Chapter DCCCXXXIX

1.1K 348 35
                                    

“Huri, makanlah ini terlebih dahulu! Bibi pergi memandikan Miyu terlebih dahulu, kau jaga sebentar Adikmu, ya.”

Huri menoleh ke belakang, lalu menerima sebuah piring pemberian perempuan yang menyentuh pundaknya, “baik, Bibi. Terima kasih, Bibi Amanda,” ucap Huri, dia segera beranjak lalu berlari setelah meletakkan kembali piring yang didapatkannya tadi.

“Sema, kau tidak boleh melakukannya!” tutur Huri sambil memeluk dan menarik mundur adik laki-lakinya yang ketika itu hendak menaiki kursi di dekat mereka.

Huri berbalik, dengan sedikit tergopoh menggendong Sema. “Anka, itu makanan Kakak,” ujar Huri yang segera mendekati Anka, setelah dia sendiri telah menurunkan Sema kembali.

Bak anak kecil pada umumnya, Anka seketika menangis disaat Huri merebut makanan yang masih tersisa di piring. “Kita sudah mengotori rumah Bibi Amanda,” sambung Huri seraya memandang makanan yang tercecer ke lantai oleh perbuatan Adik Bungsunya itu.

“Apa kau lapar?” Huri kembali berucap sambil duduk di hadapan Adiknya yang masih menangis itu. Anak perempuan itu menunduk, dia menjumput sedikit dari sisa makanan di piring lalu ia dekatkan ke bibir Anka. “Ibu! Ayah!” Dia ikut menangis ketika tangisan Anka justru terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.

“Huri!” Gadis kecil itu menoleh, ke arah pintu yang terbuka dari luar, ke arah sosok anak laki-laki yang berjalan masuk mendekati mereka.

Anak laki-laki itu berhenti, memandang sejenak ketiga adiknya lalu berlalu pergi meninggalkan mereka. Wajah Huri kembali berpaling, disaat bunyi langkah kaki terdengar lagi mendekati mereka, “tadi aku bertemu Bibi Amanda saat pulang dari Sungai. Dia memintaku untuk memberitahukanmu agar menghabiskan makananmu,” ucap Ihsan yang berjongkok dengan sebuah piring berisi makanan di tangannya.

Dia mengambil piring yang Huri pegang, lalu menukar piring tersebut dengan piring miliknya, “kau makanlah terlebih dahulu! Kita akan bergantian menjaga Sema dan juga Anka.”

“Makanan ini milik Kak Ihsan?”

“Kakak sudah kenyang. Aku tadi memakan banyak buah saat berjalan pulang,” Ihsan tersenyum sebelum dia meletakkan piring di tangannya dan berjalan mendekati Anka, “ayo, Anka! Kita main bersama,” tutur Ihsan seraya berjongkok, meraih dan membawa Anka yang masih menangis ke gendongannya.

Dia berjalan, menurunkan Anka di dekat Sema yang ketika itu sedang berdiri sambil memukul-mukul dinding kayu menggunakan tangan kecilnya. Ihsan berlari, dan dengan cepat ia kembali sambil membawa sebuah bola karet seukuran kepalan tangan orang dewasa. “Anka, lihat ini!” bujuk Ihsan, seraya menjatuhkan bola tadi, hingga bola tersebut beberapa kali memantul ke lantai.

Dia memberikan bola tadi kepada Anka yang terlihat sudah mulai menghentikan tangisannya. Kesedihan kembali muncul di wajah anak laki-laki tadi, sesaat dia menangkap adik perempuannya itu tengah bermurung, tanpa menyentuh makanan yang berada di pangkuannya. “Huri, apa kau tahu!” cetus Ihsan, sampai membuat Huri segera berpaling padanya.

“Paman Elf yang tinggal di dekat sungai, membuatkan kita perahu kecil. Dia berkata, kita bisa memakainya saat bermain di sana. Tadi aku sudah menaikinya bersama Hikaru, nanti kita sama-sama menaikinya, apa kau mau?”

Ihsan menundukkan kepalanya, sesaat Huri mengangguk lalu murung kembali setelah menjawab ajakannya. “Ayah dan Ibu sangatlah kuat. Ibu juga memiliki Kou, Uki, Kei, Shin, Tama, Paman Lux dan paman-paman Leshy. Mereka akan menang,” ucap Ihsan tanpa mengangkat wajahnya.

“Kak Ihsan, Sema kembali ingin memanjati kursi!”

Ihsan segera berbalik, dia beranjak lalu berlari meraih Sema yang saat itu hendak berdiri di atas kursi yang baru saja ia panjat. Ihsan tersenyum kecil, ketika dia mendapati Huri tengah melahap makanan yang ada di depannya. “Jangan memanjat kursi! Atau kau akan jatuh, Sema!” ucap Ihsan sambil membawa Sema mendekati Anka yang berjalan, mengejar bola karet pemberiannya.

Huri yang ketika itu hendak mendekatkan makanan di tangannya ke bibir, segera menghentikan apa yang ia lakukan disaat lantai di dekatnya bergetar. “Kakek Buyut? Paman Ryuzaki?” Ihsan bertanya-tanya sambil menoleh ke arah gerbang akar yang tumbuh di samping Huri.

Raut wajah Ihsan dengan cepat berubah, “Ibu!” Ihsan beranjak, meninggalkan Sema dan juga Anka.

Huri ikut berdiri, dia menyingkirkan piring di tangannya kala dia menangkap wajah sedih yang diberikan kakaknya. “Ibu! Kakek Buyut, Ibu kenapa?” Gadis kecil itu menumpahkan tangisan yang sudah sangat lama ia tahan, ketika sosok ibunya tak bergerak di pelukan Kakek Buyutnya.

“Huri!” Laki-laki dari Bangsa Elf itu membentak perempuan kecil yang berdiri di sebelahnya, “bunga mawar yang kau lihat di dalam mimpi-mimpimu, jangan pernah kau menumbuhkannya lagi!” Laki-laki itu kembali meninggikan suaranya sambil melirik pada beberapa akar kecil yang mencuat di sekitar kaki Huri.

“Tapi Kakek Buyut, ini pasti mimpi, seperti mimpi yang sudah-sudah. Aku akan bangun, dan menunggu kepulangan Ayah dan juga Ibu-”

“Ini bukanlah mimpi! Tidak ada satu pun dari apa yang terjadi kepadamu sebelumnya adalah mimpi!” Tubuh gadis kecil itu semakin gemetar, bibirnya seakan terkatup, tak bisa digerakkan.

“Ibu kalian berada dalam bahaya, dan hanya kau yang bisa menyelamatkannya, Huri. Namun, jangan tumbuhkan lagi bunga-bunga mawar itu! Ikutlah dengan Kakek! Kakek akan mengajarkanmu cara yang benar untuk menyelamatkannya,” tutur laki-laki itu seraya menoleh lagi pada Huri.

“Ihsan!” Laki-laki tersebut berpaling ke arah anak lelaki yang masih mematung, “Huri dan Ibumu akan pergi, dan tidak tahu kapan mereka bisa kembali. Tugasmu, jaga dan rawat Sema berserta Anka hingga mereka kembali!”

“Apa kau mendengar perkataan Kakek?!”

Ihsan melirik pada Huri yang tak berhenti menangis, anak lelaki itu juga melirik pada sosok ibunya yang tak berdaya di gendongan kakek buyutnya. “Ihsan mengerti, Kakek Buyut! Aku akan menjaga dan merawat mereka … Aku tidak akan meninggalkan mereka.”

“Bagus!” sahutnya sambil berbalik, menatapi gerbang akar yang ia buat di belakang tubuhnya, “ikuti Kakek sekarang, Huri!” Dia kembali berucap seraya melangkah memasuki gerbang tadi.

“Huri!” Ihsan memanggil adiknya itu, sesaat Huri hendak melanjutkan langkahnya.

“Kau harus menjaga dirimu! Kakak akan menunggumu dan Ibu pulang di sini.”

“Huri janji akan menyelamatkan Ibu, jadi Kak Ihsan tidak boleh bersedih. Huri akan membawa Ayah dan Ibu pulang, kita akan bersama-sama lagi.”

“Kakak harus menunggu Huri sampai Huri kembali membawa mereka. Janji jari kelingking,” tutur Huri, sesenggukan di dalam tangisannya.

Ihsan mengangkat jari kelingkingnya, seperti yang adik perempuannya lakukan, “janji jari kelingking,” sahut Ihsan, yang tak kalah mengeluarkan air mata dari Huri.

“Huri!”

Huri segera menoleh, lalu berlari ke arah panggilan yang memanggil namanya itu. Sedang Ihsan sendiri, dia masih mematung … Menatapi gerbang akar tadi yang kembali masuk ke dalam lantai yang hancur. “Anka?” Ihsan berbalik, dia bergegas mendekati kedua adik laki-lakinya disaat suara tangisan memasuki kepalanya.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now