Bab 84 Karyawan Adalah Jantungnya Perusahaan

164 0 0
                                    

Setibanya di dalam sebuah ruangan yang di penuhi dengan banyak karyawan, aku masuk bersama cucu tersayang yang saat ini berada dalam gendongan di dada. Melihat kehadiranku saat ini, semua mata tertuju pada kami. Tidak ada yang beringsut sama sekali, karena memang ini adalah kali pertama aku membawa seorang bayi ketika ke kantor.

"Selamat siang semuanya," ucapku secara spontan, kemudian semua karyawan pun menatap sangat mantap ke arahku. Tidak ada terkecuali, dan semuanya tampak memerhatikan.

Kemudian mereka menjawab dengan nada suara sangat gemetar, dan ada juga yang terheran sampai mengeluarkan suara begitu lembut. "Selamat siang, Bos ...," jawab mereka serempak.

"Apakah kalian sudah memulai rapat siang ini? Aku dengar, tadi sudah ada yang persentase di depan sini?" tanyaku lagi secara bertubi-tubi.

"Be-benar Bos kami sudah mengadakan rapat siang ini. Apakah kami akan memulai lagi rapat yang sudah tertunda tadi?" tanya Risma mengawali pembicaraan.

"Ya, sudah kaliak lanjutkan saja. Siang ini aku hanya menantau, karena kebetulan ada si jagoan sekarang datang, jadi aku rasa sama saja sih kalau kalian memang mau lanjut juga," ujarku, membuat semua karyawan pun mengangguk ringan.

Di dalam sebuah ruangan yang sangat sejuk ini, Pratama betah dan tidak merasa terganggu sama sekali. Meskipun dia sedikit gelisah, mungkin karena ramai orang. Namun, aku memang sengaja hendak membiasakan dia agar betah di perusahaan kakeknya yang megah ini. Pendidikan sejak dini selalu aku lakukan pada anak, dia adalah Reno. Sewaktu kecil dia pun sering aku ajak ke perusahaan, akan tetapi memang dia yang berubah total sejak menjelajah dunia wanita.

Seraya mendudukkan badan, aku mengajak bercanda Pratama di dalam ruangan. Di tangan kanannya sudah ada susu yang sengaja aku beli di mall, dan dengan bancuran air hangat sang cucu sudah mau tanpa memilih minuman yang di berikan. Aku percaya kelak kalau dia sudah dewasa akan paham dan sangat bisa hidup dengan sangat sederhana. Tidak seperti ayahnya—Reno, sewaktu kecil sangat malas berada di dalam kantor.

Sehingga ketika besar, di berikan peluang ke dunia bisnis malah memilih ke luar area dan tak mengikuti apa yang aku katakan. Terkadang aku merasa kesal juga padanya, dia adalah anak pertama dan satu-satunya dalam pewaris Adiwijaya. Namun, setelah dewasa menjadi penghancur harkat dan martabat dari keluarga ini. Aku sangat kesal dangan apa yang sudah dia perbuat itu, sampai saat ini rasa dendam terhadap anak sendiri pun masih ada.

Sebenarnya aku bukan benci pada Reno yang sudah tidak mau bisa lagi memimpin perusahaan dengan kasalahan, selama ini didikan aku keras pada anak agar dia tahu berapa beratnya hidup di luar sana tanpa ada yang bisa memberikan fasilitas. Akan tetapi dia malah memilih akan hal itu, dan semakin membuat aku percaya kalau Reno memang tidak bisa di arahkan.

Kali ini sang cucu memerhatikan Risma dan Ferdi sedang persentase, kemudian hati ini berkata dengan bertubi-tubi. 'Kelak kamu harus jadi seperti mereka ya nak, pintar dan giat kerja membangun perusahaan kakek. Karena kakek gak punya anak lagi, jangan turut ayah kamu yang malas itu. Hobi selingkuh tapi gak mau kerja, kalau dia bisa konsisten mungkin perusahaan tak akan mengalami penurunan. Hmm ... memang pendidikan ke Amerika yang aku berikan tidak merubah pola pikir anak itu,' kataku dalam hati.

Tak berapa lama, persentase pun berhenti, pembahasan perihal semua yang di lakukan oleh dua rekan kepercayaan perusahaan membuat aku percaya dan masuk akal. Bulan ini memang banyak sekali peningkatan, akan tetapi tidak dapat di pungkiri kalau di luar sana banyak tender persaingan ketat antara perusahaan aku dan yang lainnya. Itu adalah faktor yang membuat pertumbuhan semakin terasa, persaingan pun begitu ketat.

"Baiklah bapak dan ibu yang berhadir di rapat kali ini, demikian rapat ini dan kami mohon maaf kalau ada perkataan yang tidak berkenan. Semoga kita selalu bersemangat demi memajukan perusahaan, karena perusahaan ini adalah dapur kita bersama, sekian dan terima kasih." Risma menutup pertemuan siang ini dengan sangat mantap.

Semua karyawan pun bertepuk tangan termasuk aku yang hanya mendengarkan tanpa memberikan sebuah pengarahan. Ya, kali ini karyawanku sangat disiplin dan baru meninggalkan ruang rapat di kala pembahasan sudah selesai. Serta tak ada yang ketinggalan ketika tidak dalam pemantauan, kali ini aku percaya kalau orang lain lebih bisa di andalkan daripada anak sendiri.

Tepat di depan komputer, Ferdi dan Risma tampak sangat serius mengerjakan semua pekerjaan mereka. Aku membangkitkan badan dan menemui mereka berdua, setibanya di samping kanan Ferdi, keduanya menoleh ke arahku.

"Eh, Bos, kenapa belum balik?" tanya Ferdi.

"Iya nih, hari ini aku gak bisa kerja karena full ajak jalan-jalan si bocil," kataku menjawab.

"Ini anak siapa kalau boleh tahu, Bos?" tanya Ferdi lagi.

"Ini cucu aku, anak dari Reno. Tadi pagi dia datang ke rumah, dari pada suntuk mending aku ajak jalan-jalan aja dia," paparku menjelaskan.

Keduanya mengangguk, kemudian Risma pun datang dan mememui aku. "Bos, aku boleh gendong enggak?" tanyanya.

"Boleh-boleh, kamu mau gendong yang kecil atau yang besar?" ledekku bercanda.

Mereka tertawa dengan sangat malu, kemudian Risma pun menggendong Pratama dan kali ini mereka terlihat akrab juga.

"Aduh ... nama kamu siapa adek kecil?" tanya Risma.

"Namanya Pratama tante ...," jawabku.

"Hu hu hu ... nama yang bagus. Kapan, ya, Tente punya anak, udah lama tante pengen punya anak tapi —"

"Kapan lagi Risma, jangan di tunda-tunda," sergah Ferdi dari samping sambil menatap.

"Ya, sebenarnya gak di tunda sih, Fer. Tapi ... memang belum bisa ngisi, padahal tiap malam kami perang dunia di kamar tidur, tapi belum rezeki."

"Kamu ganti suami aja, Risma. Kalau mau biar kita tes, mana tahu jadi," kataku menyambar, ledekan itu membuat kedua karyawan meringis lucu.

Memang sebagai seorang CEO, aku sangat suka meledek para karyawan agar tidak setres bekerja dengan monoton, tawa sedikit saja sudah membuat hiburan buat mereka. Karena wajah mereka tampak sangat tegang, kemudian aku memiliki ide untuk mengajak kedua karyawan makan siang. Sebagai tanda terima kasih, karena keduanya mampu memimpin perusahaan ini menjadi lebih baik.

"Kalian udah makan siang belum?" tanya spontan.

"Belum, Bos," jawab keduanya.

"Kalau kalian mau, siang ini kita makan ke mall mau?" tanyaku lagi

"Yang bener, Bos?" Jawab mereka serempak.

Dengan anggukan kemudian aku menjawab, "iya ... lagian kapan sih aku pernah bohong, kalian naik mobil aku aja sekalian kita akan beli bonus buat karyawan di perusahaan. Kan, bentar lagi gajian aku mau beli baju untuk kalian semua," paparku mengajak.

"Alhamdulillah ... memang kalau rezeki gak ke mana, zaman sekarang masih saja ada orang dermawan seperti si Bos," puji Ferdi.

"Udah jangan berlebihan, kalian ikut aku dan tanya di grup list pesanan dengan ukuran baju bilang cepat balas," kataku memerintahkan.

"Siap bos ... meluncur. Sekarang kita pergi ini, Bos?" tanya Ferdi lagi.

"Ya, sekarang kita pergi," jawabku.

Bersambung ...

3 Miliyar Sekali EntotWhere stories live. Discover now