Bab 71 Mas Deni Ng4ceng

498 4 0
                                    

Setelah bercengkerama dengan sang ayah, sekarang aku akan ke kamar mandi dan segera membersihkan badan. Karena sebentar lagi Mas Deni akan datang ke rumah, entah apa yang hendak dia lakukan. Mengajak aku jalan-jalan ke luar dan ini adalah kali pertama ada lelaki yang menghampiriku di rumah. Padahal aku tidak pernah mau sebelumnya, karena masih trauma jika ada lelaki yang datang menemui.

Namun, karena dia adalah seorang pemilik kafe tempat di mana aku bekerja, apa salahnya jika kami pergi sebentar saja. Dalam hal ini aku tidak begitu penuh harap kalau pun dia mengajak ada maksud tertentu, karena sekarang aku hanya fokus pada duniaku mencari uang untuk menghidupi ayah dan masa depan. Tanpa seorang lelaki ternyata aku bisa melakukan semuanya sendirian.

Dengan memasuki kamar mandi, aku pun membasuh badan dengan sangat bersih. Sisa-sisa dari flek hitam dan debu yang menempel pun sudah terangkat, mungkin dengan berpenampilan yang sederhana dan sewajarnya aku akan bisa membuat orang lain merasa nyaman. Tidak bau, dan tak mau terlalu menor pastinya. Sebagai seorang wanita aku tidak pernah dianggap istimewa atau di istimewakan oleh siapa pun.

Termasuk mantan suami yang sekarang sidah bahagia dengan istri barunya. Kalau pun aku harus berpisah, mungkin ini sudah jalannya. Berkali-kali aku menolak akan perceraian, akan tetapi tetap saja kandas di tengah jalan. Aku bisa apa, semua ini adalah kehendak sang suami. Dari pada terjadi zina di luar sana, lebih baik aku merelakan suamiku untuk sahabatku sendiri.

Mungkin dengan wanita itu sang suami dapat menjadi lelaki yang lebih baik lagi, dan dia dapat membawa wanitanya ke jalan terbaik. Aku berharap seperti itu, jangan sampai ada yang tersakiti lagi setelah aku, cukup aku saja yang mengalami ini semua. Setelah beberapa menit di dalam kamar mandi, akhirnya aku pun bergerak ke dalam kamar lantai dua.

Mungkin akan memakai baju yang sangat sederhana, karena aku tak punya pakaian mewah seperti gaun. Ada pun gaun merah yang di belikan oleh mantan mertua, cukup menjadi bahan kenangan saja dan tak dapat aku pakai lagi sampai kapan pun. Keluarga Adiwijaya telah aku kubur dalam-dalam, agar tak terangkat lagi ke permukaan.

Itu adalah janjiku, dan tidak lagi bisa memberikan kesempatan kedua pada mereka yang sudah merendahkan aku di awal, kemudian menghancurkan aku di akhirnya. Permainan yang sangat mulus, aku menghargai itu dan mereka adalah pelakon palinh baik sepanjang sejarah. Setelah memakai baju, kemudian aku pun menuju meja rias dan segera memakai bedan seadanya.

Tipis-tipis saja, kemudian di atas meja rias ponselku berdering. Notifikasi chat yang datang dari para sahabat di kafe, mereka bertanya sedang apa di dalam grup kami. Pejuang dari kafe bintang namanya, itu adalah grup yang di buat untuk kami para karyawan berkeluh kesah, bahkan ada yang curhat. Aku bahagia memiliki sahabat seperti Tina dan Sinta, karena mereka sangat mampu membuat aku nyaman dan sangat dianggap baik.

Akhirnya ada yang menerima aku walau pun sekarang statusku tak lagi gadis seperti mereka. Keduanya sama-sama menganggap aku sahabat, sekaligus kakak bagi mereka. Sekarang sudah selesai berdandan, dan saatnya aku menunggu di luar ruang tamu. Karena menurut arlojic sudah menunjukkan waktu kedatangan Mas Deni.

Setibanya di ruang tamu, aku duduk dan membalas kedua sahabatku yang sedang malam mingguan. Suara ketukan pintu lun terdengar dari arah luar, aku berjalan dan langsung menemui.

Tok-tok-tok!

"Assalammualikum ...," ucap seseorang dari luar, dari nada suaranya seperti laki-laki.

Secara spontan aku membuka pintu itu, dan apa yang aku lihat sangat benar kalau di sana ada Mas Deni yang datang tepat waktu.

"Eh, kamu udah datang, Mas? Silakan masuk kalau gitu," ajakku.

"Gak usahlah, Julia. Kita pergi sekarang aja, karena takut kemalaman di jalan," titahnya, kali ini membuat aku mengangguk tanpa ucap.

Dengan menutup pintu rumah rapat-rapat, kami pun bergerak ke arah mobil warna silver yang terparkir di depan teras. Kemudian kami berjalan menuju ke dalam kendaraan dan menutup pintu sangat rapat, tak lama setelahnya mobil pun bergerak meninggalkan depan halaman rumah.

Di sepanjang perjalanan, Mas Deni tersenyum dan dia melirik ke arahku berkali-kali. Seperti ada yang salah dalam penampilan ini, kemudian aku menoleh ke arahnya yang sekarang terlihat sangat tampan. Berbeda ketika aku ada di dalam kafe, ternyata dia bisa lebih ganteng lagi dengan kemeja yang sangat ngepas di badan. Bentuk tubuhnya sangat macho dan lelaki perkasa, kulitnya putih dan bersih.

"Kamu kenapa tersenyum terus, Mas? Apa yang salah daru penampilan aku?" tanyaku bertubi-tubi.

"Eng-enggak ada, kamu cantik banget malam ini. Aku sampai pangling loh, ternyata kamu bisa dandan juga," jawabnya sambil cengengesan.

"Ah, kamu bisa aja. Ya, aku bisa dandan tapi sederhana. Kalau yang lebih dari ini gak bisa, lagian kamu tahu sendiri aku cuma tukang masak, mau dandan ya malu," titahku menjelaskan.

"Gak apa-apa yang penting halal, Julia. Oh, ya, gak masalah kan kalau aku panggil nama. Soalnya, kalau panggil Mbak gak kelihatan akrabnya," jelas Mas Deni.

Kemudian aku mengangguk tanpa membalas ucapannya, dia pun menyalakan tip dengan lagu-lagu masa kini. Aku tak tahu bahasa Korea, ternyata Mas Deni suka dengan lagu-lagu tersebut.

"Mas, emangnya kita mau ke mana, sih? Kok, mendadak gini malam minggu, emangnya gak ngajak pacarnya jalan-jalan?" tanyaku sangat kepo.

"He he he ... entar kamu juga tahu aku mau ke mana. Tapi kamu harus mau, ya, bantuin aku di sana. Karena aku mau milih sesuatu," katanya menjelaskan.

Dengan anggukan, kemudian kami meluncur dengan sangat cepat. Di sepanjang jalan, aku hanya menoleh ke samping kiri, melihat malam yang indah di jalanan ibu kota. Ini adalah kali pertama ada lelaki yang mengajak aku ke sini, apalagi kalau usia kami beda jauh, sekitar lima tahun kurang lebih.

Aku sangat tua di bandingkan Mas Deni, akan tetapi kalau dia menjadi suami aku juga tidak terlalu janggal. Namun, itu hanya sia-sia, karena pacar Mas Deni sangat cantik di dalam kamar ketika aku temukan fotonya berserakan di lantai. Wajahnya pun mirip artis Korea, bahkan aku sempat menyangka kalau dia hanya menjadikan aku bahan untuk menyemangat saja malam ini.

Setibanya di depan sebuah toko bunga, kami pun berhenti, dan Mas Deni ke luar dari dalam mobil. "Kamu tunggu di sini, ya, karena aku mau beli bunga dulu di sana," katanya sambil menunjuk toko itu.

"I-iya, Mas, hati-hati kalau nyeberang," jawabku.

Lelaki itu pergi begitu saja, dan kemudian tibalah dia di dalam toko dan masuk ke dalam tempat banyaknya bunga mawar dan lain sebagainya. Dengan menunggu sedikit lama, akhirnya dia datang lagi menuju saat ini. Ya, sambil memeluk bunga yang warnanya sangat menawan. Merah muda, aku sangat suka dengan warna itu.

Dia masuk ke dalam mobil, kemudian mencium bunga tersebut dengan sangat bersemangat. Lalu, diri ini merasa sangat aneh dan tersenyum melihat apa yang di lakukan oleh Mas Deni, orang yang selama ini sangat pendiam ternyata romantis pada pacarnya, sampai-sampai membelikan bunga segala.

Aku saja tak pernah mendapatkan itu dari Mas Reno—mantan suamiku selama menikah tiga tahun. Lalu, Mas Deni malah menyodorkan bunga tersebut di hadapanku. Mata ini tercengang, dan tidak tahu hendak berbuat apa.

"Nih, bunga buat kamu," katanya, saking merasa anehnya aku sampai mendelik dan menoleh ke wajah lelaki tampan di samping kiri.

"I-ini, ini bunga siapa, mas? Kok, malah mamu berikan ke aku?" tanyaku sangat penasaran, jantung inu berdecak sangat kencang, apalagi kala dia menyibak rambutku yang terurai samping telinga.

Kemudian, Mas Deni pun memegang tanganku, agar dia dapat memastikan bunga ini aku pegang. "Ini adalah bunga yang cantik, dan untuk wanita cantik juga. Kamu pantas mendapatkan bunga ini, perempuan berhati tulus seperti kamu layak mendapatkanya."

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now