Chapter 62 Malam Terakhir

7K 379 75
                                    

Catatan :

Ama : ayah

Ēr'niang : ibu, bacaan ē seperti pelafalan e pada kata ēmak

Qipao : baca Ch'i pao. Baju suku Machu

Malam berganti pagi dan hari-hari terlewati. tiada bintang menyinggapi bumi hari ini. Rembulan menyembunyikan parasnya juga. setiap kediaman menyalakan lampiom merah di depan gerbang masuk rumah, angin bertiup dan lampiom-lampiom bergoyang-goyang ringan namun api di dalamnya tak menunjukkan tanda-tanda akan padam.

Berbeda di dalam kediaman Gong A'la. Ruang makan bagai berada di pagi hari, setiap sudut ruangan dinyalakan lilin. Ruangan tersebut hanya berisi meja bundar berlapis taplak satin ungu. Beberapa jenis makanan seperti sup ayam gingseng, cha daun bawang, timun laut tumis kailan dan lainnya berjejer rapi membentuk lingkaran di atas meja. Tujuh orang duduk mengelilingi meja tersebut, mereka duduk di kursi bundar. Suara percakapan kecil terdengar di meja makan tersebut.

Huilan tersenyum, ia menjepit sepotong ayam kukus ke dalam mangkuk nasi Istri Gong'ala. Wanita bertubuh berisi tersebut tersenyum lantas menyendok timun laut ke mangkuk porselen polos milik Huilan.

"Terima kasih ibunda," ujar Huilan tersenyum manis.

Suara percakapan terjadi lagi. Sesekali Huilan membalas ucapan dan sisa waktu lainnya perempuan itu menunduk meneruskan makan malamnya. Dalam suasana ceria tersebut, satu-satunya manusia yang tidak bisa melebur ke dalam suasana ini hanyalah Hoshitai. Huilan melirik sekilas lelaki itu beberapa kali. Ia menemukan lelaki itu menunduk tak bersuara menikmati makan malamnya. Lelaki itu tak banyak berbicara, kalaupun diberi pertanyaan ataupun diajak bersenda gurau, Hoshitai menjawab seperlunya menggunakan anggukan ataupun kalimat singkat. Wajah lelaki itu datar dan dingin. Dia telah kembali ke sosok Hoshitai saat Huilan baru mengenalnya.

Hoshitai satu-satunya manusia di kediaman ini yang tak dapat Huilan dekati. Ia telah berusaha menyesuaikan diri pada lingkungan baru. Selama satu minggu ini usahanya terbukti tak sia-sia. Keluarga ini telah menganggapi kehendaknya, membalas jerih payahnya.

Huilan mendongak saat disadarinya seseorang meletakkan mangkuk nasi dan berdiri. Hoshitai menghadap ayahnya, lelaki itu membungkukkan tubuh secara sopan dan hormat.

"Ama, ananda mohon diri, hari ini ananda memiliki janji dengan ketua Shalibada dan komandan Se," ucapnya seraya mengangkat kedua tangannya membentuk tanda terkepal di depan dada.

Gong A'la mengangguk menyetujui, "Pergilah. Jangan biarkan mereka menunggu."

"Ananda mengerti, ama," Hoshitai sedikit menundukkan kepala sedikit dalam posisi semula kemudian berbalik pergi dari ruangan ini begitu cepat bak angin.

Huilan menunduk mengapik sawi terakhir dalam mangkuk ke mulutnya. Meskipun dirinya tak mengharapkan keramah tamahan Hoshitai, tetap saja Huilan tak nyaman menghadapi sikap Hoshitai dalam setiap pertemuan seperti saat ini. Bersikap seperti para pendemo yang menolak diperintah orang Manchuria.

Huilan merasa seperti lalat menyebalkan di sekitar lelaki itu atau mungkin Hoshitai juga menganggap demikian? Bagaimana pun dirinya pernah menolak lelaki itu dua kali, tak salah lelaki itu memperlakukan dirinya demikian. Lelaki itu akan menggunakan berbagai alasan meloloskan diri dari situasi pertemuan keluarga atau lebih tepatnya menghindari dirinya seperti saat ini.

Huilan mengeluarkan sapu tangan putih dari kaitan di kancing atasan qipaonya. Ia menyeka sisa minyak di sekitar bibirnya. Pelayan-pelayan kediaman ini mulai membereskan piring-piring dan mangkuk peralatan makan di atas meja makan. Gong A'la berdiri, ia menatap orang-orang yang berkumpul.

Cruel FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang