Bab 60 Main Dengan Janda Pirang

547 3 0
                                    

"Udahlah, Mas, aku gak mau berdebat lagi sama kamu. Sekarang mendingan kamu bantuin aku beresin kamar, ini udah berantakan banget," pekik sang istri.

Masih dalam suasana pagi, dia sudah membuat aku merasa kesal. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama sejak kami menikah sang istri berkata demikian. Mengungkit akan pendapatan, dan mengungkit jatah belanja. Padahal sebelum menikah, uangku sudah di makannya dalam waktu sekejap. Ratusan juta sudah aku berikan, bahkan uang Julia juga dia yang makan.

Rumah tangga yang tidak terasa nyaman, lama-lama membuat aku merasa sangat malas kalau terus-terusan berada di sini. Hanya karena Sri sedang mengandung anakku, hanya itu yang dapat menahan diri ini agar tetap tinggal. Kalau pun tidak, aku sudah tidak betah menunggunya. Sifat Sri terbuka ketika kami sudah menikah, dan aku sudah berpisah dari Julia.

Awalnya dia sangat manis dalam berkata, bahkan sampai menentang ibunya kalau ikut campur dalam hubungan kami. Namun, sekarang berbeda jauh. Malah Sri lebih patuh dan tidak mau menentang ibunya yang sengaja memperbudak aku dalam rumah ini. Beberapa menit setelahnya, aku pun menarik semua selimut dan akan mencucinya.

Terasa sudah bau keringat, dan tak pernah di cuci sejak kami menikah dan tinggal dalam satu kamar. Dalam hal ini, aku akan menyuruh Sri untuk membawanya ke kamar mandi, karena diri ini masih sibuk pada kantong plastik yang berserakan di bawah dipan. Pasalnya, bungkus makanan bekas sang istri tampak berserakan di mana-mana. Dalam satu hari, dia dapat menghabiskan makanan ringan sampai ratusan rupiah.

Aku pun tidak pernah makan sebanyak itu, padahal ketika pacaran dia adalah wanita yang sangat malu dan untuk mengunyah makanan pun sangat lambat. Akan tetapi sekarang, dia mengeluarkan yang ada dalam dirinya. Termasuk gaya makan yang tak ada etika, sebagai seorang wanita dia tak memiliki tata kerama ketika makan. Ketika aku menasihatinya, dia malah marah-marah gak jelas. Entauh bagaimana caranya mengatakan hal yang positif dan lembut padanya.

"Sayang, tolong bawa selimut ini ke kamar mandi, aku mau bersihkan semua bungkus makanan kamu dulu," ucapku sambil mengambil sapi ijuk.

"Mas, aku lagi capek. Badan aku gak bisa bergerak lagi, kamu aja deh yang bawa selimut ini ke kamar mandi," tolaknya.

"Sayang ... kamu itu harusnya banyak gerak, jangan tiduran aja di kamar. Gak baik, enggak sehat. Sekalian olahraga biar bayinya sehat sayang," imbuhku lagi.

"Kamu jangan ngatur-ngatur aku, Mas. Kalau udah di bilang capek, ya, capek, kamu gak paham bahasa Indomesia atau gimana. Katanya anak kuliahan, bahasa aja gak ngerti sama sekali," pekiknya mengomel.

'Oh, jadi gini cara kamu Sri. Okelah, aku ikuti permainan kamu sekarang. Tapi ingat, apa yang akan aku lakukan buat kamu selepas ini,' ucapku dalam hati.

Tak berapa lama, seseorang pun masuk dari pintu kamar. Dia adalah sang mertua yang turut datang kalau kami sedang cek-cok sedikit. Dia pun mendelik, padahal aku sudah melakukan apa yang dia inginkan. Lalu, mertua pun mengambil sapu ijuk di sampingku.

"Kalau nyapu yang bersih, Reno. Kamu ini gimana, sih, kelihatan banget kalau gak ikhlas. Tadi aku dengar kalian cek-cok, kenapa lagi sama kamu Sri?" tanya samg mertua berambut pendek itu.

"Ini, Bu, Mas Reno malah nyuruh aku ngangkat selimut ke kamar mandi. Apa susahnya, sih, kalau hanya ngangkat selimut doang." Kali ini, Sri mengkambing hitamkan aku pada ibunya.

Tanpa mampu berkayta sedikit pun, aku hanya diam. Ini adalah jalan hidupku dalam berumah tangga, dan sekaligus pilihan. Aku yang berharap setelah cerai dari Julia akan masuk ke dalam lembah keindahan, malah semakin membuat diri ini tersiksa. Dan tak ada yang bisa aku katakan, selain hanya diam sambil melakukan apa yang sudah di perintahkan.

Kemudian aku pun berjalan ke luar kamar, sembari membawa satu karung sampah. Lalu, diri ini menuju ke tong sampah di belakang rumah dan membakarnya sebelum menumpuk banyak. Asap dari bakaran banyak sekali, karena bercampur pada kantong kresek yang masih basah. Sambil bersenandung riang, aku pun tidak peduli mertua berkata apa pada diri ini.

Yang aku tahu, kalau sekarang aku sudah tidak lagi mau mengambil pusing dengan semuanya. Apalagi kalau di samping rumah depan dan belakang ada janda pirang, mereka sangat menggodaku dan suka sekali memerhatikan. Tiap kali aku ke luar rumah, semua melirik dan kadang main mata. Beberapa menit setelahnya, datang seorang janda dari depan.

Dia pun membawa sebuah keranjang sampah dan menuju ke arahku saat ini. Kami saling berdekatan, satu sama lain dan akhirnya kami saling tukar tatap.

"Hallo ... lagi bakar sampah, Mas?" tanya janda pirang itu.

"Iya, nih, kamu lagi ngapain di sini?" tanyaku balik.

"Ya, biasalah, Mas. Aku lagi buang sampah," katanya sambil membuang semua sampah.

"Oh ... emang enggak kotor tangannya. Kalau kamu izinkan, biar Mas aja yang bakar sampahnya di sini," kataku lagi.

"Gak usahlah, aku gak mau kalau Sri tahu. Kan, dia itu perempuan yang menakutkan di sini. Kami aja gak ada yang betah bersahabat sama dia," paparnya menjelaskan.

"Benarkah, apakah Sri adalah perempuan yang seperti itu? Setahu aku, kalau dia adalah perempuan yang baik hati, dan kalau bicata juga sopan, Dek," jelasku membela sang istri.

"Kamu hanya beberapa hari menikah sama dia, kalau kamu udah gak punya uang, kena usir sama seperti laki-laki yang pernah menikahinya dulu. Sri itu, udah beberapa kali janda, emang kamu gak bisa bedakan kalau dia udah gak PW lagi mas?"

"Hmm ... aku gak tahu, sih, karena rasanya masih enak banget," paparku menjelaskan.

"Dasar laki-laki, kalau udah di jepit pasti bilangnya enak terus. Sampai-sampai gak tahu kalau yang menjepit masih original atau udah KW." Tak berapa lama, Mbak Vera pun memasuki perkarangan. "Mas, aku mau masuk dulu. Kalau ada waktu, kamu boleh main ke rumah," imbuhnya.

"I-iya, Dek, entar kalau ada waktu senggang Mas akan main di rumah," titahku lagi.

Dari arah pintu, seseorang pun datang lagi. "Reno ... kamu ngapain aja di situ, di kamar mandi masih banyak cucian. Kamu mau jam berapa lagi nyuci, entar gak kering pakaian."

"I-iya, Bu ...," teriakku sambil berlari memasuki rumah.

Dengan cepat aku menuju kamar mandi, dan mengambil pakaian yang sangat banyak itu. Kemudian diri ini memasukkannya ke dalam mesin cuci, dan ternyata mesin cuci rusak kembali. Padahal baru saja aku perbaiki kemarin, sekarang sudah harus mencuci pakai tangan lagi.

Tak berapa lama, sang mertua pun datang menemui. Dia meletakkan lagi pakaian di dalam bak mandi, dan kami pun saling tukar tatap.

"Kenapa kamu hanya diam aja, Ren?" tanyanya sangat membuat aku kesal.

"Ini, Bu, mesin cucinya rusak lagi. Jadi aku gak bisa nyuci pakaian kalau gini," jelasku, kemudian si mama mertua pun memeriksa.

Karena dia pun tahu kalau mesin cuci itu rusak, lalu dia menjawab, "ya, sudah kalau mesinnya rusak kamu pakai tangan aja. Kan, kamu masih punya tangan kan?" tanyanya sangat membuat aku ingin teriak.

"Bentar, Bu, biar aku telepon dulu yang biasa memperbaiki mesin cuci," jawabku sambil mengambil ponsel.

"Udahalh Reno ... kamh gak perlu hubungi lagi tukang mesin cuci, mau kapan lagi kamu mencuci ini pakaian. Bentar lagi kalau hujan, pakaian semua kotor. Sekarang rendam pakai deterjen, biar aku yang masak untuk sarapan pagi," katanya lagi.

Tanpa menjawab, aku mengangguk bagai kacung dalam rumah ini. Ingin marah, aku tak mampu karena kami masih menumpang lada rumah mama. Apalagi sekarang aku tak punya uang sama sekali, mau makan apa kalau kami kalau menyewa di luar. Sementara aku sudah tak sanggup lagi dalam kehidupan seperti ini.

Ayah kandungku pun tak pernah menghukum aku seperti ini, dia selalu menberikan palinh tidak 10 pelayan cantik untuk mengurus aku dari kecil sampai dewasa. Namun, sekarang aku sudah tidak bisa lagi bertemu dengannya, setelah apa yang terjadi di antara kami.

'Ayah ... aku rindu padamu, kalau kau lihat aku seperti ini, aku dapat pastikan kalau kau tak akan terima dengan semunya,' kataku dalam hati.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now