersamaan dengan bokongnya yang ia dudukkan di kursi lagi.

"Hai!" Seorang cewek bertubuh langsing, dengan poni yang menutupi dahinya, menyapa Sia dengan suara manis, diselingi senyuman menawan.

Tanpa dikomando, cewek itu mengambil duduk di kursi samping Sia duduk. Terlalu canggung untuk membalas senyuman itu, jadilah Sia hanya menatap nanar ke arah cewek itu.

"Gue boleh duduk di sini, kan?" tanya cewek itu, nada suaranya masih terkesan anggun. Tetapi entah kenapa Sia muak mendengarnya.

Jelas Sia tahu siapa cewek itu, dia yang suka dengan Elgo tetapi keinginannya tidak selalu tersampaikan. Ya, dia Sashi. Dan Sia belum mengetahui alasan yang jelas kenapa Sashi menemuinya di tempat ini. Satu hal lagi, bagaimana bisa Sashi mengetahui dirinya ada di sini? Tidak mungkin Elin yang memberitahunya, Elin juga tidak suka dengan Sashi, sahabatnya itu lebih-lebih lagi tidak mengetahui Sia akan pergi ke taman.

"Kak Sashi udah duduk, ngapain ijin?"

Sashi tertawa sumbang, Sia tahu kalau tawa itu hanya dibuat-buat.

"Ngapain lo di sini?"

"Kenapa aku harus beritahu kak Sashi?" Sia menukas cepat hingga tanpa Sia sadari, tangan Sashi sudah terkepal.

Sashi ingin sekali menonjok muka Sia, tetapi bagaimanapun juga ia tidak boleh seperti itu. Ia menahan dirinya agar tidak terlalu cepat untuk meledakkan emosi.

"Gue cuma nanya," ucap Sashi seraya tersenyum manis, senyum yang dipaksakan.

Tak peduli, Sia bangkit dari duduknya, berniat untuk mengayunkan tungkai kakinya, berharap secepat mungkin menjauh dari Sashi. Tetapi sebelum itu, Sashi sudah mencengkal tangan Sia lebih cepat, alhasil pergerakan Sia terinterupsi. Sia berusaha memberontak, tetapi gagal.

"Lepasin," raung Sia.

"Gue mau bicara sama lo. Sebentar."

Percuma saja jika Sia terus memberontak, pada akhirnya hasilnya pasti nihil, tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Sia tidak ingin membuang waktu, ia pun mengangguk mengiyakan. Ia duduk kembali dengan perasaan yang masih setengah kesal.

"Lo tau sendiri, kan kalo Elgo terkenal di sekolah kita?"

Setelah Sia terduduk di tempat semula, selang beberapa detik saja Sashi sudah meluncurkan pertanyaan. Dan Sia sudah sangat menebak bila pertanyaan itu menyangkut tentang Elgo. Padahal di sini, Sia masih tidak ingin membahas cowok itu. Hatinya dongkol. Mendengar nama itu disebut, tentu saja rasa sakit kembali menganga, walaupun sebelumnya memang belum tertutup rapat.

"Iya," jawab Sia cepat, tegas, padat,,c singkat.

Sashi mengangkat sudut bibirnya, lalu kembali melontarkan kalimat. "Pasti lo juga tahu kalo dia banyak yang suka. Jujur, termasuk gue. Banyak cewek-cewek tajir yang pengin jadi pacarnya. Elgo ganteng, dia juga tajir pula tuh."

"Maksudnya?"

Air muka Sia menyiratkan kebingungan yang mendalam. Ia tidak paham apa yang Sashi katakan. Kedua alisnya yang memang tidak terlalu tebal, kini hampir menyatu.

"Banyak pihak yang merasa tersakiti saat lo jadi pacar Elgo. Mereka jelas mencibir lo, banyak juga yang bilang kalo lo dan Elgo nggak cocok. Elgo ganteng dan kaya. Dan Elo?" ucapan Sashi terjeda cukup lama, sorot matanya teralih ke arah wajah Sia dengan tatapan menilai. "Bahkan lo nggak setara sama Elgo."

Sia masih saja bungkam, menunggu kalimat selanjutnya yang Sashi keluarkan untuknya. Apa yang Sashi katakan sebenarnya tidak Sia tanggap. Ia merasa tidak puas dengan argumen Sashi. Cinta tidak memandang status dan pangkat atau derajat, cinta harusnya bisa mengerti segala situasi yang dihadapi semua pasangan, pikirnya. Lagipula, jika derajat antar kedua belah pihak terlihat sangat  kontras, apakah cinta tidak bisa tumbuh di dalamnya?

"Jadi intinya. Gue minta tolong sama lo. Gue suka Elgo, gue ingin Elgo jadi pacar gue. Singkatnya, lo mundur dan menjauh dari Elgo karena gue yang bakal gantiin posisi lo. Ngerti?"

If I Don't Hurt You (END)Where stories live. Discover now