Chapter DCCCXLIX

1K 366 41
                                    

Pandangan Sachi kembali beralih pada deruan napas yang begitu berat terdengar dari samping. Sachi tersenyum lalu berjongkok di hadapan kedua anak laki-laki, yang saat itu terbaring tak berdaya dengan napas tersengal, “akhirnya kalian bisa menyusul kami,” ucap Sachi sambil menjulurkan kedua tangannya.

Sachi meraih lalu menarik tangan kedua putra kembarnya agar mereka duduk dan membalas tatapannya. “Mulai hari ini, setiap pagi kalian harus berlari seperti itu dan kalau bisa … Kalian harus menambah jarak lari kalian. Dulu Ibu pun, sama seperti kalian.”

“Ibu dilatih oleh Paman Kalian, dan mereka akan selalu mengejek Ibu kalau saja Ibu tidak sanggup menyelesaikan latihan yang mereka berikan. Bahkan dulu saja pun, hanya beberapa langkah saja Ibu sudah sesak napas … Tidak sanggup berlari lagi!”

“Namun, apa Ibu terlihat lemah di mata kalian saat ini?” Dia kembali tersenyum tatkala Sema maupun Anka menggeleng untuk pertanyaan yang ia berikan, “menjadi kuat membutuhkan proses. Kalian tidak akan menjadi kuat hanya dalam satu kedipan mata. Kalian tidak akan menjadi kuat kalau tidak berusaha.”

“Dan kuat yang Ibu maksudkan, bukan hanya berasal dari pukulan atau tendangan yang kalian berikan. Namun juga dari ini dan juga ini,” tutur Sachi sambil menunjuk kepala dan dadanya, “kepintaran kalian, akan membuat kalian bisa mengalahkan musuh yang jauh lebih kuat walau kalian lemah sekali pun,” sambungnya dengan kembali menunjuk kepalanya.

“Sedang keteguhan hati kalian, akan membuat kalian terus maju tanpa terpikirkan kata menyerah. Dan semua itu, dibutuhkan untuk menjadi seorang prajurit yang gagah berani-”

“Prajurit?” cetus Sema, menyergah ucapan Ibunya.

“Benar, prajurit! Mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk menjaga Kerajaan dan Anggota Keluarga Kerajaan seperti kita … Mereka disebut prajurit. Dan jika untuk menjadi prajurit saja harus seperti itu! Kalian, yang merupakan Pangeran, seseorang yang mereka jaga dan layani sepenuh hati,  selayaknya melakukan hal lebih agar tidak kalah dari mereka!”

“Apa kalian ingin menyerah setelah mendengar ucapan Ibu?”

“Kalian, tidak menyerah untuk menjadi kuat, kan?”

“Bagus! Sekarang peluk Ibu! Kemarilah, Ibu ingin memeluk kalian!” pinta Sachi, terhadap anggukan yang mereka lakukan sebagai jawaban atas pertanyaannya.

Kali ini Sachi yang mengangguk, disaat kedua putranya itu saling pandang tak bergerak. Setelah cukup lama mereka terdiam … Sachi segera memeluk mereka, tatkala mereka memutuskan untuk beranjak lalu berjalan mendekatinya, “putra-putraku! Terima kasih, karena sudah tumbuh dengan baik,” ungkapnya seraya melepaskan pelukan, lalu menggenggam dan mencium tangan putranya secara bergantian.

“Ibu, maaf, karena ucapanku kemarin … Ibu sampai menangis.”

“Tidak apa-apa,” sahut Sachi dengan kembali mencium tangan Sema, “justru Ibu bahagia disaat kalian bisa mengeluarkan semua keluh-kesah itu pada Ibu. Setidaknya, Ibu bisa tahu dengan apa yang terjadi pada kalian.”

“Dan tunggulah para Elf itu, akan kubuat mereka semua menyesal! Kakek Buyut kalian juga sampai sekarang tidak muncul … Awas saja kalau dia sampai muncul di depanku,” gerutunya sambil membuang lirikan ke samping.

“Ibu tidak takut pada Kakek Buyut?”

“Takut?” sahut Sachi pada Anka yang tertunduk mengucapkannya, “untuk apa gunanya takut kalau kita tidak salah. Lagi pula, ini juga karena kesalahannya yang tidak becus melindungi kalian dari para Elf yang lain!” suara Sachi kali ini sedikit meninggi, diikuti matanya yang terjatuh pada rumput di dekatnya.

“Berani-beraninya mereka menyentuh anak-anakku, apa mereka tidak takut mati! Apa mereka ingin tempat ini kubuat tidak memiliki kehidupan lagi!” Amarah Sachi semakin membuncah, terlebih saat dia memukul rumput yang tumbuh di sekitar mereka, “apa mereka pikir melahirkan seorang anak semudah mengeluarkan kotoran dari dalam hidung! Beraninya mere-”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now