a letter from Alisha

198 16 5
                                    

NIH UPDATE NICHHH





"Fotokopi dua rangkap, terus email yang udah saya kirim dilanjutkan ya.  Malam ini harus udah selesai"

Alisha hanya bisa mengangguk sambil tersenyum paksa kepada Mbak Aul yang baru saja menaruh banyak berkas di mejanya. Sementara Amanda, teman satu divisinya terkekeh. Ia memajukan kursi ke arah Alisha.

"Semangat deh, gue juga dulu pas awal-awal gitu. Lagi diuji itu Al"

Alisha hanya bisa menghela nafas. Padahal niatnya malam ini akan bertemu dengan Maudy untuk mencari kado Darren. Tunangannya sudah tinggal dua hari lagi, jika esok dan esoknya akan sama, mungkin Alisha tidak akan bisa membeli kadonya.

Ia mengistirahatkan otak dengan meminum kopi. Tak jarang Alisha mendapatkan pesanan untuk kantornya, memang kopi Alisha seenak itu. Bahkan teman-teman kantor Alisha memintanya untuk membuat kemasan botolan supaya bisa dijual di kantin kantor.

"Gue ngga istirahat deh Man. Ini masih banyak banget"

Amanda tersenyum. Ia mengangguk lalu keluar sendiri. Oh iya, mereka berteman saat Alisha magang disini. Amanda orang pertama yang mengajaknya berbicara, gadis itu dulu banyak omong tapi sekarang lebih diam. Ternyata dulu ia memang diwajibkan untuk banyak bicara.

Untung tadi pagi sempat memasak jadi Alisha bisa makan sembari mengerjakannya. Setidaknya hari ini tidak lembur sampai larut seperti kemarin.


🌼🌼🌼

Barra tiba di Indonesia hari ini. Dua hari sebelum pertunangan Darren, sahabatnya. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama pada saat pernikahan Biel. Pesawatnya baru saja mendarat dengan selamat, kini ia sedang menunggu kopernya.

Sedangkan Zahra akan menyusul pulang besok karena jadwal kontrolnya masih ada. Sebenarnya bisa saja tapi Zahra akan lebih lama di Indonesia nantinya. Sesuai permintaan bundanya itu, nanti Zahra akan ke rumah temannya.

Di bandara ia tidak dijemput siapapun dan tidak mengharapkan apapun. Ia pulang saja tidak memberi tahu siapa-siapa, bahkan ke sahabatnya saja Barra bohong.

Ia menaiki taxi yang ramai sudah terparkir. Kembali menghirup udara Jakarta, bersama dengan polusinya dan kemacetan. Bisa dibilang, di Berlin jarang sekali terjadi macet. Orang-orang juga lebih banyak menggunakan transportasi umum dibanding milik pribadi.

Ia menatap gedung tinggi setelah menyebutkan alamatnya kepada supir. Rumahnya kini telah pindah, dekat dengan kantor perusahaan Alexander. Itu baru terjadi setahun lalu karena Alex sudah capek harus bolak-balik ke kantor.

Ia membayar taxi—nya lalu segera masuk kedalam rumah. Rumahnya masih sama, masih sepi. Entahlah tidak ada yang berubah walaupun orang tuanya sudah berumur.

Ah kalian belum tahu bukan?

Mamah Barra alias Gia mengalami keguguran seminggu sebelum melahirkan. Secara tiba-tiba janinnya tidak bergerak dan harus dikeluarkan. Jika tidak itu akan membahayakan kesehatan Gia. Gia sempat stress beberapa bulan, sempat mogok makan juga tapi Barra tidak melihat secara langsung.

Waktu itu ia tidak boleh pulang oleh pihak beasiswa. Jadinya Barra hanya tau lewat telepon.



"Loh???" Kaget Gia melihat pintu kamar Barra terbuka. Barra menoleh, ia menghampiri dan memeluk mamahnya.

"Maaf ngga bilang mah, biar surprise"

Gia tersenyum. "Dijemput papah?"

"Papah juga ngga tau aku pulang"

"Mamah telepon papah ya. Kamu makan dulu gih, kangen masakan Indonesia kan?"

Barra hanya bisa mengangguk. Setelah beres-beres ia pergi ke meja makan. Mungkin selain sahabat dan keluarga, yang Barra rindukan ialah makanan khas Indonesia. Itulah yang tak terganti, disana sangat jarang ada restoran Indonesia.

About Barra 2 [TAMAT]Where stories live. Discover now