Bab 57 Dijadikan Babu

304 2 0
                                    

POV RENO

Malam ini aku merasakan bingung dan bimbang teramat dalam. Pasalnya, uang yang aku miliki saat ini telah habis semua dan tak ada satu rupiah pun di dalam ATM. Apalagi sekarang Sri sedang mengandung anak dariku, membutuhkan banyak biaya dan dia pun sekarang banyak maunya. Minta ini dan itu dengan dalih ngidam anak pertama.

Cinta yang aku pilih ini seakan menjadikan aku semakin terjebak dalam situasi serba salah, dan di malam yang sangat sunyi aku mendudukkan badan di depan jendela rumah. Seraya menatap banyaknya kendaraan yang melintas, di temani dengan kopi hangat yang baru saja aku buat sendiri.

Di rumah ini aku terasa di jadikan pembantu oleh istri sendiri, dia tak mau bekerja sama sekali. Bahkan untuk membuang semua kotoran yang berserak di lantai, Sri bersikukuh dengan hal ini. Berbeda ketika aku hidup dengan Julia, dia malah melakukan sendiri meskipun ada pembantu di rumah ini.

Tak berapa lama, sebuah kendaraan pun memasuki halaman depan. Aku tak tahu siapa yang datang itu, membuka pintu taksi dan langsung berjalan ke arahku saat ini. Secara saksama, aku menatap mantap ke arah wanita tersebut. Ternyata dia adalah Mertua, yang datang malam-malam seperti ini.

Ini adalah kali pertama dia datang, dan membawa kating entah berisikan apa. Memang ini adalah rumah miliknya, dan aku pun menumpang di sini karena rumahku sudah di sita oleh pihak BANK. Kemudian sang mertua berjalan ke arah teras, aku membangkitkan badan dengan spontan dan ingin menjabat tangannya.

Akan tetapi, wanita paruh baya itu menolak menjabat tanganku. Dia berkacak pinggang dan hanya diam tanpa kata. Ini adalah pertama kalinya aku di perlakukan sangat tak baik, padahal kalau dari silsilah keluarga, ayahku adalah orang terpandang dan terkaya nomor satu di kota ini. Dangan menarik napas panjang, kali ini aku pun terdiam seraya menelan ludah.

Hendak duduk kembali di atas kursi rasanya aku takut, dan wajah dari mertua pun sangat sinis memandang aju dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Beberapa menit setelahnya, mertua pun berkata padaku.

"Mana Sri, kenapa rumah ini sunyi sekali?" tanya sang mertua ngegas.

"Istri aku lagi di kamar, Bu, dia gak mau ke luar karena sakit perutnya," jawabku sangat lembut, dan mertua pun menaikkan kedua alisnya.

Dia pun masuk ke dalam rumah, dengan langkah laju. Kemudian aku mendudukkan badan lagi di atas kursi, karena tak mau mendapatkan masalah baru kalau sampai berada di sana. Kali ini aku meneguk kopi, belum pun tertelan tiba-tiba suara mertua berteriak dari dalam kamar.

"Reno ... sini kamu, Reno ...," teriak sang mertua, aku sampai tersedak ketika minum.

Kopi yang ada di tangan aku letak kembali di atas meja, dangan langkah lebar kemudian aku berjalan menuju ruangan. Tanpa menoleh kanan dan kiri, kini pandangan hanya sejurus pada depan. Dengan memasuki kamar tidur, sang mertua ternyata ada di sana bersama Sri yang ongkang-ongkang kaki.

Tibanya aku di dalam kamar, kemudian aku berjalan menemui sang mertua yang saat ini seperti kesal. Dia menarik napas panjang, menatap banyaknya sampah makanan di dalam kamar tidur. Perbuatan tak lazim Sri memang di luar akal sehat. Lalu aku mendelik setelah tahu, sebelumnya tak seperti ini.

"Kenapa, Bu?" tanyaku pada sang mertua.

"Kanu gimana, sih, jadi laki-laki. Ini banyak sampah tapi kamu biarkan. Jadi laki-laki itu yang rajin, gimana anak kamu bisa sehat kalau punya kamar jorok seperti lubang sampah!" pekik sang mertua, dia mengomel-ngomel gak jelas.

Padahal dia baru saja tiba di rumah ini, dan perbuatan itu juga di lakukan oleh anak kandungnya. Kali ini aku bersimpuh dan mengutip semua sampah, dan mengumpulnya di dalam keranjang sampah. Namun, sang istri pun membuang lagi sampah-sampah kaleng dan botol minuman sampai mengenai kepalaku.

'Astaga ... kau kenapa seperti ini padaku, Sri. Aku ini suami kamu, kalau aja gak ada ibu kamu pasti kau tak seperti ini banget sama aku,' kataku dalam hati.

"Ini Reno, jangan melamun aja. Masih banyak sampah di sini, lihat sana. Itu kulit pisang, kalau Sri terpeleset karena kulit itu bisa bahaya nanti cucu pertama aku!" omelnya lagi.

Kemudian aku keliling mencari sampah, setelah penuh dan kali ini aku membawanya ke luar. Setibanya di luar rumah, aku mengumpulkan sampah-sampah ke dalam sebuah drum berukuran besar. Ternyata malam ini terdapat tiga keranjang sampah, dan sangat membuat aku kewalahan sekali.

'Kenapa, sih, nenek peyot itu datang. Kalau saja dia gak datang, aku pasti gak jadi pembantu di rumah ini,' kataku dalam hati mengomel.

Setelah masuk ke dalam rumah, teriakan kembali datang dari Ibu mertua. Dia pun memasuki kamar mandi, di dalam sana banyak baju dan celana uang kotor. Dia petentengan menyuruh aku untuk membersihkan, akan tetapi ini sudah malam tak mungkin lagi untuk aku melakukan hal itu.

"Kamu gak lihat itu, Ren. Di sini banyak banget baju dan celana kotor, kamu harusnya lihat. Banyak pakaian yang kotor, cuci ini gak baik sama kesehatan istri kamu," ucap ibu mertua.

"Bu, ini sudah malam. Mesin cuci juga lagi rusak, belum sempat aku perbaiki. Besok ajalah mencucinya, karena aku mau istirahat," jawabku lembut.

"Terserah kamu, Reno. Yang pasti, besok aku gak mau lihat pakaian itu menumpuk bagai gunung lagi. Udahlah, aku mau ke kamar lagi menemani Sri, jadi laki-laki gak becus banget," omel Mertua yang langsung pergi begitu saja.

Dengan menarik napas panjang, aku pun bergeming di ruang makan. Seraya mendudukkan badan, lalu diri ini menarik napas beberapa kali. Tanpa menoleh kanan dan kiri, aku pun telah merasa sangat resah akan hal ini. Semua pekerjaan rumah harus aku lakukan sendiri, dan mau tak mau aku harus melakukannya.

Tak berapa lama, aku hendak mengambil ponsel di dalam kamar, dengan berjalan sangat laju tibalah aku di ambang pintu. Pasalnya, mertua perempuan sedang berbincang pada Sri—istriku. Keduanya sangat serius berkata, sampai membawa-bawa namaku dalam pembahasan kali ini. Aku terdiam dan mendengarkan di ambang pintu, ingin tahu apa yang sedang di katakan mereka.

"Bu, kenapa wajahnya seperti itu, sih. Baru juga datang, udah marah-marah terus. Kenapa, sih, coba lebih tenang sekarang," ucap Sri sangat lembut.

"Suami kamu loh, Sri. Dia ngapain aja di rumah, gak bisa bersihin kamar mandi, kamar tidur. Dia gak tahu apa, kalau rumah ini kotor banget. Gimana kandungan kamu bisa sehar kalau begini?!" omel sang mertua.

"Bu, mungkin Mas Reno lagi capek, biarin ajalah dia istirahat. Seharian ini udah menuruti apa yang aku mau, sampai manjat-manjat pohon mangga," sergah sang istri membela.

"Itulah, kamh kalau cari suami berdasarkan tampang doang. Gak bisa kerja, tahu dia apa. Kalau aku punya anak seperti itu, udah aku usir dari rumah. Kamu gak mikir, itu Hendri anak pak Lurah udah menanti kamu minta menikah, tapi kamu gak mau. Anaknya rajin, soleh, dan selalu pinter kerja."

"Bu, pelan-pelan kalau ngomong. Aku gak mau kalau Mas Reno dengar dia akan sakit hati," ujar Sri lagi, dan aku menelan ludah beberapa kali.

"Kamu lagi, Sri. Udah di kasih tahu malah kurang terima. Kalau kamu nanti kenapa-napa, dan bayi kamu juga sakit siapa yang repot. Aku, kan, suami kamu bisa apa? Pokoknya mulai besok aku akan tinggal di sini, memantau kamu dan suami kamu yang malas itu," kata mertua lagi.

'Hancur ... kenapa, sih, nenek peyot itu malah mau tinggal si sini, kan dia harus kerja ke rumah makan. Kalau dia di sini, makin banyak pengeluaran aku. Sementara aku gak kerja, mau dapat uang dari mana, apalagi sekarang kebutuhan Sri banyak banget lagi,' kataku dalam hati sambil menyandarkan diri di tembok.

"Bu, emangnya ibu gak kerja kalau mau menginap di sini. Entar malah membuat rumah kita makin berantakan," ucap Sri memberikan pengarahan.

"Kamu gak usah ngatur aku, Sri. Ini rumah aku, bukan rumah kamu atau rumah suami kamu. Jadi aku berhak, dong, pulang ke rumah sendir, kenapa kamu yang sewot?" Mendengar itu, istriku terbungkam ternasuk aku yang juga terdiam tanpa berkata apa pun.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu