Lembar ke 31 - Bukit Kilat Hijau

189 27 5
                                    

Tokoh-tokoh:
Timur Agung
Gilang Kusuma
Mayang Bestari
Dewi Ular
Anari
Megumi
***

Timur Agung, Gilang Kusuma dan Mayang Bestari membedal kudanya dengan keras, tiga kuda pun berlari dengan kencangnya, laksana anak panas yang terlepas dari busurnya.

"Kenapa kita harus terburu-buru kek?" Tanya Mayang yang terheran-heran karena sang kakek menjadi begitu bersemangat memacu kuda hingga dia dan Gilang terpaksa mengikuti.

"Lebih cepat kita sampai ke Bukit Kilat Hijau akan lebih baik, entah mengapa perasaan kakek menjadi tidak enak, seperti ada hal yang mengganjal hati, tetapi tidak tau apa, hanya perasaan saja yang jadi tak menentu" jawab si kakek dengan suara keras agar tak tertindih suara gedebuk kaki kuda.

"Mungkin kakek masih kepikiran dengan kejadian di Lembah Air Mata" sahut Mayang dengan tak kalah keras.

"Mungkin, tapi bukan itu juga. Terus terang kakek sudah tidak mau mengingat-ingat tempat itu lagi, cukup kemarin hari terakhir kali kakek menginjak tempat itu" sahut si kakek dengan tidak mengendurkan kekang kuda.

"Kakek takut sama mereka?" Tanya Mayang.

"Terus terang kakek akan sulit menghadapi pemuda sesat itu" ucap Timur Agung, yang dimaksud dengan oemuda sesat adalah Wisnu Dhanapala.

"Eyang, lebih baik tidak usah membahas itu dulu" untuk pertama kali Gilang buka suara. Sungguh dia tak ingin membicarakan hal-hal yang berhubung dengan Wisnu Dhanapala bekas guru sekaligus mantan kekasihnya. Hatinya masih panas dilanda cemburu. Masih terbayang dibenaknya betapa mesranya Wisnu tatkala memeluk Pradipto bahkan mencium Pangeran Bangkai itu.
Hatinya geram bukan main.
"Pradipto, tunggu saja. Setelah pedang Naga Merah dan kitab pusaka ayahku ku dapatkan, kau adalah orang pertama yang akan ku tebas dengan pedang sakti itu" dendam Gilang di dalam hati.

"Wisnu Dhanapala adalah milikku, kekasih terindahku, tak ada yang bisa menggantikan posisinya dari hatiku, sekalipun oleh seribu orang istri secantik bidadari apalagi cuma seorang Mayang Bestari" kata hati Gilang lagi.

Mayang Bestari yang melihat suaminya melamun segera menegur sang suami.
"Kang? Kakang tidak apa-apa?" Tanyanya.

"Kakang tidak apa-apa, hanya saja luka dalam kakang sedikit kambuh lagi" jawab Gilang dengan bohong.
"Masih lama kita sampai eyang?" Gilang alihkan pembicaraan dengan bertanya hal lain.

"Sudah dekat, kalian lihat bukit tinggi yang dipenuhi pohon-pohon hijau besar itu? Itulah Bukit Kilat Hijau" Tunjuk Timur Agung sambil menunjuk ke bukit yang mulai kelihatan di depan.

Gilang dan Wisnu mulai berdebar-debar, hati mereka mulai menduga-duga hal apa yang akan mereka temui di bukit itu.

Mereka tak tau, bahwa di satu puncak pohon ada dua ekor ular hijau tengah mengawasi. Bukan ular biasa, melainkan ular jejadian, anak-anak buah Dewi Ular.
***

Di Bukit Seribu Ular yang berjarak tak seberapa jauh dari Bukit Kilat Hijau.

Ruangan berwarna hijau berseling emas itu cukup aneh, meski berbentuk seperti satu ruangan besar layaknya aula istana namun disana tidak ada pintu maupun jendela. Namun di tengah ruangan hanya ada satu tiang berukuran sedang yang menjulang ke atas, menuju langit-langit ruangan yang ternyata ada lobang selebar pemasukan manusia, ini adalah markas Dewi Ular, dan tiang tadi adalah jalan keluar masuk melalui lubang di langit-langit, tak heran karena ruangan ini ada di dalam tanah.

Di satu sisi ruangan terdapat satu singgasana yang indah sekali, berwarna kekuningan berkilau karena terbuat dari emas, di beberapa bagian singgasana tampak butiran-butiran batu beraneka warna. Diatas singgasana itu ada seorang perempuan cantik sekali, memakai pakaian sutera hitam tipis, sangking tipisnya pakaian itu membuat tubuhnya yang montok nyaris menerawang jelas. Perempuan itu tidak mengenakan pakaian dalam. Perempuan ini tengah berbaring menyamping dengan malas. Dia lah Dewi Ular, di atas kepalanya bertengger makhkota berbentuk kepala ular kobra.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Where stories live. Discover now