WORTH IT -43

45 4 0
                                    

Alder menghentikan mobilnya tepat di
istrinya, nihil, hanya  gema pantulan suaranya sendiri yang menyahut. "Kamu dimana, mbin?!!!" Teriak Alder sambil mengintari setiap jengkal rumahnya, sampai di rooftop pun ia tak dapat menemukan keberadaan istrinya. "Gak mungkin Chyra sama Gadish, dia lagi nganter mama ke Bandung. Sama Neon? gak mungkinlah! Weekend ini Neon mau mancing sama Alba." Gumam Alder ditengah paniknya. Ia menelpon Nomor Chyra dan terdengar nada dering di ponsel milik istrinya yang tergeletak di atas sofa. Chyra pergi tanpa membawa ponsel, sesuatu pasti telah terjadi karena Chyra tidak mungkin meninggalkan ponselnya.

Alder meraup wajahnya frustasi, ia lalu keluar rumah dan pergi ke rumah tetangganya untuk bertanya.

"Nak Alder..." Seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh saat melihat Alder.

Alder yakin pasti pak Santo mengetahui sesuatu. Terlihat dari raut wajahnya dan tingkahnya yang terburu-buru.

"Nak Alder, nak Chyra tadi kabur bawa mobil setelah ngebenturin laki-laki ke jendela sampe pecah. Sebelumnya saya lihat pak satpam dilukai orang itu."

"Chyra kabur kemana pak?" Tanya Alder dengan perasaan tidak menentu.

"Ke arah biasa kalian pergi sekolah, saya tidak tahu karena langsung lapor polisi untuk menangkap orang itu dan membantu pak satpam ke rumah sakit."

Alder menghela nafasnya yang terasa berat, "terima kasih ya, pak. Kalau begitu saya pamit dulu, mau cari istri saya." Alder lalu berlari ke rumahnya, ia langsung melihat rekaman cctv di depan rumah. Ia terbelalak melihat aksi Chyra saat melawan Rudy dan dibuat ngeri kala kepala Rudy Chyra hantam kan pada kaca jendela, Alder sampai meringis melihat rekaman darah yang memuncrat dari kepala Rudy. Pantas saja, Chyra sampai berani melabrak Rudy sendirian. Rupanya istri cantiknya itu bisa berubah menjadi monster yang mengerikan.

Setelah itu ia melihat rekaman Chyra yang pergi membawa mobil pink miliknya. Alder berdecak, andai saja Chyra membawa mobil Alder. Pasti dengan mudah Alder menemukannya karena bisa dilacak. Sedangkan, mobil Chyra tidak bisa dilacak.

"Hallo, Neon. Bawa anak-anak lain dan kumpul di rumah gue, rumah baru bukan rumah ortu." Ucapnya pada telepon yang menempel di telinganya.

"Are you okay, Der?" Tanya Neon dari sebrang sana. Ia bisa merasakan nada bicara Alder yang terdengar kacau.

"Ini kacau banget, gue butuh bantuan kalian sekarang." Ucapnya langsung mengakhiri panggilan tersebut.

***

Chyra terdiam dengan tatapan kosong, tak pedulikan tiga pasang mata yang menatapnya dari ruangan lain. Ia hanya duduk termangu di dekat jendela.

"Geulis pisan, Gusti..." Lirih Panji, laki-laki yang menolongnya. Saat Chyra pingsan laki-laki itu membawa Chyra pulang ke rumahnya yang jauh dari kampung Damar itu.

* Cantik sekali, tuhan...

"Ya wajar atuh, orang kota mah cararantik." Timpal Siti, ibunda Panji.

"Abdi bogoh, Mak..." Lirihnya menatap melas pada Chyra yang tengah melamun menatap ke luar jendela.

*Saya cinta, Bu

Pletak! Kening Panji di jitak oleh sang nenek yang dari tadi juga tengah memperhatikan Chyra.

"Kunaha si, yot, sok asal jitak wae teh?" Kesalnya pada sang nenek. Oyot, nenek itu dipanggil oyot yang artinya nenek dalam bahasa Sunda.

*Kenapa si, nek, suka asal menjitak saja

"Perempuan itu sedang hamil." Ucap nenek  Ipah pada cucunya.

"HAH?!!!" Ibu dan anak itu langsung terkejut mendengar ucapan sang nenek.

Chyra mengusap air matanya, ia tak peduli meski mendengar percakapan sang pribumi yang sedang membicarakannya. Hingga ia terkesiap saat  nek Ipah menghampirinya.

"Neng, jangan nangis ya, di sini aman." Ucapnya seraya mengusap bahu Chyra. Panji dan Siti juga mengangguk mengiyakan ucapan sang nenek.

"Terima...kasih... " Ucap Chyra tersenyum tegar, walau saat ini ia ingin menjerit karena tak tahu dirinya berada di mana. Di sini suasananya jauh lebih kampung, rumah-rumah juga masih jadul.

"Makan dulu hayuk, kasihan bayi di kandungan eneng."

"Maaf, nenek tahu dari mana saya sedang hamil?" Heran Chyra dengan kening mengerut.

"Kelihatan atuh, neng. Orang hamil mah, wajahnya bercahaya karena ada malaikat yang menjaga bayi Eneng." Tuturnya tersenyum manis, mau tak mau Chyra juga tersenyum sambil mengusap perutnya.

"Ayo makan ya, neng. Biar sehat bayinya."

Chyra mengangguk langsung menerima rangkulan nek Ipah, wanita berumur senja itu menggandeng Chyra ke meja makan.

"Mak, Panji Bogoh, mak..." Rengek panji pelan.

"Jangan, Panji. Dia lagi hamil, udah kawin apa belum juga." Ucap Siti sambil mengambil benang dan jarum untuk menjahit kebaya milik nek Ipah.

"Jangan suudzhan, mak." Decak Panji.

"Siapa tahu, Panji. Orang kota itu kehidupannya liar. Kalo gak nakal itu awewe pasti sudah kawinan. "

*Awewe : perempuan.

"Jangan mikir yang aneh-aneh mak, orang Kota gak semuanya jelek atuh."

Siti tak mempedulikan ucapan anaknya, ia sibuk menjahit tak ingin menanggapi ucapan Panji.

Panji hanya terdiam menatap kecantikan Chyra yang sedang mengobrol dengan neneknya di meja makan. Chyra terlihat lucu saat disuapi makan dengan nenek Ipah, bukan keinginan Chyra, beliau sendiri yang meminta untuk menyuapai Chyra makan.

" Neng Chyra teh sudah menikah?"

Chyra mengangguk, "sudah, Nek. Belum lama, baru tiga bulan lalu."

"Wah, di desa ini seumuran eneng anaknya sudah sekitar dua tahunan. Rata-rata anak perawan dinikahkan lagi umur lima belas tahun." Cerita nek Ipah.

Chyra hanya terdiam, tatapannya kembali sendu saat kembali teringat Alder. Suaminya itu pasti tengah panik mencarinya.

Nek Ipah yang paham isi pikiran Chyra itu langsung kembali mengajaknya mengobrol. "Nama asli neng Chyra itu apa?"

"Chyragadh Gardanish, nek."

"Aduh... Namanya teh kayak orang Walanda, tapi wajah neng Chyra kayak China." Ucap nenek Ipah mengungkapkan isi hatinya. Walanda,  sebagian orang Sunda menyebut Belanda dengan kata walanda.

Chyra hanya tersenyum, nampaknya kehidupan di sini teramat jauh berbeda dengan kehidupannya di Jakarta.

"Nenek kira di kota mah gak ada yang kawinan muda"

"Jodoh saya datang terlalu cepat, nek."

Nek Ipah tersenyum teduh, wanita dengan kulit yang keriput itu menyeruput teh dalam mug besarnya.

"Gapapa, neng. Semoga panjang jodoh. Kalo disini umur delapan belas tahun belum nikah itu suka di omongin, padahal tergantung si anaknya siap atau tidak. Memang sudah adatnya begitu."

Chyra mengangguk, ternyata nek Ipah memiliki pikiran yang luas juga, tidak kolot seperti nenek-nenek yang ia kira.

"Eneng di sini saja dulu, kalau sudah sehat nanti diantar sama si Panji."

Chyra mengangguk, walau ia tahu sekhawatir apa Alder. Toh, ia sendiri tidak tahu jalan pulang. Ia harus bersabar, demi keselamatan bayi yang dikandungnya. Ia harus bisa bertahan di tempat yang baginya masih primitif, suasana asri pegunungan dan sawah, rumah warga yang terbuat dari ubin, ia harus beradaptasi walau tak selamanya berada di sini. Ia harus tetap tenang, karena tuhan selalu melindunginya, Chyra yakin itu.

WORTH IT [END]Where stories live. Discover now