Bab 64 Suamiku Main Dengan Pembantuku

555 2 0
                                    

POV INNAYAH

"Assalammualaikum ...," ucapku seraya membuka pintu rumah, akan tetapi tidak ada suara ayah di dalam rumah, ini adalah kali pertama aku tak mendapatkan respons darinya.

Dengan langkah lebar, aku pun berjalan memasuki rumah yang sunyi ini. Pasalnya, sang ayah tidak ada di ruangan seperti biasanya. Ketika aku pulang kerja, sekali pun larit malam dia masih ada di depan TV atau bahkan sekadar tertidur di atas kursi. Sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, aku pun menuju ke kamar mandi.

Lalu, diri ini mengarah ke ruangan yang ada di dalam rumah. Namun, tidak terlihat sedikit pun sang ayah ada di mana. Beberapa menit setelahnya, aku memasuki kamar pribadiku dan meletakkan tas di atas dipan. Dengan mengikat rambut menggunakan tali rafia, aku pun ke luar dan menuju ke dapur kembali. Siapa tahu kalau ayah ada di dalam ruangan, akan tetapi tetap sama saja.

Semua ruangan di rumah tak memerlihatkan pertanda sedikit pun dari ayah. Aku mendudukkan badan seraya melamum di atas kursi sofa, lalu memerhatikan banyaknya foto-foto di dinding rumah dan menarik napas beberapa kali. Entah ke mana perginya sang ayah, kali ini aku sudah lelah mencari. Bahkan di ruangan tempat di mana dia sedang fokus pada menulis pun tak ada.

Kemudian aku membangkitkan badan, barangkali saja kalau ayah ada di sekitar rumah. Aku bergerak ke arah gudang yang ada di bekanang, tempat yang sangat hampir tak pernah aku lihat ayah ada di sana. Kedua mata ini pun melihat sejurus, dan ini sama saja. Pasalnya, ayah tidak ada di sana. Rasanya sangat pupusc panggilan demi panggilan tidak membuahkan hasil yang maksimal.

Aku kembali ke dapur, mendudukkan badan seraya meneguk sebuah minuman hangat. Ya, untuk menenangkan diri dan berpikir panjang akan ayah ada di mana. Kemudian aku berkata-kata dalam hati, setelah pulang kerja rasanya badan seperti remuk redam. Dan tidak bisa lagi berlama-lama untuk berjalan, aku lelah sekali hari ini.

Cafe di tempat aku belerja sangat padat, mereka menyukai menu baru yang aku masak. Yaitu sayur bening dengan ayam kampung, dalam waktu singkat habis terjual. Bahkan sang pemilik kafe pun menjadikan prioritas masakanku itu ke media-media, dalam waktu empat hari ini orderan melonjak.

Padahal sebelumnya, kafe tempat aku bekerja jarang sekali di datangi orang-orang. Resep menu masakan yang di ajarkan oleh ayah itu berefek sangat manjur, dan dapat membuat aku di kenal banyak orang. Tanpa ada yang menolak lagi, kalau ternyata hanya dengan masakan sederhana itu semua orang berebut.

Dalam waktu hampir 7 jam, masakan pun habis. Maka dari itu, pemilik yang namanya adalah Bu Farida selaku sang CEO memperbolehkan aku untuk pulang lebih awal. Dia sudah tahu dan paham sekali, kalau aku sangat lelah seharian berjualan. Tak berapa lama, aku mendengar suara-suara orang yang sedang bermain air dari samping rumah.

Seketika aku tergugah dan ingin tahu siapa yang sedang bermain air di dekat kolam tepat di samping rumah itu. Padahal di sini tak ada anak kecil, yang notabenenya sangat suka sama ikan. Dengan membangkitkan badan, aku pun berjalan laju menemui pintu yang ada di samping rumah. Dengan membuka sangat spontan, terlihat jelas kalau di sana ada sang ayah.

Bersama kursi rodanya, dia pun melemparkan bebatuan kecil di kolam ikan. Selama ada di rumah ini, aku tak pernah melihat ayah bertingkah seperti itu. Lambat-lambat aku pun berjalan menemuinya, dari arah belakang kemudian diri ini menyentuh pundaknya yang sedang serius itu dalam menatap ikan.

Sentuhan pun aku letakkan di pundak ayah, kemudian aku berkata, "ayah ...," panggilku, lalu dia menoleh dengan wajah yang sangat semringah.

"Eh, kamu udah pulang, Nak. Kok, malam sekali kamu baliknya?" tanya si ayah, dia lun mengernyit heran.

"I-iya, Yah, aku tadi lagi lembur di tempat kerja, padahal ini udah paling cepat pulangnya. Namanya juga jalan kaki, pasti lama kalau berjalan," paparku menjelaskan.

"Nak, kamu kenapa gak naik ojek aja, lagian masih banyak kan ojek online jam segini. Paling enggak kamu bisa lebih cepat pulang, dan lebih terjamin di jalan," jelas sang ayah memberikan nasihat.

Mendengar nasihat itu, aku pun mengangguk, lalu aku berkata, "uangnya sayang, Yah. Kalau buat makan aja kita masih butuh banyak, apalagi kalau membayat ojek tiap hari. Mending uangnya aku tabungi aja, mana pengeluaran di rumah lagi gak stabil kan," kataku menjelaskan.

Lalu ayah memegang punggung tangan ini, aku menatap wajah lelaki yang menjadi malaikat dalam diriku. Dia pun tampak sangat tulus menjadi ayah untukku, dalam keterpurukan, kesepian, dan semuanya dia lakukan untuk aku agar terhibur. Aku merasa berdosa, selama ini telah menyia-siakan dia yang telah baik pada anaknya.

Kemudian aku tertidur di punggung tangannya, bergelayuh dan tak tahu hendak berkata apa. Satu yang pasti, kalau aku tak mau membuat dia sakit hati, apa pun perbuatannya adalah hal terbaik untuk ayah. Tak bisa di pungkiri, kehadiran ayah dalam hidupku menggantikan ibu. Dia yang melahirkan, akan tetapi tak membuat aku merasakan kasih sayang yang tulus.

Kali ini ayah mengelur keningku, langsung ke rambut. "Kalau kamu lelah, sebaiknya istirahat nak. Mamu jangan paksakan, lagian ... ayah masih ada uang buat kita makan," ucap sang ayah.

"Gak, Yah, itu adalah uangmu. Dan aku gak berhak mengikut campurkan akan uang ayah, justru aku yang harusnya berpikir, tinggal di rumah ini secara gratis belum bisa memberikan apa pun," jelasku.

"Nak, kau adalah darah dagingku. Dan kau juga orang yang bisa membuat aku sehat selalu, dalam lindungan Allah. Kau tidak perlu merasa asing pada Ayah, kita adalah satu kesatian. Ingat itu, tak ada yang bisa menggantikan dari hubungan antara ayah dan anak. Kau adalah putriku, sejak kecil aku rawat sampai sekarang ini."

"Terima kasih, Yah, tapi bolehkan kalau Julia bekerja untuk membeli kebutuhan Julia. Apalagi sekarang Julia gak punya perhiasan, kan, ayah sendiri yang bilang kalau perhiasan itu wajib di miliki oleh seorang anak perempuan," jelasku seraya menatap mantap wajah sang ayah.

"Iya, itu adalah anak ayah. Kau sama persis dengan sikap aku, yang selalu mengutamakan sebuah keindahan, meskipun kau susah, tapi tetap semamgat. Insya allah ... ayah akan selalu mendoakan kamu menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua."

Doa suci dari sang ayah tak bisa tertandingi, aku pun sampai lemah ketika mendengar ucapan tulus itu darinya. Kemudian aku memeluk lengan sang ayah, ada denyutan dari nadinya yang mengatakan kalau ayah mencintai aku dengan sangat tulus. Sejak tiga tahun tak bersua, sekarang aku akan buktikan dan percaya kalau aku bukan janda yang menyusahkan.

Ya, tanpa suami aku pun dapat bahagia. Bahkan, bisa menjadi wanita lebih tangguh lagi. Seraya menatap kolam ikan, aku melempar bebatuan kecil, sama seperti apa yang di lakukan oleh ayahku. Kami bergembira malam ini, meski pun aku sedang mengantuk berat dan sangat lelah. Demi menyenangkan ayah, apa pun akan aku tahan.

Malam yang sangat indah, bertabur bintang-bintang. Kali ini aku merasa sangat-sangat nyaman berada di rumah sederhana jauh dari kata mewah. Buat apa aku tinggal di istana, kalau batin ini hancur dan suami tak segan menyakiti. Di belakangku, dia bermain dengan ganti-ganti perempuan. Salah satunya adalah pembantu pribadiku, sampai beberapa kali.

Semua itu nyata, aku pun berharap kalau Mas Reno sadar akan kesalahannya. 'Tuhan ... aku sangat lemah, dan tolong sadarkan suami hamba untuk mencintai istri barunya, cukup aku saja yang tersakiti.'

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang