Bab 74 Sakit, Mas!

720 1 0
                                    

Dengan berjalan menemui Mas Deni di bangku tunggu, aku pun sangat santai dalam bergelagat. Bagaimana tidak, orang yang selama ini datang untuk merusak, akan datang lagi dan mengatakan sejumlah rayuan. Aku tak mau, karena rasa trauma itu masih ada dalam diriku. Selang beberapa menit aku sampai, kemudian Mas Deni mendongakkan kepala dan dia menatap aku secara saksama.

"Kamu udah selesai nelponnya, Julia?" tanya Mas Deni.

Kemudian aku udah mengangguk. "Udah, Mas. Oh, ya, sekarang kita mau ke mana ya?" tanyaku balik, dan lelaki di hadapan pun membangkitkan badan seraya mengantongi ponselnya di saku celana.

"Malam ini aku mau ajak kamu ke kafe yang sangat mahal dan romantis di kota ini. Karena ... kamu udah mau temani aku untuk belanja sebanyak ini, terima kasih ya. Aku pastikan kalau calon istri aku akan suka mendapatkan hadiah dariku," jelas Mas Deni.

Deg!

Mendengar akan ucapan calon istri dari Mas Deni, aku tersentak dan seketika badai pun datang tanpa di sangka. Dalam hatiku sudah berkata kalau baju serta cincin ini akan di berikan padaku, ternyata bukan. Lelaki di hadapan telah bersemangat ingin memberikannya untuk calon istrinya yang melalui gambar di kamarnya terpampang jelas.

Kali ini aku merasa berdosa telah berharap kalau suami orang ini akan menjadi calon mempelaiku kelak. Perasaan sakit dan tak tertahankan pun mulai datang. Kali ini aku tak kuat rasanya hendak makan bersama Mas Deni, dan keinginan pulang ke rumah adalah hal yang harus aku lakukan kali ini. Karena tanggung jawabku sudah selesai, menemaninya mencari gaun pengantin dan cincin sepasang.

Ternyata aku yang berpikiran terlalu jauh, padahal orang sebagai anggapan kalau serius mengajak aku memilih gaun secepat ini, telah memiliki pasangan di luar sana. Perasaan itu pun mulai menunjukkan aku semakin tak berdaya, yang bisa aku lakukan hanya diam tanpa kata. Kemudian Mas Deni menarik lengan ini, dia memaksa aku untuk ikut padanya menuju kafe mahal.

Dengan kerendahan hati ini, aku pun melangkah juga meskipun tak kuat. Rasa sabar dan tidak baperan aku perlihatkan, karena dari awal juga aku tak pernah bertanya kalau baju ini hendak di berikan untuk siapa. Setelah masuk ke dalam mobil, mulut ini hanya bisa diam seraya menatap sejurus ke depan.

Tak mau berkata sama sekali, dan aku pun memilih untuk tak menjawab semua pertanyaan. Dalam hati mulai ratak, hancur, dan tak dapat di susun lagi bagai puzzel yang kehilangan tempat untuk memperbaikinya. Mas Deni menoleh ke arah wajahku, tepat di tengah kota kami pun melaju dengan sangat tancap.

"Kamu suka makan apa, sih, Julia?" tanya Mas Deni, akan tetapi aku hanya berkata-kata dalam hati, kalau seandainya saja malam ini aku menolak pergi, mungkin tak akan separah ini.

Rasa sakit itu membuat aku lemah tak berdaya, air mata hendak menetes. Namun, masih dapat aku tahan karena malu. Tak dianggap sebagai orang spesial, dia hanya mengajak aku untuk di jadikan barang contoh layaknya boneka butik di dalam toko pakaian. Dengan segenap rasa ini yang masih menganggap dia sebagai bos di kafe, aku pun bergaya sangat santai bagai tak ada masalah.

"Hallo ... kamu kenap diam aja, Julia? Jul, kenapa kamu diam aja?" tanyanya lagi, kali ini dia melambaikan tangan tepat di kedua mata.

Secara spontan aku membuyarkan lamunan, dan langsung menoleh. "Eh, Mas, kamu tanya apa tadi?" tanyaku sangat terkejut.

"Kamu melamunkan apa, sih, Julia? Aku tadi bertanya sama kamu. Hmm ... kamu suka makan apa, biar kita pesan nanti gak nunggu lama," paparnya menjelaskan.

"Apa aja juga gak masalah sama aku, Mas. Asal kamu suka aku juga akan makan." Jawaban singkat, jelas dan padat ini aku berikan, agar tidak ada lagi pertanyaan di antara kami.

Bukan aku tak mau menjawab panjang kali lebar, karena aku sudah merasa sakit hati lebih awal. Sehingga apa pun yang akan dia lakukan, membuat aku sangat tidak respect saat ini. Beberapa menit setelahnya, tibalah kami di kafe yang menjadi tempat tujuan. Kemudian aku pun turun dan berjalan tanpa mu menggandeng Mas Deni, dia pun mengetahui kalau aku tak mau.

Kami memasuki perkasaran, dan Mas Deni memilih tempat duduk dekat dengan depan kafe agar terlihat indahnya bunga-bunga dan lampu yang kemerlap di malam ini. Namun, bunga itu tidak lah seindah perasaan aku saat ini, karena sangat kelam bagai sebuah patamorgana.

Perkenalan singkat seputar kesukaan, hobi dan yang lainnya hanya membuat aku merasa kecewa. Kali ini aku pun tak mau terlalu berharap banyak pada orang lain, karena menjagakan agar hati ini tak terlalu sakit. Makanan yang sudah kami pesan pun datang, dengan menu kentang goreng dan ada juga minuman lemon tea.

Aku pun mengunyah sangat lambat, tanpa bergairah sama sekali. Mas Deni melirik sejak tadi, dan aku tidak mau menatap karena pandangan telah aku tujukan ke luar dari kafe. Dalam hal ini, percakapan tak ada lagi. Entah kenapa dua bibir ini sangat malas berkata apa pun, hanya di kehendaki hati adalah bisa pulang untuk merendam semua kekecewaan.

"Julia, kamu awalnya belajar masak dari siapa?" tanya Mas Deni, mengawali pembicaraan.

"Dari ayahku, dia yang mengajari aku."

"Oh, kalau begitu ayah kamu hebat juga ya, bisa memasak makanan yang sangat enak. Aku kagum sama laki-laki yang bisa masak, pantas aja kalau kamu hebat juga masak, he he he ...."

"Biasa aja, Mas, aku hanya belajar dari apa yang dia katakan."

'Andai saja waktu dapat bergerak dengan cepat, aku hendak pulang. Sudah terlalu lama meninggalkan ayah, dan ia apa kabarnya ya di rumah sendirian,' kataku memekik dalam hati.

"Oh, ya, kalau boleh tahu dulu rumah kamu di mana ya? Kok, aku gak pernah lihat kamu, kalau di sekitar sini, sudah pasti tempat jelajahan aku saat sekolah," paparnya menjelaskan.

"Aku gak pernah ke luar rumah, Mas, aku menikah sama suami aku dan kami hidup di rumah tanpa ada komunikasi yang baik. Ya, aku akhirnya dia rumah ajalah, mau ke mana lagi gak penting!"

Mas Deni mengangguk, kemudian dia menjawab, "iya juga sih, kalau laki-laki introvert itu agak susah di ajak ke mana-mana, kita akan banyak diam."

Kemudian aku mengangguk, dan mengunyah kentang goreng: kerika arloji menunjukkan jam 22.00 WIB, ini adalah alasan untuk kembali pulang. Karena aku harus membuat ayah terlihat bahagia sebelum menutup mata dengan mimpi indahnya. Kemudian aku pun menatap ponsel lagi, dan Mas Deni mengangkat telepon di hadapanku.

Dari bahasa tubuhnya, kalau dia sedang berkata pada wanita yang dia bilang calon istri, aku pun mengerti dari gaya bahasanya. Penuh dengan kelembutan, karena dia memang orang yang sangat lembut. Sambil menatap ponsel dan membuka social media, aku pun membuat status dan story akan sukarnya menjadi wanita berharap.

Maka dalam hitungan menit serta detik, Tina dan Sinta membalas story dariku itu, kedua sahabat merasa sangat kepo dan simpatik. Bagaimana tidak, seumur hidup, ini adalah kali pertama aku membuat story sangat galau. Dan mereka pun menanggapi dengan berbagai macam ekspresi, serta menguatkan aku.

Tidak lebih dari mereka mengatakan sabar, karena yang mereka tahu kalau aku sudah janda dan pasti sedang mengingat masa lalu itu bersama mantan suami yang sekarang hidup bahagia bersama wanita barunya.

Setelah selesai menelepon, Mas Deni pun menatap wajahku lagi. "Kita pulang sekarang, Julia?" tanyanya.

Dengan anggukan, aku pun menjawab, "i-iya, Mas, kita pulang sekarang aja," titahku sangat berharap sampai rumah dan merebahkan kedua sayap yang telah patah ini

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now