Bab 88 Mas Deni Lelaki Gagah

180 3 0
                                    

[Hallo ... Julia, kenapa kamu gak angkat telepon aku sih?] tanya mas Deni, membuat aku sangat tidak bisa berkata apa pun.

[I-ini, Mas, aku lagi merawat ayah untuk ke rumah sakit. Aku gak bisa masuk kerja dan kemungkinan aku akan pindah kerja mas.] setelah mengatakan hal tersebut, percakapan ini terhenti.

Melalui ponsel, aku tak bisa mengatakan lebih jauh. Terlebih lagi kalau saat ini aku adalah seorang karyawan bisa di kafe milik mas Deni, bukan orang yang di percaya atau apa pun. Sebagai seorang wanita yang sadar diri, aku tak bisa berkata lebih banyak.

[Tapi aku mau minta maaf sama mas, dan mama mas yang udah baik sama aku, tetapi aku hanya sampai di sini saja dalam bergabung di kafe milik mas.]

[Tapi kenapa Julia, siapa yang telah membuat kamu seperti ini? Aku, ya, maaf kalau kemarin aku sempat membuat kamu seperti itu. Tapi aku gak ada maksud apa pun, plis ... Julia kamu mau ya kembali di kafe aku.]

[Sekali lagi maafkan aku, Mas, bukan gak mau. Tapi aku lebih mementingkan kesehatan ayah aku sekarang Mas, bukan karena hal lain. Ini adalah keputusan yang sudah aku pikirkan matang-matang mas, maaf kalau ternyata keputusan ini membuat kamu merasa sangat sakit hati mas.]

[Malam ini aku akan datang ke rumah kamu, ya, Julia. Aku mau minta maaf langsung sama kamu, kalau selama ini aku udah berterima kasih banget, karena kamu menolong aku sampai titik ini. Membantu aku dengan ikhlas memilih pakaian, tapi asal kamu tahu aku tidak menikah pada pacar aku, dia telah memilih orang lain—]

[Mas, aku gak mau dengar apa pun dari kamu. Dan soal kalian batal atau tidaknya dalam pernikahan, itu adalah urusan kalian mas. Malam ini aku mau menenangkan diri, maaf sudah terlalu bawa perasaan. Selamat malam, aku mau tidur mas!]

Secara spontan, kemudian aku mematikan ponsel tersebut, agar nomor tidak dapat di hubungi lagi. Semakin lama aku memegang ponsel, maka semakin banyak masalah yang datang tanpa bisa di hadang. Tepat berada di ruang tengah, aku berjalan menuju kamar dan tibalah di ambang pintu. Air mata ini menetes lagi, walau pun tidak ada yang membuatnya sakit.

Entah kenapa belakangan inu aku kembali di terpa dengan masalah, yang sangat serius sampai membuat diri ini tak tahu harus berbuat apa lagi. Setibanya di dalam kamar, aku merebahkan kedua sayap dan meletakkan ponsel di dalam lemari saja. Mungkin ini adalah hari terakhir aku memegang ponsel, dan tak akan kembali membuatnya menyala.

Seraya merebahkan kedua sayap di atas dipan, aku pun mematikan lampu dan segera beristirahat. Badan sudah terasa sangat sakit, kemungkinan besok aku akan mencari pekerjaan baru di sekitar sini, menjadi tukang cuci pun tak masalah yang penting punya penghasilan, tidak kembali lagi di kafe milik Mas Deni.

***
Srek !!!

Aku membuka gorden, dan menatap ke luar balkon lantai dua. Dengan mengembuskan napas panjang, kemudian aku pemanasan sebentar di atas balkon sambil melihat burung yang berdatangan menuju teras balkon, kemudian diri ini pun mengambil segelas air putih dan langsung meneguknya sampai tandas.

Beberapa menit setelahnya, aku pun bergerak ke luar kamar dan langsung menuju ke kamar mandi. Seraya mengambil sebuah bandana, kemudian diri ini mengikat rambut dengan tali rafia. Sekarang sudah sangat rapi, dan barulah aku mencuci piring serta pakaian dengan bantuan mesin cuci. Untuk di pagi ini, aku akan memasak sayur bening dan semuanya telah aku hidangkan.

Kemudian aku melangkah ke kamar ayah, setibanya di dalam ruangan, diri ini pun berjalan menuju gorden tanpa membangunkan ayah yang masih sangat tidur pulas. Seketika aku menatap seorang lelaki tangguh di atas dipan, dia tampak sangat lelah. Setelah beberapa menit di dalam ruangan, aku ke luar dan langsung menuju lantai satu.

Pagi ini aku akan membeli sebuah teh di warung, dengan sangat cepat aku membuka pintu rumah. Tepat di depam teras, seseorang pun telah hadir di sana. Dia adalah mas Deni, dengan mobilnya telah tiba di pagi hari ini. Kemudian aku pun kembali mentup pintu dan menguci, tak berapa lama akhirnya aku memasuki lagi ke dalam dapur.

'Mas Deni kenapa datang sih pagi-pagi begini, aku belum juga belanja dia udah membuat aku sangat terganggu. Ya, udahlah kalau gitu aku lewat belakang aja, mungkin bisa membuat gak ketahuan sama dia,' kataku dalam hati.

Dengan membuka pintu belakang rumah, aku berjalan mengendap-endap menuju ke sebuah pintu. Setelah ke luar dari pintu tersebut, kemudian diri ini berjalan seraya menoleh kanan dan kiri, tepat di bawah pohon bunga tanjung, sebuah sentuhan mendarat di pundak ini. Aku menoleh, dan dia adalah mas Deni yang ternyata menunggu aku dari belakang.

"Kamu mau ngapain ada di sini, Mas," ucapku sangat sinis.

"Julia ... kamu kenapa sih menghindar terus dari aku, kamu kira aku gak tahu kalau kamu mau ke liar lewat pintu belakang," kata mas Deni, dalam hati ini meringis lucu.

"Eng-enggak, kok, siapa juga yang mau melarikan diri, aku memang mah lewat belakang. Lagian warungnya juga ada di belakang," kataku sangat melas.

"Udahlah Julia, kamu gak usah cari alasan lagi. Sekarang aku mau tanya sama kamu, kenapa kamu menghindar dari aku. Kan, aku belum menjelaskan apa pun sama kamu!" pekiknya ngegas.

"Mas, aku mau belanja, aku gak mau kenal kamu lagi. Mulai saat ini kita gak usah ketemu, karena aku sibuk dengan pekerjaan di lain tempat."

"Julia ... plis, jangan begini sama aku, Julia."

Tanpa mendengarkan ucapannya, aku pun pergi meninggalkannya yang sekarang tertegun tanpa ucapan sama sekali. Kemudian aku melangkah laju, ini adalah pembalasan bagi seorang lelaki yang mudah dalam menyakiti. Aku tak mau lagi kalau di anggap lemah, atau berharap pada siapa pun.

Tak berapa lama aku pun menoleh lagi ke wajah mas Deni yang tampak bersedih dan dia hanya diam menatap aku. Keputusan ini sudah bulat, dan dengan sangat cepat diri ini menyeberangi jalan raya untuk membeli gula dan teh. Tibalah aku di sebuah warung, dan kemudian mobil hitam pun ke luar dari perkarangan rumahku.

Seseorang yang sedang berbelanja pun menyiku lengan ini secara perlahan, "Julia, itu siapa yang ke luar dari teras kamu?"  tanyanya.

"Gak kenal aku Mpok, mungkin numpang parkir mobil aja kali," kataku dalam menjawab.

"Ah, masa iya sih, tapi aku pernah loh melihat dia datang pagi-pagi, waktu kamu ke rumah sakit kalau gak salah. Oranganya ganteng juga, dia pasti pacar kamu kan Julia?" tanya Mpok Atik lagi.

"Mana mungkin ada cowok yang mau sama perempuan kere seperti aku, Mpok. Ada-ada aja," ketusku sambil tertawa kekeh.

Lalu Mpok Atik menggaruk kepala beberapa kali. "Iya juga ya, siapa juga yang mau sama orang kampung seperti kita. Kan, mereka anak crazy kicrit, ya," paparnya salah ngomong.

"Bukan crazy kitcrit, Mpok. Tapi crazy kecirit yang bener," sambarku, satu warga di warung terkekeh mendengar celotehan dariku.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now