Bab 94 Ayah Mertuaku Ganas

731 6 0
                                    

"Maaf, Mas. Aku udah gak mau lagi kembali sama kamu, karena semua yang sudah kamu lakukan ketika itu, sudah membuat aku merasa hancur. Bukan diri ini saja yang telah kau sakiti, tetapi seorang wanita di ujung ruangan sana." Kemudian aku menunjuk seorang wanita korban dari keganasan mas Reno, dia adalah Lastri—mantan ART dalam rumah tangga kami. "Mas masih ingat dengan dia. Ya, dia adalah wanita yang saat itu jadi pembantu kita. Dia hamil anak kamu, Mas, aku tahu kalau kalian berselingkuh."

Seketika percakapan ini hening, Mas Reno tak dapat berkata apa pun dan dia hanya terdiam seribu bahasa. Aku hanya berkata sesuai dengan fakta yang ada, tanpa menambah atau melebih lebih kan. Ini adalah kenyataan, kalau pun akhirnya mas Reno menolak akan hal itu, bukan urusan aku lagi. Sebagai wanita yang masih punya pikiran panjang, aku akan menolak apa pun dia katakan.

Beberapa menit setelahnya, mas Reno memekik dan tak berani menatap Lastri. Ya, dia sudah pasti ingat akan dosa-dosanya di masa lalu. Sekarang yang tertawa bisa tertawa, di persilakan dalam hal ini. Kalau pun ada yang hendak menangis, di persilakan juga tanpa ada larangan. Kemudian ayah menatap mas Reno, dia kesal dan tak mau lagi berkata apa pun.

"Sebagai laki-laki, di mana letak harga dirimu Reno. Setelah sekretarismu kau hamili, fakta baru lagi datang, mamang kau kelas pembantu, bukan untuk anak saya. Kali ini aku gak akan bisa memberikan izin, kami menolak keras kalau kau kembali lagi pada Julia," pungkas ayah, ucapan pedas dia katakan kali ini.

Mendengar itu aku sudah merasa sangat puas, karena dengan sendirinya aib itu terbuka tanpa ada pembalasan dendam. Orang yang teraniaya, akan di dengar segala doanya. Hanya saja, tidak secara spontan, akan tetapi butuh waktu dan proses, biar Allah yang jawab kita sebagai hamba hanya bisa bersabar aja. Ayah mertua yang kala itu diam, kemudian dia menarik napas panjang.

Mas Reno menoleh ayahnya, dan kemudian dia pun menarik napas panjang. Dalam hal ini, terlibat sebuah kejadian yang tak biasa, kalau ayah mertua pun melirik ke arahku dengan penuh isyarat. Seperti ada kata-kata yang dia hendak ucap, akan tetapi tidak dia katakan sekarang. Dalam hati ini berkata, kalau pun ayah mertua adalah orang baik, aku mau bekerja di rumahnya, apalagi sekarang dia tinggal sendirian, otomatis tidak ada yang mengurusnya.

Seraya diam di posisi sangat elegan, kemudian ayah mertua pun turut berkata dalam pembicaraan ini. Dia seperti sangat serius, aku memikirkan kebaikan yang pernah di berikan sebelum kami pisah bersama mas Reno, itu adalah gambaran nyata kalau orang baik bisa berubah jadi jahat, dan begitu pun sebaliknya.

"Julia, ayah mau ajak kamu ke luar malam ini. Dan, itu pun kalau kau bersedia, karena ada yang mau saya katakan sama kamu," papar sang ayah mertua.

Aku menarik napas panjang, kemudian menoleh ke wajah ayah. "Gimana, ya, Pah, aku harus mengurus ayah di rumah. Gak mungkin kalau ayah aku tinggal sendirian," kataku menjawab ucapan tersebut.

"Kalau kamu izinkan, malam ini ajak aja ayah kamu. Biar naik di mobil saya, gak masalah Julia. Karena apa, akan ada hal penting agar kamu bisa tahu yang selama ini belum kamu ketahui," pungkas papah lagi.

Lalu dari wajah ayah, dia seperti menyetujui. Mau tak mau aku pun mengangguk dan mengiyakan kalau akan pergi bersamanya, sebagai seorang wanita yang pernah di bantu olehnya dalam membuka kedok mas Reno, apa salahnya kalau ikut hanya karena malam ini saja.

"Baiklah, kalau begitu aku akan jemput kamu habis salat isya, siap-siap aja di rumah. Dan sekarang kami mau pamit, takutnya akan mengganguu kamu lagi," ujar papa mertua lagi.

"Baik, Pah, kalau begitu hati-hati di jalan. Dan kirim salam sama itu, cuci papa yang di gendong," kataku lagi, kemudian papa mertua pun mengangguk.

"Kami pergi dulu. Assalammualaikum ...," ucap mereka berdua.

"Wa-alaikumsallam ...," jawab kami berdua.

Seraya mengantar mereka ke ambang pintu, kemudian kami pun mematap kepergian mobil itu. Entah kenapa, aku seperti merasa sebuah kenyamanan ketika berkata dengan papa mertua. Dia sangat baik, dan perhatian belakangan ini. Namun, karena aku tak mau di anggap murahan, tetap menolak kalau dia hendak mengajak pergi.

Kami memasuki rumah lagi bersama ayah, lalu kami bergerak ke dapur dan perasaan ini menjadi lega. Beban pikiran telah tersalurkan, dengan bantuan ayah yang berani berkata demikian pada mas Reno, aku berterima kasih pada ayah agar orang itu tak datang lagi ke sini lalu memohon perasaan lagi.

Mengemis perasaan yang sebenarnya aku tak miliki saat ini, bahkan aku selalu berkata dalam hati, kalau dapat jodoh lagi, dia adalah lelaki yang memiliki umur di atas aku, dan tidak lagi memikirkan yang namanya menikah lagi. Namun, aku adalah wanita dengan vonis mandul, tidak mungkin ada yang bisa menerima kekurangan ini.

Seraya mempersiapkan makan siang, kami pun mendudukkan badan seraya saling tukar tatap. Dan kali ini ayah menatap mantap ke arahku, lalu dia tersenyum seperti bahagia, aku menoleh ke samping kanan, dan kali ini sikap ayah begitu aneh.

"Ayah kenapa malah tersenyum padaku, Yah?" tanyaku dengan nada suara begitu penasaran.

"Gak ada Julia, ayah merasa kalau kamu sedang senang hari ini. Apah tebakan ayah salah?" tanyanya dengan begitu kepo.

"Ah, enggak kok, mungkin ayah kali yang salah lihat. Udah ah, jangan bahas yang aneh-aneh," jawabku begitu malu.

"Ayah tahu kalau kamu punya perasaan sama Pak Adiwijaya, kan. Dari tadi ayah perhatikan, kalau kalian sering tukar tatap. Apakah ayah salah dalam hal ini?" tanya ayah lagi.

Aku terdiam, karena memang tak tahu hendak berkata apa. Semua pertanyaan ayah, justru membuat aku semakin malu dalam mengakui perasaan yang belum jelas ini. Sehingga tak ada lagi perkataan yang bisa aku katakan, apalagi sampai membuat jawaban yang membenarkan kalau perasaan ini benar adanya.

"Kalau kamu nyaman sama Pak Adiwijaya, ayah dukung aja sih. Gak malasah kalau dia adalah mantan mertua kamu, yang penting orangnya sayang dan bisa jaga kamu dalam keadaan apa pun," papar si ayah lagi, membuat aku bertambah malu.

"Udah, ah, jangan bahas dia, aku jadi malu ini ayah ...," harapku.

Kami pun tertawa kekeh, walau pun dalam hati ini berkata kalau yang di katakan ayah ada benarnya. Jika sudah membahas nama papa adiwijaya, aku merasa sangat malu. Apalagi kalau malam ini dia hendak mengajak jalan-jalan, dan aku pun tak tahu dengan apa yang menjadi pembicaraan dia malam nanti.

Dalam hati berkata, kalau memang dia adalah lelaki yang benar serius padaku, kemungkinan akan ada jawaban terbaik setelahnya. Aku pun berharap, siapa pun jodohku dia adalah orang yang bisa menerima semua kekurangan yang aku miliki saat ini, tak pernah membuka masa lalu, dan dapat membangun rumah tangga yang baik.

'Tuhan ... aku lalah kalau harus sakit hati. Selamatkan aku dari berbagai rasa dilema dalam diri,' kataku dalam hati.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now