Lembar ke 96 - Tulah Lidah Ireng

154 18 3
                                    

Tiga hari kemudian, Gandari memekik keras dari dalam kamar, suara jeritannya sampai terdengar ke dapur hingga membuat beberapa dayang berlari berhamburan menuju kamar sang ratu. Pun begitu dengan Pradipto yang bersiap-siap menuju bangsal keraton buat bertemu dengan para menteri, lelaki ini berlari menuju kamar khawatir akan keadaan sang istri terlebih lagi terhadap anaknya, Seto Kaladanu.

Gandari menjerit karena terkejut sekaligus tak menyangka jika luka bakar yang muncul diwajahnya begitu mengerikan, meskipun sudah diperingatkan oleh Datuk Segala Sesat namun bagaimanapun melihat rupa anaknya yang biasanya menggemaskan menjadi cacat mengerikan benar-benar mengguncang hati.

Para dayang yang tadi berhamburan menuju kamar agung itu tak berani mendekat, dayang-dayang itu hanya bungkam seraya menundukkan kepala takut melihat sang ratu yang menangis tersedu-sedu sambil menggendong anaknya.

"Dinda! Apa yang terjadi?" Tanya Pradipto begitu tiba disana. Serta Merta seluruh dayang dan prajurit di sana jatuhka diri berlutut.

"Kanda! Anak kita, anak kita..." Gandari rasakan lidahnya seakan copot tak mampu teruskan bicara.

"Kenapa anak kita?" Panik Pradipto seraya meraih anaknya dari gendonga Gandari, begitu melihat sosok anaknya keluarlah suara kejut sang prabu Talawi itu. Untung saja mentalnya kuat, jika tidak tentu saja tangannya yang menggendong akan lepas dan anak bayi itu jatuh terhempas ke lantai.

"Anakku!" Kejut Pradipto.

Seto Kaladanu alias si bayi setan mengalami kerusakan kulit di pertengahan wajahnya, mulai dari dagu sampai kening tampak hitam seperti gosong, belum lagi ada bagian luka melepuh seperti terbakar.

"Kenapa anak kita Dinda?" Tanya Pradipto cemas, sementara Seto mulai menangis mengoek.

Putri Gandari hanya menggeleng sambil kucurkan air mata.

"Lekas panggil tabib!" Perintah Pradipto.

Beberapa prajurit langsung berhambur guna memanggil tabib istana. Pradipto tidak sadar jika luka bakar diwaja Seto akibat dari ilmu Ki Lidah Ireng guna menandai si pelaku pembunuh haus darah yang akhir-akhir ini menghantui negeri Talawi.

Beberapa saat kemudian sang tabib istana yang berpakaian seperti pertapa serba putih datang menghadap, bersamanya ada seorang pembantu remaja laki-laki dan juga turut hadir menyertai Penasihat Raja.

Tabib Istana yang bernama Ki Maraya itu tertegun sesaat begitu melihat keadaan bayi yang akan diperiksanya.
Hatinya pun tercekat.
"Ilmu Tulah Lidah Ireng" si Tabib mengenali penyebab penyakit Seto Kaladanu.

Serta merta si tabib merapal doa buat menentramkan hatinya yang mendadak gelisah. Setelah kuatkan hati tabib ini memeriksa luka Bayi Setan seraya mengobati sebisa mungkin.

Hampir sejam pengobatan itu berlangsung hingga Tabib itupun selesai.

"Bagaimana tabib?" Tanya Pradipto cemas.

Tabib Istana menghela nafas berat, dia meminta agar para prajurit dan dayang-dayang disuruh menjauh dahulu. Pradipto segera memerintahkan dayang dan prajurit meninggalkan kamar.

"Ampun Gusti prabu! Kepandaian hamba masih jauh dari kata sempurna, hamba tidak dapat mengobati ananda pangeran Seto Kaladanu meski penyebab penyakitnya sudah hamba ketahui" Tabib Istana berlutut diikuti pembantunya. Keduanya menghaturkan sembah memohon maaf.

"Tidak mungkin! Kau adalah tabib terbaik di negeri Talawi, bagaimana mungkin penyakit kulit seperti itu saja tak dapat kau obati?" Pradipto berbicara sambil menindih gelegak darahnya yang mulai panas.

"Ampun Gusti, hamba benar-benar tidak sanggup" Tabib bahkan telah jatuhkan diri bersujud.

Penasihat Raja mencoba menenangkan Gusti Prabu Pradipto Diprabhumi. Pradipto menghela nafas buat membuang rasa marahnya.
"Baiklah jika kau memang tidak mampu, tapi tolong katakan penyakit apa yang diderita anakku! Aku tak mau anakku tumbuh menjadi lelaki cacat!" Pradipto mulai bimbang, mungkinkah penyakit bau busuk dan berkulit cacat yang pernah diidapnya dahulu kini turun kepada anaknya.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Where stories live. Discover now