Bab 95 Ayahku Mengajak Mantan Istriku Ketemuan Malam

460 3 0
                                    

Reno POV

"Ayah, kenapa malah ayah yang ngajak Julia jalan-jalan? Kan, dia itu adalah milik aku?" tanya ku dengan nada suara ngegas.

Mendengar ucapan itu, aku menoleh ke belakang. "Apa kata kamu, Julia milik kamu? Kan, dia udah cerai sama kamu, lagian ayah dan Julia menolak kamu mentah-mentah. Lalu, apa lagi yang kau inginkan?" tanya ayah balik, kali ini dia mengernyitkan kedua alis.

"Bukan gitu juga caranya, Yah. Lagian ... kalian mau ngapain juga malam-malam ketemu? Dan kalian mau ketemu di mana?" tanya Ku bolak-balik, kali ini dia sangat kepo dengan apa yang sudah aku rencanakan.

"Ya ... itu terserah aku, lagian Julia juga bukan istri kamu kan. Aku bebas dong, ajak siapa pun buat makan malam. Kenapa kamu yang harus repot?" Lalu ayah tertawa kecil dan memandang depan, pada posisi sejurus aku hanya bisa menyibak kedua bola mata yang sudah berkaca-kaca.

Ternyata di balik semua ini, ayah telah memiliki maksud lain dengan Julia. Namun, apakah dia tak paham kalau aku adalah anaknya, dan masih punya perasaan pada Julia. Memang kalau di bilang ke masa lalu, aku bersalah dan itu sudah di akui. Tapi apa salahnya dia sebagai ayah tidak mengambil kesempatan di dalam kesempitan, apalagi mendengar pernyataan pak Hendri kalau mereka tidak mau lagi melihat aku bersama dengan Julia.

Tiba-tiba kepala ini terasa hendak pecah, dan ayah malah menyalakan tip begitu kuat di dalam mobil seperti menertawakan aku yang sekarang sedang sedih. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Andai saja Julia dapat paham akan hati dan perasaan ini, aku yakin dan percaya dia akan kembali lagi padaku sekarang. Kini aku hanya mampu memeluk Pratama—anak semata wayangku yang menyaksikan kesedihan ayahnya.

Walau pun aku sangat cinta, akan tetapi itu adalah masa lalu dan mungkin benar kalau aku tidak bisa mendapatkan Julia lagi, seraya menonton kalau mantan istriku akan bercumbu pada ayah kandungku sendiri. Aku tak percaya, dan tiada ku duga ini dapat terjadi padaku begitu kejam mewarnai akan kisah tersebut.

Beberapa menit setelahnya, tibalah aku di depan rumah. Dengan sangat laju ayah masuk ke dalam teras dan membiarkan kami di luar rumah, di sepanjang prrjalanan ayah tampak sangat senang dan sepertinya dia bahagia karena dapat meyakinkan Julia akan pergi dinner bersama nya nanti malam. Seraya berjalan sangat laju, tibalah aku di dalam rumah dan masuk ke dalam kamar.

Di ruangan yang sama seperti kelas pembantu, aku beristirahat. Di perlakukan seperti bukan anak sendiri, dan bagaikan tiri di rumah ini. Rasa sabar menguji aku sekarang, semoga saja ayah tidak berlanjut pada Julia untuk ke ranah yang serius. Karena kalau itu terjadi, pupus sudah harapan aku membawa Julia ke dalam rumah tangga ini dan kami akan bersama-sama memulai dari nol.

Berdasarkan ucapan Julia, aku dapat menangkap kalau dia sangat masih menginginkan aku, akan tetapi malah mulutnya berbeda dari kedua matanya. Ini adalah hal yang paling aku takutkan, kalau selama ini ayah mengajak aku ke rumah Julia, agar dia tahu kalau posisi rumah Julia ada di mana.

'Tuhan ... kenapa aku mengalami ini semua. Apakah tidak ada yang namanya kesempatan kedua buat hamba memperbaiki ini, kalau ada kapan hamba akan bisa memiliki Julia lagi. Tolonglah hamba-Mu yang lemah ini, Tuhan ...,' kataku dalam hati.

Dengan menatap wajah anakku yang pertama, diri ini pun mengecup pipinya dan kemudian mengelus rambutnya. Pratama diam dan tertidur dalam posisi tersenyum, aku sangat senang melihat anak yang baik budi tak mau menangis dan menyusahkan ayahnya. Walau tak tahu apa-apa, aku yakin Pratama adalah anak yang sangat memahami perasaan ayahnya.

Karena sudah mulai sore, aku pun bergerak ke luar dan langsung mengambil air untuk menyiram taman. Meskipun di rumah ayah sendiri, aku bekerja menjadi tukang taman. Karena ayah tak mau kalau aku akan makan tidur di rumahnya, sebagai balas budi itu akhirnya pekerjaan ini di berikan.

Tidak masalah bagiku, daripada aku berjualan keliling dengan along-along. Kadang tidur di lantai, dan kadang di emperan toko orang. Pernah juga tidur di sebuah jembatan, yang kasihan adalah Pratama. Dia masih bayi harus merasakan kemiskinan yang ayahnya alami sekarang. Dari arah belakang, seseorang pun datang, dia adalah Bi Inem.

"Lagi siram bunga Tuan ...," ucapnya memanggil.

"I-iya, nih, Bi, lagi siram bunga karena kering semua," jawabku tanpa rasa malu lagi, karena drajat kami sekarang sudah sama seperti ART.

"Tuan, minum dulu ini aku beli air tahu dari luar, kalau minum ini akan terasa segar badannya," papar Bi Inem lagi.

Lalu aku meraihnya, dan tersenyum gembira. "Terima kasih, ya, Bi, sudah memberikan aku minuman ini. Terima kasih," ujarnya mengucapkan kata terbaik padanya.

"Sama-sama, aku mau masak dulu di dalam Tuan, kalau lelah tinggal tidur ajalah. Karena pratama ada di kamar kan, nanti dia bangun loh."

"Baik, Bi," kataku singkat.

Dengan bersenandung, aku pun menyiram bunga sambil meneguk air soya yang di berikan oleh Bi Inem tadi. Biasanya air seperti ini tak pernah aku minum, akan tetapi sekarang berbeda. Dan aku pun sangat menghargai makanan yang sangat murah, karena aku sering tidak makan. Kali ini semuanya serba aku syukuri saja, mungkin ini adalah masa yang bisa membuat diri sangat mandiri dan bisa menghargai siapa pun.

Dari arah depan, sebuah mobil datang menemui. Dan mobil itu berwarna hitam seraya datang memasuki area rumah, dia berhenti di depan, dan aku pun menolehnya. Beberapa setelah itu, ternyata tamu tersebut adalah Ferdi dan Dimas. Kaduanya adalah karyawan aku di divisi dua, sekarang mereka lebih sukses dari pada aku yang anak konglomerat.

Mereka berdua menemui aku, dan diri ini menoleh ke samping memiringkan topi. Lalu, keduanya tiba di belakangku dan menyentuh pundak ini secara perlahan, tanpa memutar badan aku pun diam dan menjawab sangat lembut.

"Pak, apakah Bapak Adiwijaya ada di dalam rumah?" tanyanya, dari nada suaranya seperti Ferdi.

"Ada di dalam rumah, karena tadi baru pulang," jawabku, tanpa memutar badan.

"Dim, sepertinya aku kenal dengan nada suaranya," bisik Ferdi. Terdengar juga oleh aku, yang sekarang bergeming menyiram bunga.

"Hmm ... aku juga kenal, karena seperti suara Bos Reno, aku udah lama enggak dengar lagi, tapi masih ingatlah, kakau dia adalah Bos Reno," papar Dimas—wakilku di perusahaan.

"Tapi gak mungkin, kalau Bos Reno jadi tukang kebun, dan bajunya lihatlah. Kita hanya salah mendengar aja kali, sekarang kita naik aja dan gak boleh suudzon," ajak Ferdi, keduanya tak bersuara lagi.

"Kalau begitu kami masuk dulu ya pak ...," ucap Dimas lagi.

Lalu aku pun menganggukkan kepala, dan tetap menatap sejurus ke depan. Setelah keduanya pergi, barulah aku menoleh dan mengelus dada. Ini adalah kali pertama aku terasa malu, karena bagai mana pun, mereka adalah mantan bawahan aku di kantor. Dan selalu aku suruh-suruh, akan tetapi dunia sudah terbalik sepertinya.

Roda dunia telah berputar, dan aku pun mengelus dada. Walau pun sangat sedih, tapi mau bagaimana lagi, ini adalah kisah kehidupan yang aku alami sekarang.

'Syukurlah kalau mereka gak kenal aku, dan sekarang aku udah bisa lega,' kataku dalam hati.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now