Bab 82 Sang Pe-Zina

279 0 0
                                    

Akhirnya papa dapat menerima aku di sini, meskipun harus dengan adanya sebuah penghinaan darinya, aku tetap saja percaya kalau papa adalah orang yang baik. Dengan perhatiannya padaku, seolah membuat diri ini menjadi percaya diri kalau dia benar-benar penyayang. Namun, selama ini aku memandang dia sebagai orang jahat dan kejam, sehingga mata hati ini tertutup dengan segala kebaikan seseorang.

Bahkan papa telah menjatuhkan aku dari semua perusahaan yang dia punya, memblockir ATM dan kartu kredit, mungkin dia kesal dan tak mau melihat aku terlalu bertumpu padanya. Sekarang ucapan maaf telah aku utarakan padanya, meskipun dia tak menanggapi dengan serius, tetapi sudah mau menggendong anakku bernama—Pratama.

Bahkan papa juga mau mengajaknya naik ke lantai dua, itu sudah lebih dari cukup untuk aku saat ini. Sebagai seorang ayah, aku pun merasa kasihan pada Julia yang telah di tinggalkan tanpa kesalahan. Aku sudah egois dan terobsesi dengan dunia sendiri, sampai-sampai jeritan hati seorang istri tak pernah aku dengar sama sekali. Di dalam kamar mandi, yang pernah membesarkan aku ketika beberapa puluh tahun lalu.

Di sinilah aku besar, dan belajar dengan papa. Tanpa kasih sayang seorang mama, aku terlahir dengan papa sebagai kepala keluarga yang merangkap menjadi seorang ibu rumah tangga. Walau pun dia sibuk, akan tetapi tetap mau menjadikan anaknya seorang yang berguna. Papa juga menguliahkan aku sampai Amerika Serikat, dan kebanggan telah lulus di sana malah membuat aku hidup menjadi gembel.

Ingin rasanya memutar waktu lagi, bisa bersama Julia dan hidup bahagia. Namun, sepertinya tidak mungkin terjadi. Papa tidak akan membiarkan aku menyakiti perempuan yang sama, apalagi dia adalah orang yang sangat penyayang. Sekarang aku hanya bisa berkhayal dan tidak bisa menjawab semua yang terjadi. Ini adalah diriku, berjuta pertanyaan datang dari dalam isi kepala ini.

Setelah selesai mandi, kemudian aku berjalan menuju ke luar ruangan. Dengan langkah lebar, kali ini tibalah aku di sebuah lantai dua penghubung ke ruangan papa. Karena penasaran akan apa yang di lakukan oleh ayah, lalu aku memberanikan diri untuk menaiki anak tangga itu. Ya, hanya sekadar melihat mereka sedang apa. Sekarang tibalah aku di ambang pintu kamar papa, sepertinya dia tak mengunci dan terbuka sedikit.

Ternyata ada suara yang datang dari sana, aku membuka pintu kamar dan menatap papa sedang bersenandung sambil menggendong anakku. Kali ini jujur saja air mataku terjatuh, melihat papa yang begitu baik dengan seorang bayi. Bahkan dia mampu menbuat nyaman Pratama, sampai terlelap seperti itu. Aku memalingkan wajah menuju ke langit-langit rumah.

'Pratama ... maafkan Ayah yang gak bisa membuat kamu nyaman dan bahagia. Kamu adalah anak yang cocok tinggal sama kakek, dia punya segalanya. Kalau ayah memutuskan, kita jangan bertemu lagi. Semoga saja kita bisa bertemu suatu saat nanti,' kataku dalam hati.

Lalu, aku pun menoleh lagi ke ruangan itu. Terlihat sangat jelas, kalau papa sedang mendudukkan badan di atas kursi santai. Sambil menggendong anakku, mereka tampak sedang tidur berdua. Sosok seorang papa dalam diriku sangat besar, karena dia mampu membuat tenang anak kecil, bahkan anak itu adalah hasil dari perselingkuhanku dengan Sri.

Tanpa banyak tanya, dan dia tak perlu panjang kali lebar, untuk dapat membuat nyaman Pratama. Seraya berjalan memasuki kamar, aku berhenti di depan pintu. Kemungkinan aku tidak akan mengganggu mereka, dan biar saja Pratama merasakan aroma papa yang sama seperti ayah sendiri. Sekarang aku ke luar dari kamar, menuju lantai satu lagi dan bergerak dengan cepat.

Di dalam dapur sudah ada Bi Ira dan Bi inem, mereka melirik ke arahku, yang sekarang duduk sambil mengunyah kerupuk kering di dalam toples. Lalu, mereka menemui aku saat ini dengan tatapan kosong setengah melamun.

"Tuan, kenapa diam aja?" tanya Ni Ira.

"Eh, i-iya, Bi. Maaf kalau aku hanya diam, kareka gak tahu mau ngomong apa," jelasku dalam menjawab.

"Hmm ... Tuan mau makan apa sekarang? Biar aku masakkan apa pun yang Tuan mau," jelas Bi Ira lagi.

Sementara Bi inem hanya sekadar mendengar dan mengangguk saja. Dia pun mengelap tangannya dengan kain, mendengarkan kami berkata.

"Aku gak lapar sekarang, Bi. Karena ... aku udah biasa gak makan di jalanan. Kan, aku sekarang berdagang along-along demi memenuhi hidup ini," jelasku panjang kali lebar.

"Kalau boleh tahu, istri baru Tuan di mana? Kok, Pratama bisa sama Tuan ke sini? Emangnya dia gak marah atau gak nyariin anaknya?" tanya Bi Ira bertubi-tubi.

"Aku bawa Pratama pergi dari rumah, Bi. Karena aku gak mau anak aku jadi saksi perselingkuhan Sri dengan banyak pria di rumahnya," paparku menjelaskan.

"Astaghfirullah ... kok, Bu Sri seperti itu ya? Yang sabar Tuan, ini adalah cobaan buat Tuan, serahkan aja pada Tuhan, semua ini pasti ada karmanya," jawab Bi Inem.

"Iya bener, Tuan," sergah Bi Ira.

"Ini adalah karma dari aku yang meninggalkan Julia, Bi. Padahal dia gak ada salah, sekarang berbalik padaku yang mengalami ini semua," jelasku lagi, percakapan pun diam.

Aku tak dapat berkata panjang lagi, karena memang semuanya sangat sukar di katakan. Sekarang mereka tahu siapa Sri sebenarnya, dan pilihan salah telah aku tentukan. Meninggalkan berlian dengan batu krikil yang tak ada guna, itu adalah ibarat yang pantas untukku. Dengan menelan ludah beberapa kali, aku pun mendapatkan telepon dari Sri.

Kemungkinan dia mau tanya di mana Pratama aku bawa, akan tetapi sekarang ini aku tak mau menjawabnya sama sekali. Panggilan telepon pun sengaja aku matikan, dan ponsel tak lagi berisik. Namun, beberapa menit setelahnya berdering lagi, membuat aku pusing.

"Siapa yang menelepon, Tuan? Angkat aja, siapa tahu penting," ucap Bi Ira.

"I-iya, Bi, ini mama Pratama yang nelepon, aku gak mau mengangkat sebenarnya, mungkin dia mau bertanya di mana Pratama aku bawa," jelasku.

"Angkat aja Tuan ... siapa tahu benar-benar penting. Dan ... dia adalah mama dari anak Tuan, kalian adalah satu keluarga yang memiliki ikatan," papar Bi Ira lagi.

Kemudian aku mengangguk dan pergi dari posisi duduk di meja makan. Setelah tiba di dalam kamar tidur, lalu aku mengangkat telepon itu yang datang secara bertubi-tubi.

[Hallo, ada apa kamu telepon ke sini?] tanyaku secara spontan.

[Aku cuma mau, kamu kembalikan Pratama. Di mana anak aku, kamu gak ada otak ya, membawa anak aku dengan sembarang. Emang apa hak kamu membawa anak itu tanpa ada izin dari aku!] pekik Sri lagi.

[Aku punya hak membawa pratama, karena aku adalah ayahnya. Aku gak mau kalau dia menjadi saksi perselingkuhan kamu dengan lelaki di rumah, kau gak malu kalau anak kamu adalah laki-laki!] pekikku ngegas.

[Oh, jadi kamu mau mengungkit perselingkuhan. Lalu, apa kabar dengan kamu yang selama ini selingkuh dengan aku? Dan sekarang, aku pemenang dari Julia gembel itu kan? Makanya, kalau kamu adalah lelaki gak bisa nafkahi gak usah sok selingkuh, gak modal. Malam ini juga, kamu kembalikan anak aku atau kamu akan menerima akibatnya.]

[Aku dan Pratama sudah pergi ke luar negeri, kamu gak akan bisa mendapatkan Pratama lagi. Selamat menikmati perselingkuhan kamu itu, aku doakan kalau kau akan berjodoh dengan salah satu di antara mereka!]

Dengan sangat cepat, aku pun mematikan ponsel dan segera ke luar dari dalam ruang kamar. Dengan mencabut kartu, kemudian aku membuangnya di kamar. Agar Sri tak dapat menghubungi lagi, itu adalah hal yang aku inginkan. Agar terhindar dari perempuan gila uang itu.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now