Bab 97 Mempermalukan Anak Sendiri

166 3 0
                                    

Setelah fix dengan gagasan yang telah di katakan oleh kedua karyawaku, ini adalah saatnya kami akan kembali ke bawah dan mereka akan pulang juga. Aku pun berjabat tangan sebagai apresiasi pada mereka, kami pun membangkitkan badan seraya berjalan ke luar dari lantai tiga. Dengan menuruni anak tangga, di sepanjang perjalanan kami berbincang pada mereka. Dan pagi ini aku akan mengantar mereka sampai depan rumah.

Walau pun aku sudah mengajak mereka untuk mengopi dulu, akan tetapi mereka malah menolak dengan alasan malam minggu. Malam yang panjang bagi mereka menghabiskan waktu dengan buah hati dan istri, itu adalah jawaban yang masih bisa aku maklumni. Tibalah kami di depan ruangan, satu sama lain kami masih berbincang di sini.

Dan tak berapa lama setelahnya, tibalah kami di depan teras dan berjejer bertiga. Kedua karyawanku menatap sebuah taman yang terlihat sangat rapi, karena belakangan ini sudah ada yang urus dan membersihkan. Yaitu Reno—anakku, sebagai tukang kebun rumah ini dan selalu membersihkan. Sebagai tanda kesadaran kalau tak selamanya hidup ini indah, dan sebagai teguran kalau hendak macam-macam padaku akan menerima akibatnya.

Itu sudah pasti, kami pun membahas perihal acara malam ini pada masing-masing dari mereka. Dimas dan Ferdi sangat memiliki tingkat kesetiaan pada istri mereka, walau bekerja dalam sebuah tekanan, akan tetapi tetap bisa memberikan waktu untuk bersama. Aku sangat salut pada mereka, sampai saat ini lebih bertahan padahal gaji dan kekayaan mereka lumayan banyak.

Tak berapa lama, Dimas menatap ke arahku, dia fokus ke samping kanan karena di sana ada Reno yang sedang memangkas pohon. Dengan menyentuh lengan ini, Dimas pun seperti hendak berkata padaku.

"Bos, kalau boleh tahu itu siapa yang jadi tukang kebun? Apakah beliau adalah pekerja baru, karena yang aku tahu kalau pengurus kebun si bos bukan dia?" tanya Dimas sangat penasaran.

"Oh, itu adalah mantan bos kamu ketika di divisi dua," jawabku tanpa menyaring lebih dulu ucapan ini.

"Ma-maksudnya, itu adalah bos Reno ya Bos?" tanya Dimas lagi.

Aku pun mengangguk, akan tetapi Dimas seperti tak percaya dengan apa yang sudah aku katakan. Sebagai orang yang selalu benar dalam berkata, lalu diri ini tetap membiarkan kedua karyawan paham akan siapa di balik topi hitam itu.

"Ta-tapi aku gak percaya kalau itu adalah bos Reno," titah Dimas lagi, dengan sangat semringah aku pun tersenyum juga.

"Kenapa kamu gak percaya Dimas ... kan kamu tahu kalau perinsip aku dalam mendidik anak, kan? Kalau dia tak mau lagi menurut dengan ayah nya, jangan harap bisa berbuat banyak di luar sana," jelasku.

"Apakah bos yakin kalau dengan seperti ini dapat membuat beliau akan berubah? Aku merasa, jatuhnya seperti bos gak memiliki tingkat sayang pada anak sendiri, pasti tetangga akan berkata demikian."

"Kalau hal itu udah aku pikirkan, bentar biar aku panggil dia ke sini, biar dia tahu malu kalau karyawan yang seperti kalian lebih berada di atas dia. Selama ini kan, dia adalah atasan kalian kan? Reno ... sini kamu, ada yang mau bertemu," teriakku.

Lalu sang pemilik nama pun memutar badan dan menurunkan gunting pangkas yang dia pegang, tak berapa lama akhirnya dia pun datang menemui aku. Tepat di hadapan kami, Reno tak mau membuka topi. Aku sudah menduga kalau dia pasti malu dengan apa yang sudah tampak di badannya. Seraya menatap lantai, dia tak mau berkata sama sekali.

"Ada yang bisa saya bantu bos?" tanya Reno berkata begitu melas.

"Saya mau kamu buka topi, kenapa ketika berkata tutupan terus. Karena di sini gak panas, silakan buka topi kamu itu!" kataku sedikit memekik.

"Ba-baik, Bos," titahnya terbata-bata.

Lalu, Reno membuka topi yang dia pakai. Kemudian Dimas pun terkejut setelah tahu ternyata sang pemangkas taman adalah bos yang sangat dia kenal. Namun, aku malah senang kalau dia di hadapkan dengan para karyawannya. Agar suatu saat nanti, akan merasa malu kalau jabatan itu tak selamanya ada dalam diri ini.

"Bos, apakah ini adalah kau bos?" tanya Dimas, dia berjalan mendekat.

Reno mengangguk, dia pun menjawab, "iya, ini adalah aku. Apa kabar kamu pak Dimas, dan pak Ferdi. Sekarang saya lebih rendah profesinya, jadi kalian bisa menyuruh apa pun pada saya."

"Eng-enggak Bos, kamu adalah orang yang selalu aku kenang sebagai pimpinan. Kapan kamu akan kembali lagi di perusahaan Bos, kami sunyi tanpa adanya Bos Reno di sana," papar Dimas sangat melas.

"Dia gak bakal kembali, karena dia harus membayar 3 M untuk dapat kembali. Itu adalah utang yang harus dia bayar pada perusahaan, karena sudah menghabiskan uang gaji kalian beberapa bulan," jelasku membuat Reno menatap lantai.

Dimas dan Ferdi pun merunduk takut, kemudian keduanya pun menatap aku dan sepertinya akan pamit pulang. Sementara Reno masih terdiam, dan menatap lantai tanpa berani pergi dari hadapan aku.

"Bos, kalau begitu kami pamit pulang dulu ya, selamat siang dan assalammualaikum ...," ucap Ferdi.

"Wa-alaikumsallam .... Hati hati kalian di jalam ya," jawabku merespons.

"Ba-baik, Bos," ketus Dimas.

Keduanya pun pulang dengan meninggalkan aku dengan sangat cepat. Lalu, Reno menatap mantap ke wajah ini beberapa saat setelah kepergian Dimas dan Ferdi. Aku berkacak pinggang, dan tersenyum kecil padanya. Tak berapa lama, Reno memakai kembali topinya yang sejak awal dia pegang.

"Udah puas papa permalukan aku di hadapan mereka?" tanya Reno dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Kamu kenapa Reno, ayolah ... nikmati saja permainan ini. Kan, ini adalah hal yang kamu mau kan? Kenapa malah bersedih, harusnya kamu bahagia setelah aku terima di sini, kamu gak jualan keliling lagi. Susah loh, kerja di rumah konglomerat seperti aku, makan enak tiap hari, dapat uang lagi, wah ...."

"Cukup pah, cukup! Aku juga manusia, aku adalah anak kamu. Kalau memang kau tidak mau anggap aku anak lagi, gak masalah. Mulai saat ini hubungan darah di antara kita putus," ancam Reno dengan nada suara sangat membentak.

Kali ini aku terdiam, kemudian Reno meninggalkan aku dan dia kembali lagi memangkas rumput. Dalam posisi bergeming, kali ini ada sebuah kenyataan yang aku alami. Bahwa bagaimana pun juga, Reno adalah tetap anakku. Sekali pun dia telah bersalah, dan terelepas dari itu semua, dia masih darah dan dagingku. Sebagai seorang ayah aku sudah merasa keterlaluan sekarang.

Ya, ini adalah hal yang sudah terlewat batas, namun sebagai orang yang pernah di kecewakan, belum seberapa sakit hati ini. Aku pun masuk ke dalam rumah, di sepanjang perjalanan kedua tangan ini memegang kepala, aku pusing dan kedua mata berkaca-kaca.

Tujuanku hanya satu, semoga saja dia bisa berubah dan menjadi lelaki yang bertanggung jawab, serta dapat kembali menjadi pimpinan sebagaimana yang telah aku katakan dulu, dan aku pun duduk di atas dipan bersama cucu pertamaku. Dia menangis, mengikuti aku yang sedang bersedih.

"Cup cup cup ... anak kakek kenapa sayang? Kok, kamu menangis sayang?" tanyaku pada Pratama.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now