Chapter DCCCLXXII

1.1K 331 35
                                    

“Apa kau sudah puas menangisnya? Kalau iya, beranjaklah! Kita pulang sebelum gelap datang.”

Sema menggelengkan kepalanya, “aku tidak ingin pulang, Ibu. Ayah dan Kak Ihsan sudah sangat marah kepadaku.”

“Semuanya akan baik-baik saja, percayalah pada Ibu!” sahut Sachi hingga membuat wajah Sema terangkat menatapnya, “kalau kau memang merasa bersalah, yang harus kau lakukan hanya meminta maaf. Baik Ayah dan Kak Ihsan, akan langsung memaafkanmu.”

“Apa itu benar Ibu? Mereka tidak akan marah lagi kepadaku?”

“Itu benar!” jawab Sachi sembari mengecup keningnya, “jadi berdirilah! Anka sudah menunggu kita di sana dari tadi,” lanjut Sachi, dengan kali ini ia timpali menggunakan anggukan kepala agar Sema merasa semakin yakin.

Sema menoleh ke arah yang ditunjuk Sachi. Dia baru melepaskan pelukan pada Ibunya itu, ketika saudara kembarnya yang ada di sana … Melangkah mendekat. Sema beranjak tanpa berani mengangkat wajahnya, tatkala Anka sendiri sudah berdiri tepat di depannya. “Maaf, Anka! Jangan membenciku, kumohon!” ujar Sema dengan suara yang sangat pelan untuk didengar.

“Aku juga ingin meminta maaf, Sema. Aku menyayangi Sema karena Sema yang selalu melindungiku.”

“Anka!” Sema memanggil nama saudara kembarnya dengan suara gemetar, tatkala mata mereka saling melihat satu sama lain.

“Ibu bahagia kalau kalian akur seperti ini,” tutur Sachi, sambil meletakkan telapak tangan di masing-masing kepala putranya, “dunia ini sangat sulit untuk ditinggali. Jadi kalian butuh untuk mendukung satu sama lain agar bisa tetap hidup,” sambung Sachi yang kali ini menepuk pelan kepala dari kedua putranya, tatkala mata Sema dan Anka beralih kepadanya.

Tangan Sachi bergerak turun hingga menyentuh pundak mereka berdua, “jalan! Cepatlah jalan! Malam hari sangatlah dingin terutama jika kita berada di luar rumah.”

_____________.

“Kak Ihsan, aku membuatkanmu teh!” tutur Huri sembari menaruh cangkir berisi teh hijau di atas meja.

Huri menarik salah satu kursi, lalu ia duduk di kursi tadi setelah kursi tersebut sudah berada di samping kursi yang Ihsan duduki, “apa terjadi sesuatu, Kak?” tanya Huri kepada Ihsan yang masih diam, tertunduk merenung, “Ayah juga pulang dan langsung masuk ke kamar tanpa mengucapkan apa-apa. Kalian membuatku khawatir.”

“Tidak terjadi apa-apa,” jawab Ihsan singkat sambil terus menunduk.

Ihsan yang semula menunduk … Seketika mulai kembali mengangkat wajahnya lalu menoleh ke samping, ketika ia merasakan usapan lembut beberapa kali menyentuh sisi samping kepalanya itu. “Apa yang kau lakukan?” Ihsan balas bertanya pada Huri yang melakukannya.

“Semuanya akan berlalu! Semuanya akan baik-baik saja, seperti yang selalu Ibu ucapkan!” tutur Huri lagi sambil terus mengusap bagian samping kiri kepala Ihsan.

“Kak Ihsan jauh lebih tampan kalau tersenyum-”

“Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu?”

Huri menarik tangannya ketika ucapan Ihsan memotong perkataannya, “Ibu memintaku untuk tidak terlalu takut mengucapkan apa yang ada di dalam kepalaku,” ungkap Huri untuk pertanyaan Ihsan, “Ibu ingin aku menjadi diriku sendiri tanpa perlu terbebani dengan apa yang sudah pernah terjadi. Apa kata-kataku terdengar aneh?”

Ihsan menggelengkan kepalanya, “sama sekali tidak!” sahut Ihsan dengan mata yang tak berhenti menatap Huri, “tapi jangan katakan hal yang sama ke sembarang laki-laki! Apa kau bisa melakukannya untukku?”

“Kak Ihsan?”

“Huri!” suara panggilan yang memanggil nama Huri, sontak membuat kedua remaja tadi mengalihkan pandangan mereka.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now