Lembar ke 18 - Duel

206 28 4
                                    

Tokoh-tokoh:
Pangeran Bangkai
Wisnu Dhanapala
Candrika Dewi
Kandito
Gilang Kusuma
Empu Barata
Timur Agung
Embun Salju
Pangeran Wilantara
Mayang Bestari
***

Rencana awal ingin sarapan ke pasar batal, semua karena Pradipto dan Wisnu menghabiskan waktu terlalu lama di sungai.
Candrika cemberut melihat kepulangan kedua orang itu sehabis mandi.

"Kakang habis mandi atau apa? Lama sekali" sungutnya kesal.

"Maaf, tadi menunggu pakaian ini kering dahulu" ucap Pradipto sembari menunjuk kepada gulungan kain yang membungkus tubuhnya.

Candrika mengerutkan dahi sembari melihat pakaian sang kakak yang terlihat lebih putih sedikit dari biasanya.

Sementara di sebelah Pradipto, Wisnu berdiri tegak sembari meniup-niup payungnya yang kejatuhan serbuk-serbuk tanaman liar.

"Sudah-sudah! Nanti saja berdebatnya, aku sudah kelaparan. Ayo kita ke pasar, sebelum makanan enaknya habis!" Kandito tanpa tunggu persetujuan melangkah terlebih dahulu. Candrika mengikutinya.

"Bagaiamana? Kau mau ikut mereka ke pasar?" Tanya Pradipto pada Wisnu, rasa canggung dan malunya pada pemuda itu sudah sirna, semua berkat kedekatan dan keakraban mereka pagi ini, apalagi masih terbayang di benak Pradipto betapa tulusnya Wisnu membersihkan tubuhnya di sungai tadi.

"Terus terang, aku memang lapar. Kau sendiri tidak ke sana?" Tanya Wisnu sembari menggantungkan kembali payung senjatanya di punggung, di sana sudah terlebih dulu menggantung pedang hijau miliknya.

Pradipto menggeleng.
"Kalau aku masuk ke warung, bisa-bisa orang bubar karena menahan mual. Kau sajalah yang ke sana, biar aku menunggu disini saja. Tapi jangan lupa belikan aku barang sebungkus nasi pakai..."

Ucapan Pradipto terhenti karena Wisnu telah menarik tangannya melangkah mengikuti Candrika dan Kandito.

Pradipto meski berat hati mau tak mau menurut pula, entah mengapa dia yang biasanya selalu berwibawa di depan ke dua adiknya kini harus menurut dan luluh pada Wisnu.

Tak perlu waktu lama mereka hampir tiba di pasar.

"Kalian berdua tunggu di sini! Kakang Wisnu temani kakang Pradipto ya, kasihan kalau dia harus menunggu sendirian" ucap Candrika sembari tersenyum-senyum.

"Kenapa kita semua tidak masuk ke pasar saja?" Tanya Wisnu heran.

"Bagaimanapun kami tahu peradatan, bukan maksud kami mengucilkan kakang Pradipto dari pergaulan masyarakat, tetapi kami tak mau membuat orang-orang di sana merasa terganggu dan tidak nyaman, lagi pula bisa-bisa terjadi keributan karena berkelahi dengan orang-orang yang menghina kakang Pradipto" yang menjawab adalah Kandito.

Bagi Wisnu ini adalah kalimat terpanjang yang keluar dari mulut pemuda satu ini sejak pertemuan mereka tadi malam.

"Ya sudah, pergilah kalian. Kakang pesan nasi urap dengan telur rebus dan rempeyek" ucap Pradipto, pemuda berpenampilan layaknya mumi ini duduk menjelepok diatas rumput di bawah sebuah pohon kayu.

Candrika putar mata menatap pada Wisnu, ingin tahu pemuda ini mau pesan apa.

"Samakan saja dengan Dipto" ucap Wisnu.

Candrika dan Kandito pun melangkah meninggalkan mereka. Keduanya masuk ke pasar yang meski hari telah beranjak siang namun suasana masih ramai. Mereka menuju sebuah warung terbesar di pasar itu hingga warung itu tak ubahnya seperti sebuah rumah makan.

Keduanya langsung menuju ke rak dan meja pajangan makanan, memesan empat bungkus nasi beserta lauk pauknya.

Keduanya tidak sadar bahwa di satu meja ada sepasang mata milik seorang perempuan berpakaian serba merah menatap mereka dengan lekat.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα