Chapter DCCCXCII

883 293 11
                                    

“Rumah ini terlalu kecil, jadi maaf kalau kalian tidak bisa beristirahat dengan baik!” ujar Sachi sambil memberikan beberapa lipatan kain selimut kepada Ebe, “berikan ini kepada anak-anak agar mereka tak kedinginan!” perintah Sachi kepada perempuan yang sudah menerima tumpukan selimut pemberiannya itu.

“Ayah! Aku sudah menyiapkan kamar untuk Ayah di atas … Zeki, tolong gendong Ayah ke kamar yang sudah kupersiapkan!”Sachi lagi-lagi memberikan perintah disaat dia sendiri sudah berjongkok di depan laki-laki paruh baya yang merupakan Ayahnya sendiri, “kalau Ayah membutuhkan sesuatu, segera panggil Sachi saja ya, Ayah!” sambung perempuan itu kembali sembari menggenggam kedua telapak tangan di hadapannya.

“Kau jangan terlalu memaksakan diri-”

“Aku tidak memaksakan diri, Ayah!” sergah Sachi dengan mempererat genggamannya, “kalau aku memaksakan diri, suamiku yang akan terlebih dahulu marah padaku.”

“Ayah, aku akan membawamu ke kamar!”

Sachi yang mendengar suara Zeki, segera beranjak lalu mundur untuk memberikan ruang kepada suaminya itu. “Ayah akan tinggal di kamar kita untuk sementara!” ungkap Sachi seraya menyentuh pundak Zeki dengan pelan.

Zeki mengangguk tanpa menyahuti perkataan Sachi, dia membungkuk lalu menggendong mertuanya dengan begitu hati-hati, “kau jangan terlalu lelah! Istirahat saja!” perintah laki-laki tersebut sebelum berjalan meninggalkan istrinya sendirian.

“Nee-chan, berikan kursinya! Aku akan membawakannya untuk Ayah.”

Sachi sedikit terperanjat setelah mendengar suara laki-laki lain yang menyahut. “Setelah kau menaiki tangga, segera belok ke kanan! Ruang yang berada paling sudut.” tutur Sachi kepada adik laki-lakinya itu.

“Nee-chan, apa aku boleh bertanya sesuatu?”

“Bertanya?” Sachi balas bertanya dengan kedua alis mengerut ke atas, “apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa dia baik-baik saja?”

Sachi tertegun sejenak mendengar kata-kata barusan yang Eneas berikan, “kau masih tertarik kepadanya setelah sekian lama?”

“Dia baik-baik saja!” jawab Sachi disaat pertanyaan yang ia beri tak kunjung mendapat jawaban, “kau mungkin akan bertemu dengannya esok hari.”

“Dia tangguh! Walau usianya sekarang bertambah hingga wajahnya sedikit terdapat kerutan, tapi dia tetap terlihat cantik! Banyak Kesatria yang juga mengincar dirinya … Akan aku perjelas, bahwa kau bukan satu-satunya laki-laki yang tertarik kepadanya.”

“Aku mengerti! Aku sekarang sudah tumbuh jauh lebih dewasa sekarang, nee-chan. Ruang yang berada paling sudut, kan?” ujarnya dengan melempar senyum pada kakak perempuannya.

“Benar! Bawalah ke sana!”

____________.

“Kau tidak ingin tidur? Setidaknya pikirkan dirimu sendiri dan anak kita!” bisik Zeki kepada perempuan yang menyandarkan kepala ke lengannya.

“Kalau aku bisa tidur, aku sudah tidur sekarang! Mataku sama sekali tidak bisa terpejam,” sahut Sachi sambil memandang saudara-saudaranya yang turut terjaga di dekat keluarga mereka masing-masing.

“Aku sangatlah penasaran … Harum bunga apa yang akan tercium kali ini?”

Zeki menjatuhkan lirikan pada perempuan di sampingnya tatkala dia mendengar gumaman yang dilakukan istrinya itu. “Kenapa kau berusaha menyembunyikannya? Jangan katakan bahwa kau melakukannya karena tidak mempercayaiku?” Lelaki tersebut balas bertanya dengan membawa tangannya mengusap lembut perut Sachi.

“Apa kau bodoh!” Sachi kembali menyahut sambil melingkarkan tangannya merangkul lengan Zeki, “aku hanya tidak ingin kau membagi perhatianmu dari anak-anak setelah mendengar kabar ini. Kau baru saja bisa sangat dekat dengan mereka … Aku hanya tidak ingin, mereka merasa tiba-tiba ditinggalkan.”
 
“Apa kau pikir aku akan melakukannya?”

“Tentu saja! Perhatianmu akan beralih fokus pada kehamilanku … Aku tidak ingin anak-anak merasa ditelantarkan!” gerutu Sachi dengan sedikit melirik pada Huri yang tertidur di sebelahnya, “Huri juga sekarang sudah mulai terbuka dengan dirinya sendiri. Kau seharusnya lebih memberikan banyak perhatian untuknya! Jangan sampai dia terlalu cepat menerima perhatian dari laki-laki lain sebelum ia sempat merasakan puas untuk perhatian yang Ayahnya sendiri berikan!”

Zeki menghela napasnya diikuti wajah yang bergerak sedikit maju, turut menatap Huri yang berbaring menyamping, membelakangi mereka, “putri kita sudah dewasa! Jujur, aku takut bahwa nanti akan ada laki-laki yang membawanya pergi dari kita secara tiba-tiba,” ujar Zeki dengan kembali menoleh ke arah Sachi.

“Kalau dia laki-laki yang baik untuk putriku maka aku tidak akan pernah mempermasalahkannya. Anak-anak kita berhak untuk memilih kebahagiaan mereka sendiri!” sahut Sachi sambil mengangkat salah satu tangannya menyentuh kepala Huri, “sebagai Ibu, aku akan berdiri paling depan untuk kebahagiaan mereka,” sambung Sachi lagi dengan kali ini mengusap lembut kepala putrinya tersebut.

___________.

“Kalian sudah bertemu?” tanya Sachi sambil berjalan mendekati Ebe yang ketika itu memeluk Bernice dan Sabra di depannya.

Ebe yang mendengar suara Sachi, segera berbalik menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menahan haru, “aku bahagia sekali, mereka baik-baik saja,” jawab Ebe setengah sesenggukan.

“Dia juga sama sekali tidak menua,” sahut Bernice hingga membuat Sachi sedikit tertawa setelah mendengarnya.

“Bardiani!” Sachi mengalihkan pandangan lalu memanggil temannya yang lain sambil dilambaikannya tangannya agar Bardiani segera mendekat, “di rumahku terdapat Kakak Iparku dan Putrinya. Putriku Huri juga bersama mereka, menolong mereka memasak. Bantu aku untuk mengawasi mereka! Hubungan mereka dengan Putriku masih kurang baik saat ini,” bisik Sachi di telinga Bardiani sesaat temannya itu sudah berdiri di depannya.

“Kenapa tidak melakukannya sendiri?”

“Ada yang harus aku lakukan! Dan jika ada yang bertanya keberadaanku … Katakan saja, aku pergi untuk menemui hewan-hewanku,” balas Sachi berbisik kepada perempuan itu kembali.

Bardiani membalas sejenak tatapan Sachi, “baiklah!” sahutnya sebelum melangkah pergi meninggalkan mereka semua.

“Ebe, Kakakku mencarimu! Dia ingin kau memeriksa rumah yang baru saja dibangun … Kalau kau tidak menyukainya, dia akan meminta Ryuzaki untuk membuat ulang rumah tersebut!”

“Aku tidak yakin pendapatku diperlukan untuk hal itu!” Ebe menyahut untuk ucapan Sachi sebelumnya, “apa kau mencoba untuk menyembunyikan sesuatu dariku?” Kali ini dia melemparkan pertanyaan sambil mendekat pada Sachi.

“Kau akan mati kalau berkhianat padaku, kan?”

Ebe menghentikan langkahnya dengan pandangan penuh pertanyaan tergambar, “kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Bukankah semuanya sudah jelas? Aku tidak akan berkhianat padamu!”

“Aku tahu! Karena itulah, ikutlah denganku sebentar!”

“Ke mana kalian ingin pergi?” Tiba-tiba Bernice menyahuti pembicaraan mereka dengan pertanyaan.

“Mencari bukti pengkhianatan!” jawab Sachi yang hampir seperti bisikan, “aku curiga bahwa di Sora terdapat seorang pengkhianat. Aku ingin kembali ke sana, untuk mencari tahu siapa yang berkhianat itu, mumpung seluruh keluargaku sudah meninggalkan Istana itu sekarang.”

“Kau ingin pergi ke sana sendirian?” Mendengar Sabra yang ikut berbisik, membuat Bernice dan Ebe sedikit memajukan langkah untuk mendekat.

“Akan membutuhkan waktu yang lama kalau aku melakukannya sendirian,” ujar Sachi sambil menatap wajah mereka yang begitu serius mendengar ucapannya, “ikutlah bersamaku agar semuanya berjalan cepat!”

Sachi memandang mereka secara bergantian sebelum berbalik lalu memulai langkahnya, “Kou, buka gerbang ke duniamu sekarang! Panggil Para Leshy untuk menemuiku di sana! Dan Lux, kau tetaplah di sini untuk membantuku mengawasi mereka!”

“Baik, My Lord!”

“Tentu saja, My Lord!” sahut suara Kou dan suara Lux yang terdengar bergantian di dalam kepala Sachi, menjawab perintah yang ia berikan.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now