Bab 65 Tiket Ke Surga Allah

191 3 0
                                    

Akhirnya aku dan sang ayah pun memasuki rumah. Orang yang aku miliki saat ini adalah ayah, dia harus tidur tepat waktu dan tidak lagi begadang. Karena sudah larut malam, kalau dia sampai sakit aku yang akan repot. Di sini tepat bersama kediaman yang sangat nyaman dan tentram, aku pun membawa kursi roda memasuki rumah.

Ayah tampak sudah bahagia sejak aku pulang kerja, dia pun tidak mengizinkan aku bekerja sebenarnya. Namun, aku selalu menberikan pandangan dan tak mau terlalu berleha-leha di rumah tanpa ada penghasilan. Bahkan uang tabungan yang aku simpah seratus juta telah kandas, sejak di pakai oleh Mas Reno.

Sekarang tak ada sisa lagi, karena aku sudah mengikhlaskan kalau itu sudah habis. Bahkan sekarang aku tak pernah tahu kabar mereka seperti apa. Bahkan ayah mertua, dia adalah orang yang sempat berubah drastis sejak tahu kalau aku akan bercerai pada Mas Reno. Namun, kepergian ini bukan lantas menginginkam hendak mengambil simpati siapa pun.

Aku sudah merasa muak dengan tipuan Mas Reno, dia telah tiga tahun membuat diri ini merasa seperti budak. Baik di rumah, mau pun di luar rumah. Bagaimana tidak, dia menginginan perempuan yang simple dan sederhana ketika menikahi aku. Namun, setelah beberapa tahun menikah dia malah merubahnya dan menginginkan wanita cantik.

Salah satunya adalah Sri, yang aku tahu kalau sahabatku ketika SMA itu bekerja di perusahaan sang suami. Mereka telah terlibat berdua, dalam berbagai pertemuan. Kemungkinan suara aneh yang pernah aku dengar beberaoa bulan lalu, itu adalah hasil hubungan gelap meraka di dalam ruangan pribadi.

Bahkan aku sempat mendapatkan pengaman, alat kontrasepsi lelaki yang ada di bawah meja. Kemungkinan kalau perselingkuhan mereka sudah lama, dan aku baru tahu belakangan ini. Itu pun karena aku masuk ke kantor, mengawasi tiap gerak-gerik sang suami yang sangat membuat aku heran. Tetapi sudahlah, aku pun tak mau membahas itu lagi.

Perceraian di antara kami ini sudah yang terbaik, aku akan membina kehidupan baru dengan wanita janda yang telah berjuang hidup mengurus ayah kandungku di rumah ini. Sekarang dan selamanya, aku akan tetap mencintai ayahku karena dia adalah malaikat yang pernah ada di bumi ini.

Bahkan ibuku—Mirna, dia telah memilih lelaki lain dan hidup dengan suami orang dari pada menunggu ayah. Sungguh kehidupan ayah sangat tersiksa, dengan menelan pil pahit secara bertubi-tubi. Kini aku sadar, kalau tak selamanya hidup mewah adalah jaminan untuk bahagia. Setibanya di dalam kamar, aku membantu ayah untuk naik ke atas dipan dan dia pun merebahkan kedua sayap.

Kali ini aku mengambil selimut di dalam lemari, dan memberikan pada ayah yang tampak sangat kedinginan ini. Dia menatap wajahku, seeperti menyimpan rahasia, akan tetapi tak mau berkata sama sekali. Kemungkinan kalau ayah tidak terlalu tertarik menasihati ketika aku sudah paham, kemudian dengan celat diri ini menutup gorden.

Srek!

Suara gorden menggema, dan aku mematikan lampu seraya menyalakan AC di malam ini. Seraya menatap sang ayah dari jarak beberapa meter, lalu aku melangkah ke luar dan baru beberapa tapak kaki ini melangkah, kemudian panggilan pun terdengar.

"Julia," panggil sang ayah, aku berhenti dan perlahan menoleh ke belakang.

Lalu, secara saksama aku menatap matanya yang tampak terbuka lebar lagi. Kali ini aku putar balik, dan berjalan menemuinya dengan langkah gontai. Setibanya di samping tempat tidur, aku pun menadahkan badan. Kemungkinan akan ada kata-kata terbaik untuknya membuat aku menjadi insan yang lebih kuat.

"Ada apa, Yah, kenapa manggil lagi?" tanyaku heran, kemudian Ayah pun menarik bantalnya dan mengambil sesuatu.

"Ini adalah benda yang ayah temukan di dalam koper kamu, sepertinya kamu memiliki benda berharga ini. Karena ayah yakin, kalau ini adalah seuatu yang harusnya kau jaga." Ayah menyodorkan gambar itu padaku.

Entah dapat dari mana ayah tentang ronsen perihal kehamilanku dulu, yang sempat gugur karena kelelahan. Aku sudah dua kali mengalami ini, dan kemungkinan tidak bisa hamil lagi menurut kata dokter. Namun, aku tidak percaya akan ucapan manusia, karena aku masih punya Allah SWT.

Dengan sangat lembut, aku mengambil gambar ronsen itu dari ayah. Dia pun menelan ludah dan menarik napas panjang, karena selama ini aku belum pernah cerita kalau ternyata aku pernah hamil dan gugur sebanyak dua kali.
Kalau saja anak itu hadir, kemungkinan rumah ini ramai dan sepasang dapat membuat ayah senang dengan cucunya.

"Ini adalah ronsen kehamilan aku, Yah. Tapi ... anak aku gugur, dan sekarang udah di kebumikan dekat dengan kakek dan nenek," ucapku.

"Astaghfirullah ... Julia, kenapa kamu gak kabari Ayah, Nak. Kamu sadar, gak kalau perbuatan kamu salah selama ini. Kau anggap apa aku ini, Julia?!" pekik ayah, dia menangis secara tiba-tiba.

"Ayah ... aku merasahasiaka ini semua karena aku takut ayah kecewa. Dan gak mau berlarut dalam masalah ini, aku gak mau ayah," paparku menjelaskan.

"Tapi, Nak, setidaknya kau mengatakan hal itu karena aku adalah ayahmu. Kalau pun anak itu tidak hadir di dunia, Allah lebih sayang pada mereka," jelas ayahku, ini memang benar-benar salahku.

Tanpa mampu menjawab, aku hanya menangis dan memohon ampun. Pada sang maha kuasa, bahkan pada ayah sendiri. Obsesiku waktu itu adalah, membawa cucu pertama pada ayah, akan tetapi tidak kesampaian. Makanya dalam waktu tiga tahun perniakahan, aku tak pernah mau pulang.

Ini adalah alasan yang aku pegang, karena Mas Reno pun berubah karena aku tak bisa memberikan anak padanya. Namun, perasaan bersalah ini terungkap juga akhirnya. Aku tak tahu, kalau ayah sampai seperti ini merasa menyesal. Kemudian diri ini bersimpuh, dan bersujut di samping dipan tempat ayah berbaring.

"Maafkan aku, Yah. Kalau ayah mau hukum aku, silakan saja. Ini memang kesalahan aku, Yah," rengekku mengharap maaf.

Kemudian ayah menyentuh pundak ini perlahan, aku tidak bisa memaafkan diri sendiri setelah tahu kebenaran yang sengaja aku sembunyikan selama ini. Aku pasrah, dan semoga saja Tuhan menghukum aku dengan tuntasnya semua masalah di dalam hidup ini.

"Julia ... sudahlah, jangan lanjutkan tangisan ini. Anak kamu udah tenang di alam sana, dia bahagia memiliki ibu yang sangat menyayanginya," ucap Ayah.

Perlahan aku bangkit dan memeluk badan ayah yang sekarang sedang duduk, kali ini tangisan pun semakin pecah di pundaknya. Kalau saja waktu dapat di putar kembali, aku akan menjaga anak di dalam kandungan itu sangat hati-hati agar tak gugur. Namun, semua sudah jalannya.

Karena aku pun tak menyangka kalau benih itu jatuh dengan sangat mulus tanpa goncangan. Sampai-sampai aku tak tahu kalau sudah terjadi di dalam hidup ini. Tangisan semakin keras, aku pun berharap luka lama ini dapat terobati dan tak ada yang membuka lagi.

"Julia, kamu harus sabar Nak. Mereka adalah dua tiket kamu le surga, dan mereka akan menunggumu di pintu surga sana, percaya sama ayah."

"Tapi aku bagai orang yang gak berguna ayah, karena sudah tidak bisa menjaga bayi yang Allah titipkan. Bukan sekali, tapi dua kali. Sampai-sampai, Mas Reno menceraikan aku karena tak bisa memiliki anak," jelasku lagi.

"Mungkin ini jalan terbaik dari Allah buat kamu, Nak. Sekarang sabarlah, banyak-banyak doa dan istighfar. Ayah yakin, setelah ini akan ada yang namanya bahagia. Allah gak akan menguji hambanya di batas kesabarannya, kamu adalah pilihan dan Dia tahu akan kemampuanmu dalam menghadapi ini," jelas ayah.

Lalu aku menatap wajah ayah, lelaki bagai malaikat itu menyibak air mataku. Kemudian dia tersenyum, "kamu anak baik, ayah yakin kau akan bertemu kedua cucu ayah di surga bareng sama kita kelak, amin ...."

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now