55: ILUSI?

872 83 15
                                    

Lopez menatap wajah Austin meminta penjelasan tentang keadaan anak perempuannya. Austin memandang Lucena yang sedang berbaring membelakanginya. Esakan gadis itu kecil namun masih dapat didengari oleh mereka.

Austin bangkit dari kerusinya lalu keluar bersama dengan Lopez. Dia melepaskan kaca matanya lalu memandang satu persatu wajah di hadapannya. Dia mengeluh kecil sambil menggelengkan kepalanya, erti menjawab segala tatapan yang ditunjukkan keluarga Rodriquez kepadanya.

Lopez memejamkan matanya rapat. Leander mengetap rahangnya kuat lalu segera beredar dari bilik Lucena. Learco menunduk sayu, air matanya perlahan mengalir keluar dari tubir mata.

" Maafkan saya... Saya tidak mampu untuk menolongnya... Kejadian itu benar-benar memberikannya tamparan yang hebat pada tuan puteri... Saat ini kita hanya mampu berdoa dan berusaha sedaya upaya untuk memberikan sokongan kepada tuan puteri untuk bangkit kembali..."

Lopez meraup kasar wajahnya sambil matanya tidak lepas menatap tubuh anak gadisnya yang berbaring membelakangi mereka.

" Saya minta diri dulu.."

" Ya... Baiklah... Terima kasih, Doktor Austin..." Lopez menghadiahkan senyuman kecilnya.

" Saya tidak membantu banyak... Saya harap... Yang Mulia Archduke kuat menghadapinya...." Austin menepuk perlahan bahu Lopez. Lopez kemudian menghantar Austin sehingga keluar rumah agamnya.

Learco masih lagi berada di bilik Lucena. Dia perlahan duduk di sisi katil lalu mencium sisi kepala Lucena.

" Abang... rindu Cena.." bisik Learco lalu perlahan melangkah meninggalkan Lucena di biliknya.

Air mata Lucena tak pernah berhenti mengalir keluar. Cincin di tangannya itu, dikucup penuh kasih.

" Eric... Eric.."

Bibirnya tidak pernah berhenti menyeru nama itu. Berharap agar Eric muncul di hadapannya dan mendakap tubuh itu dengan erat.

~~~~

Lucena menatap wajah pucat itu sambil tangannya melekap di pipi Eric. Kini, berbaki dua minggu lagi hari perkahwinannya bersama dengan Edward. Hatinya resah memikirkan keadaan Eric yang masih lagi terbaring kaku di atas katil. Haruskah dia berputus asa dengan Eric? Haruskah dia melepaskannya?

Air mata Lucena menitis. Dia mengucup penuh kasih kekura tangan Eric.

" Eric.... Saya..."

Lucena tidak mampu untuk meluahkan walau satu pun perkataan ingin melepaskannya ia pergi. Itu terlalu sakit untuk Lucena. Dia tidak mampu dan tidak rela untuk melakukannya.

" Saya.. tetap akan tunggu awak, Eric... Saya tunggu awak.." Lucena perlahan mengucup dahi Eric bersama dengan titisan mutiara jernihnya yang menitis di wajah pucat Eric.

" Saya mohon... kembali pada saya, Eric... Saya mohon... kembalilah...pada saya.."

Esakan Lucena mulai kedengaran sehingga ke luar bilik. Yurian dan Lance hanya mampu mengeluh kecil setiap kali mendengar esakan halus Lucena tatkala Lucena datang ke rumah Yurian melawat Eric. Sudah menjadi kebiasaan mereka mendengar tangisan pilu Lucena dari luar bilik.

" Luka di tubuhnya sudah pulih.... Racunnya juga sudah dimurnikan... Tapi entah kenapa... Dia masih lagi tidak membuka matanya...." keluh Yurian sambil menyisip perlahan teh hangatnya.

" Kita harus tetap percaya pada Eric... Suatu hari nanti pasti dia akan sedar kembali.." ujar Lance perlahan.

Lucena tekun mengusap wajah pucat Eric. Satu senyuman kecil terukir di wajah Lucena tatkala hujung jarinya menyentuh bibir Eric. Jari-jemarinya lembut bermain di sekitar wajah Eric. Air matanya tidak berhenti mengalir keluar dari tubir matanya.

" Sampai bila kau nak bermain dengan bibir aku... Dasar gatal.."

Lucena tergamam apabila mendengar dan melihat bibir Eric bergerak. Dia segera menarik tangannya menjauhi Eric. Matanya terbutang luas, jantungnya bergedup kencang.

" Eric?"

Eric perlahan membuka matanya. Cahaya mentari yang menyinari bilik itu sedikit menyakitkan mata Eric. Namun digagahkan jua untuk membukanya.

Lucena masih lagi tergamam dengan apa yang baru sahaja dia dengar dan lihat. Tubuhnya saat ini mengeletar hebat.

Eric memerhati keadaan sekelilingnya sebelum matanya segera menangkap wajah Lucena yang terkedu di sisinya bersama dengan titisan mutiara jernih di wajah.

" Kau nangis?" Eric senyum tipis sambil jarinya lembut menyapu air mata Lucena.

Lucena masih lagi membatu namun air matanya tetap tumpah membasahi wajah. Tangannya perlahan naik ingin menyentuh wajah yang berada di hadapanya.

" Eric..."

Eric senyum, jarinya tetap setia menyapu air mata di pipi gebu itu. " Ya.."

" Eric.." seru Lucena lagi bersama esakan kecilnya.

Eric ketawa kecil. " Ya... Sayang..."

" Eric..."

" Eric..."

Lucena terus menerus memanggil nama itu sambil tangannya tetap setia membelai pipi Eric. Air matanya setia mengalir keluar setiap kali dia menyeru nama itu.

" Ya... Sayang.."

" Ya.."

Dan setiap kali itulah, Eric tetap menyahut panggilan Lucena. Dia juga tetap setia menyapu air mata Lucena di wajah manis itu.

" Eric...."

Esakan tangisan Lucena semakin kuat kedengaran. Eric perlahan memeluk tubuh kecil itu menyembam wajah yang basah dengan air mata di dadanya. Tangannya naik membelai penuh kasih rambut Lucena.

" Shh... Semuanya baik-baik sahaja.." bisik Eric perlahan sambil mengucup ubun-ubun Lucena.

Lucena memeluk tubuh Eric erat tanpa ingin melepaskannya untuk kali yang kedua. Kehangatan tubuh Eric begitu jelas terasa mendakap tubuhnya. Belaian kasih Eric di rambut dan kepalanya begitu nyata terasa olehnya. Benarkah apa yang dia rasa saat ini? Benarkah ini bukan hanya ilusinya? Benarkah ini bukan mimpi?

Jika ini hanya ilusi, jika ini hanyalah mimpi. Dia berharap untuk terus hidup di dalam ilusi itu. Dia berharap agar dia tidak akan pernah bangun dari mimpi itu. Kerana apa yang dia rasakan saat ini tidak lain tidak bukan adalah sebuah kebahagian nyata untuknya.


REWRITE MY OWN DESTINY (COMPLETE✔️✔️)Where stories live. Discover now