Chapter CMV

874 300 31
                                    

“Huri, sejak pagi Ayah dan Ibu terlihat sangat sibuk. Apa kau tahu alasannya?”

Huri yang semula tertunduk, segera menoleh pada suara yang ternyata milik Kakaknya, Ihsan, “Ayah ingin melamar Takumi untuk menjadi suamiku,” jawaban Huri membuat Ihsan yang kala itu sedang menuruni tangga seketika terdiam.

“Apa yang kau maksudkan?” Ihsan lagi-lagi bertanya, tapi kali ini dengan raut wajah yang sudah berbeda dari sebelumnya.

“Huri yang meminta Ayah untuk melakukannya-”

“Takumi?” Ihsan menyebut nama tersebut diikuti alisnya yang terlipat, diselimuti keheranan, “kau sedang tidak bercan-”

“Aku mencintainya, Kak!” seru Huri, menyergah cepat ucapan Ihsan, “Huri, jatuh cinta padanya,” lanjut Huri sambil beranjak dari kursinya.

“Hanya Takumi, laki-laki yang ingin sekali Huri jadikan sebagai pendamping.”

“Huri!”

“Huri, Zehra sekarang sedang tidur. Kau jaga dulu dia selama Ayah dan Ibu pergi,” suara Sachi yang kembali terdengar, membuat bibir Ihsan dan Huri terkunci … Diam, sambil menatap Ibu mereka yang sedang berjalan menuruni tangga.

“Ihsan, kau masih di sini? Ibu pikir, kau sudah pergi bersama Sema dan Anka,” sambung perempuan itu, sesaat langkahnya baru saja melewati Ihsan yang masih berdiri diam di tangga.

“Zeki, cepatlah! Apa lagi yang kau lakukan di atas sana?”

“Pedang?” Sachi terheran-heran ketika matanya itu menangkap sosok suaminya yang muncul sambil menggenggam pedang, memiliki sarung berwarna hitam dengan ornamen emas di tangannya, “untuk apa kau membawanya?” Sachi kembali bertanya tatkala Zeki sendiri, mulai berjalan menuruni tangga.

“Ini merupakan pedang yang kugunakan saat aku masih berstatus prajurit biasa di Yadgar. Sampai sekarang pun, pedang ini masih kugunakan untuk melindungi keluargaku. Aku sudah bersumpah, ketika Huri telah menjatuhkan pilihannya … Akan kuberikan pedang berhargaku ini pada laki-laki tersebut.”

Zeki menghening beberapa saat, tepat di saat dia sudah berdiri berdampingan dengan Ihsan yang menatapnya, “tidak ada yang lebih penting dibanding kebahagiaan keluargaku!” seru Zeki diikuti salah satu tangannya menyentuh pundak Ihsan di dekatnya, “apa pun, akan aku lakukan untuk kalian,” sambung Zeki kembali sambil berlalu melewati Ihsan.

“Tunggulah di rumah, Huri! Akan Ayah bawa kabar baik untukmu.”

_____________.

“Kalian?”

“Apa Izumi ada di dalam?” Zeki bertanya pada Ebe yang membukakan pintu untuk mereka.

“Suamiku? Dia ada di dalam. Masuklah! Aku akan memanggilnya,” pinta Ebe disertai langkahnya yang bergerak mundur, memberikan ruang untuk pasangan di depannya itu agar masuk ke rumahnya.

Sachi yang tak sengaja menangkap lirikan Zeki kepadanya, sesaat itu juga langsung mengangguk sambil mendorong punggung Zeki agar melangkah maju memasuki rumah tersebut. “Ebe, kalau ada Takumi di dalam. Tolong panggil juga dia,” ujar Sachi, ketika dia sudah duduk di kursi yang ditawarkan Ebe pada mereka.

“Aku tahu bahwa kau sangat menyayangi Huri dan tidak ingin melihatnya terluka. Namun, apa pun keputusannya nanti … Aku pinta kau dapat mengendalikan diri!” pinta Sachi. Ia segera meraih lalu menggenggam erat tangan Zeki yang saat itu terlihat begitu gugup.

Bibir Sachi tersenyum. Diangkatnya tangan kirinya, mengusap lengan Zeki tatkala suaminya itu mengangguk … Memahami kata-kata yang ia ucapkan. “Kita membesarkan Huri, hingga dia menjadi perempuan yang  menakjubkan seperti sekarang. Huri pasti mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik,” bisik Sachi, sembari terus berusaha menenangkan suaminya.

“Zeki! Sachi! Ebe memberitahuku bahwa kalian datang mencariku, ada apa? Apa terjadi sesuatu?”

Sachi memalingkan pandangannya. Memalingkan pandangan pada sosok Izumi yang berjalan mendekati mereka, lengkap dengan Takumi berserta Ebe yang turut menyusul di belakangnya. “Bagaimana keadaanmu? Maaf Sachi, sejujurnya aku ingin menemuimu semalam tapi Haruki masih tersulut amarah hingga larut malam,” ungkap Izumi seraya duduk di kursi yang berseberangan dari Sachi dan juga Zeki.

“Tidak apa-apa, nii-chan! Aku pun baik-baik saja, jadi tidak perlu terlalu khawatir.”

“Syukurlah. Aku tidak bisa berhenti khawatir memikirkan kalian.”

“Aku hampir melupakannya. Ada gerangan apa kalian tiba-tiba datang berkunjung?” Izumi melanjutkan ucapannya, tapi dengan pandangan yang telah berpaling ke arah Zeki.

“Jadi, kami datang karena ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian, terutama padamu dan juga putramu, Takumi,” tutur Zeki yang tak kalah menyiratkan keseriusan di wajahnya, “niat hati kami ke sini, untuk melamar Takumi menjadi calon suami Huri.”

“Kami tahu bahwasanya kau sudah memutuskan putramu untuk dinikahkan dengan Miyu. Namun, tolong pertimbangkan Putri Kami untuk menjadi Menantu di keluarga kalian,” lanjut Zeki sambil meletakkan pedang yang ia genggam ke meja di hadapan mereka.

“Pedang tersebut sangatlah berarti untukku. Pedang tersebut sudah menjadi kawanku dalam berperang … Menjadi kawanku, selama aku berjuang untuk menjadi sosok yang pantas meminang Adikmu. Dan aku, sudah bersumpah akan menyerahkannya pada laki-laki yang telah dipilih Huri untuk menjadi pasangannya,” ungkap Zeki, dengan mata yang ia jatuhkan pada Takumi yang juga turut menatapnya di belakang Izumi.

“Putriku, jatuh cinta pada salah satu putra di keluarga kalian. Sebagai Ayah, akan kulakukan apa saja untuk kebahagiaannya. Jadi Izumi, kalau saat ini kau memintaku untuk berlutut sebagai syarat agar kau dapat mempertimbangkan perasaan Putriku … Maka dengan senang hati akan kulakukan sebagai Ayahnya.”

“Dari dulu, saat mereka masih kecil,” sahut Ebe secara tiba-tiba hingga membuat semua mata berpaling padanya, “aku begitu ingin memiliki anak perempuan seperti Huri. Huri, sudah seperti putriku sendiri.”

“Izumi, kumohon kau harus mempertimbangkannya! Pertimbangkan Huri, untuk menjadi salah satu anggota keluarga kita.”

“Ayah-”

“Takumi!” Izumi menyeru sambil mengangkat tangan kanannya, sebagai isyarat agar Takumi segera menutup mulutnya, “Ayah tidak mengizinkanmu untuk berbicara saat ini.”

“Aku menghargai niat baik kalian, tapi sebuah janji tetaplah sebuah janji. Dan janji tersebut, sudah kuikat pada Haru-”

“Izu-nii!” Kali ini Sachi yang memotong kata-kata Izumi. “Apa kalian bisa meninggalkan kami berdua? Hanya aku, dan Kakakku saja,” lanjut Sachi yang masih menundukkan pandangannya.

Sachi menggigit bibirnya. Tangannya juga ikut ia kepal, sebelum ia menarik napas panjang lalu mengangkat wajahnya setelah di ruangan hanya tersisa ia dan Izumi. “Izu-nii, kau pernah berkata akan selalu melindungiku, kan?” ucap Sachi sembari tak melepaskan tatapannya pada Izumi di depannya.

“Apa nii-chan, juga dapat melindungiku dari takdir?” Kata-kata Sachi kali ini membuat kening Izumi mengernyit.

“Izu-nii!” Sachi memanggilnya lagi, “dulu saat Huri dan Ihsan masih kecil, aku selalu berharap dapat menyaksikan mereka tumbuh dewasa … Dan harapan tersebut telah terwujud.”

“Nii-chan, kontrak di antara Kou dan aku hampir memudar. Dan itu berarti, kebersamaanku dengan kalian di dunia ini hanya sisa sedikit,” tutur Sachi yang memberikan senyum penuh kegetiran kala Izumi terlihat kaget mendengar perkataannya, “jangan beritahukan ini pada Zeki, karena dia sama sekali belum mengetahuinya!”

“Nii-chan, kematian bukanlah hal yang paling aku takutkan. Namun, ketidaktahuanku akan nasib anak-anak setelah kepergiankulah yang aku takutkan,” sambung Sachi dengan suara gemetar menahan tangis, “nii-chan, jika kau tidak bisa melindungiku dari takdir … Apa kau bisa melindungi anak-anakku sebagai Paman mereka?”

“Selepas aku pergi, akan ada banyak bahaya yang mengancam mereka terutama Huri. Kumohon … Kumohon! Lindungi Putriku, Kakak! Anggap saja, itu sebagai permintaan terakhir dari Adikmu ini.”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now